RAMADLANKU
Ramadlanku kini membiru
Puasa yang kujalani
Kelaparan yang kutakuti
Ternyata tak sia-sia
Menapaki jembatan puasa
Bertemulah iman dan takwa
Surga kesederhanaan hidup
Kumasuki dengan kunci rahmat
dan maghfirahNya
Puncak puasaku
Adalah tersambungnya urat malu
Malu menepuk dada
Malu untuk pamer harta dan
flexing di linimasa
Malu tengok kanan-kiri
yang hidupnya miskin dan renta
Malu pada tetangga yang lebih keras
bekerja tanpa fitnah dan purbasangka
Puasaku menyambung urat malu
Menghadirkan kecerahan dan
berbuat baik bagi sesama
Gus Nas Jogja, 18 April 2023
EMANSIPASI, APA KABARMU KARTINI?
Ini bukan soal sanggul, Ibu
Tapi tentang nalar yang tumpul
Ini bukan tentang emansipasi
Tapi soal nurani yang mati
Jejak Jepara tak cuma debur
ombak dan nyiur di pantai
Tapi ada hati yang terbengkalai
Prasasti demi prasasti kugali dari
tulang-belulang leluhurku
Dari masa lalu bertabur debu
Kutemukan jejak Kalingga
Dan Ratu Shima di sini
Emansipasi apalagi yang engkau cari
Perempuan digdaya dengan tahta tertinggi
Terlahir dan lantang di sini
Abad ke-6 sudah bersaksi
Perempuan Hebat yang dari
darahnya mengucur para Wangsa dan para Rakai
Tak butuh narasi untuk emansipasi
Di haribaan hati rakyat
Telah terukir nama Ratu Kalinyamat
Perempuan terhormat
Perempuan yang tak lekang oleh waktu
Tak tercecer di kolong sejarah
Emansipasi yang bukan cuma
narsis di samping jabatan suami
Tapi emansipasi yang melahirkan kehormatan
Emansipasi yang memperjuangkan
marwah harga diri
Namamu, Ibu
Tak cuma kutulis di angin sakal
Tak hanya kulukis di langit biru
Tapi mengucap di darah
Dalam daging puisiku
Engkaulah emansipasi tiada henti
Tak cuma melahirkan sejarah
Tapi merawat luka di pelosok semesta
Bacalah jejak darah Malahayati
Ibu segala pejuang dari Serambi Makkah
Ia tegak melawan penjajah
Sembari merawat inong-inong balee
yang dirajah luka oleh penjajah
Belajarlah pada Siti Manggopoh dan Rohana Kudus
Perempuan Minangkabau yang tahan banting
Bundo Kanduang yang tetap tegar dalam tempaan
Bukankah emansipasi itu menginspirasi?
Melek literasi dan menggalang aksi
Adalah mandat utama mengharumkan Ibu Pertiwi
Betapa malunya para Ibu
Yang hanya bisa berlenggang-lenggok di ketiak lelaki
Flexing di medsos tiada henti
Apa kabarmu, Kartini?
Jahiliyyah literasi
Sudah kau singkirkan dengan surat-suratmu
Mendung hitam di kelopak mata kaum wanita
Sudah kau tebas dengan kata-kata
Sesudah itu, dimanakah engkau kini Ibu Kartini?
Emansipasi adalah narasi purba
yang terpahat dalam prasasti dan
tertulis pada manuskrip tua
Ia lahir dari rahim Ibu Hawa
Pada abjad-abjad purbakala
Emansipasi telah mewakafkan rindunya
Jadilah perempuan pemimpin
dalam ilmu dan laku
Perempuan petarung yang setara di medan laga
Perempuan lembut yang memanah
rembulan dengan tatapan matanya
Perempuan penggembala yang
menggerakkan domba-domba
kotor lalu menjadikannya putih dan harum namanya
Seharum Kartini menerima pahit takdirnya
Jadilah perempuan cerdas berkalung marwah
Berdiri setara sebagai nakhoda
Membelah ombak dan menjinakkan samudera
Berjalan setara dalam tegak-lurus pembebasan bangsa
Menjadi Ibu Bangsa
Betapa malunya Ibu Pertiwi
Jika dari rahim Ibu-ibu Bangsa ini
Lahir para koruptor
Lahir kaum diktator
Yang merampok dan menghinakan bangsa sendiri
Menjadikan martabat manusia
sebagai alas kaki di bawah megah karpet merahnya
Gus Nas Jogja, 21 April 2023
MUNAJAT DI PENGHUJUNG RAMADLAN
Ramadlan yang kutunggu
Dan kusambut kehadirannya penuh sukacita
Kini segera berlalu
Bulan madu bersamamu hanya sekedipan mata
Derap zikirku
Getar cinta di kalbu
Kenikmatan dan keindahan penuh syahdu
Melambaikan tangan padaku
Sepucuk rahmat
Mekar bersemi menguntai rakaat
Mekar maghfirah
Harum mewangi dalam tadarusku
Telah Kauturunkan cahayaMu
Berlapis-lapis sinar terang
Dalam titik-silau ayat-ayat Ilahi
Kupetik sebagai rambu
Pedoman hidup kemanusiaanku
Membersamaimu dalam sebulan
berpeluk cinta
KemesraanMu mengakar di relung jiwa
Memesrai ziarahku di sebelas
bulan berikutnya
Terimalah munajatku
Munajat Asma
Munajat Sifat
Munajat Dzat
Lebur dalam labirin rindu
Takbir yang terus bergema
Kian menjeritkan tangisku
Kemenangan yang tampak di depan
Makin mengharu-biru atas kekalahanku
Tuhanku
Kembalikan Ramadlan Karim itu padaku
Selama-lamanya
Gus Nas Jogja, 19 April 2023
ELEGI IDUL FITRI
Gempita takbir yang tengah berpesta
di langit biru itu ternyata bukan milikku
Sesudah sebulan dilaparkan
hingga di sudut-sudut perut
dan menghatamkan kitab-kitab
dahaga sampai paripurna, ternyata
nafsuku tetap gagah meronta
Sebulan penuh bicara dari hati ke hati apa itu puasa
tapi ternyata aku hanyalah ember bocor
yang menumpahkan syahwat di pelosok dunia
Kemenangan itu meninggalkanku
sendiri dalam penjara 11 bulan berikutnya
bersama ribuan ekor kera
berikut ketamakan dan keserakahannya
Jika pantas kukata, laparku hanya sandiwara
dan dahagaku lebih layak dinamakan drama,
sebab kemaruk dan kerakusanku pada
lenggang-lenggok maksiat
kata-kata telah bersimpul pada takabur belaka
Niatku ingin mematikan nafsu pada pangkalnya
Memancung syahwat hingga akarnya
Tapi lidahku terus terlena
menyantap lezat daging saudara sendiri
dengan tak henti-henti mengunyah fitnah
dan ghibah di lapak linimasa
Jempol tanganku tak juga menyadari dosa-dosanya
dengan terus menyebarkan desis ular berbisa
dan gonggongan celeng penuh jumawa
Masih adakah sisa-sisa waktu
di puncak puasa ini untukku
bermawas diri dengan meledakkan takbir di dada
hingga pecah segala pongah
hingga runtuh seluruh keruh
hingga memancar cahaya iman yang murni
lalu memeluk takwa sejati sekuat-kuatnya?
Tuhanku
Padamkan neraka yang terus menyala
dalam pikiran kosong dan angan-anganku ini
agar gemuk nafsuku dan buncit syahwat di seputar perutku
mati terbakar dan terkubur
dalam Tanah Takbirku yang terus menyala
Gus Nas Jogja, 29 Ramadlan 1444 Hijrah
SELAMAT JALAN, RAMADLAN
Akhirnya kau pun pergi saat aku sedang di rindu-rindunya.
Pamit di saat bedug maghrib menggema
Diiringi jerit takbir di sudut-sudut kota,
segala penjuru merayakan kemenangan tiba.
Tapi tidak dengan sunyi kalbuku!
Tangisku pecah karena
Ramadlanku dipanggil pulang oleh Sang Maha Puasa,
kembali kepada Sang Maha Waktu
tempat segala restu disemayamkan
Nyeri dan sunyi dalam diriku
tak sanggup menyembunyikan cintaMu,
malam-malam penuh kemesraan bersama tarawih
dan tadarus kini hanya menyisakan
lambaian rindu yang kian merapuh
Sebulan penuh membersamaimu
dalam gemerlap kalbu kini usai sudah,
saat Tuhan menyapihku
di sepanjang 11 bulan bertabur jelaga
dan badai menderu mengepung langkahku
Selamat jalan, Ramadlan
Terima kasih untuk sebulan penuh kemesraan ini,
untuk ketulusanmu menggendong renta imanku
menyeberangi samudera puasa
agar tiba di haribaan takwa
Kalungkan kemenangan pada leherku,
berjanjilah bahwa perpisahan ini hanyalah cara indah
Sang Maha Puasa menabung rindu
di sepanjang nafasku
Gus Nas Jogja, 20 April 2023
KEMENANGAN
Malam terakhir di bulan suci
Langit dan cakrawala dirundung duka
Bumi dan laut berlinang air mata
Kutatap lumat mata kalbuku
Meratap dalam riuh doa
Tikar tafakurku bersimbah basah
oleh embun bening dari mata air surga
Kemenangan ini bukan milikku ternyata
Takbirku parau tercekat di tenggorokan saja
Langit biru bertakbir
Laut biru bertakbir
Aku bertanya pada bumi
Pada gunung dan lembah
Tapi bibirku getir memuntahkan jelaga
Bertukar pikir dari hati ke hati
Kusambut Hari Raya ini dengan
ratap tangis menjadi-jadi
Kupeluk Idul Fitri ini
dengan gemetar doa di relung hati
Tuhanku
Pantaskah kurayakan kemenangan hari ini?
Bulan Suci yang kujalani penuh basa-basi
Idul Fitri yang kutemui dalam fakir
dan patah hati
Allahu Akbar
Berderai takbir ini untuk keagunganMu
Allahu Akbar
Menjerit takbir ini bagi KesucianMu
Allahu Akbar
Pecah sudah takbir ini karena
cintaku padaMu
Walillahil Hamd
Gus Nas Jogja, 21 April 2023
Riwayat Penyair
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.