KOSONG
aku
mau,
melanglang
buana menjelajahi ribuan putaran detik,
menapaki
satu persatu bilah waktu yang meneteskan rintik,
mencari
celah agar cahaya mampu menelisik keberadaanku,
yang
gelap tanpa asa memantik
aku
adalah gelap,
warna
memudar menjelma kepingan hitam
bertebaran
memenuhi pelupuk,
mengembun
di atas selaput netra kusam,
lalu
tumpah ruah tanpa wujud di alam nyata
aku
adalah tangis
menggigis
tanpa nyawa, tanpa harap, tanpa suara
rinduku
tak bernyawa,
sebab
ia ada di dalam duka
tertutup
rapat oleh paksa,
terpangkas
habis oleh putus asa.
aku
hilang, sejak engkau hilang
rapalan
doa, tetesan kecil air mata,
menjadi ramuan baru,
untuk memanggilmu,
dari keabadian
Purwokerto, 22 April 2019
OMBAK
selain hujan dan angin,
ombak pun punya cara
untuk menyampaikan tenang
melalui riuhnya
“tidak apa-apa”
ucap ombak kepada seorang
gadis
deburnya menerjang, tanpa
melukai apapun
kecuali karang yang keras
ombak memecah dan mengikis
berkeping-keping, berpuing-puing
menjadikannya kerikil dan pasir
menghias pantai alas duduk sang
gadis
“tapi kamu, bukan hujan,
bukan angin, bukan juga ombak”
gumam ia kepada awang-awang
yang diharapnya ada telinga yang
bisa mendengar dalam jarak
“kamu adalah malam yang
sunyi, senyap
juga gerak jemari di atas papan
aksara
atau gelak tawa yang aku tak
tahu mengapa
dan kelopak mata yang
dikelilingi lingkaran hitam
sebab berat menemui lelap,
berkawan dengan malam
kamu adalah malam
yang tenang,
yang dingin,
yang dirindukan”
Purwokerto,
19 Desember 2021
DAMAR
Sepasang lengan merentangkan
kain
Disatukannya ia dengan
rantai-rantai berkarat
Yang akan putus tercerai-berai
Terkena cipratan asam dan garam
Sementara langkahnya menyalakan
setitik api
Di antara serah dan sumpah
serapah
Menelanjangi setiap jengkal
tanah
Dengan wajah rata tanpa
menampilkan rasa
Damar dan gelap,
Adalah sepasang takdir
menyakitkan
Ia ada sebab gelap
Mencaci-maki dunia yang tidak
kunjung siang
Damar menyertai setiap usia
Merelakan dirinya kepada tiupan
Yang berisi rapalan doa-doa tua
Dirangkai dalam kepercayaan naif
Namun damar hanyalah sekumpulan
titik api
Yang kelak akan hilang
Dan mati
Purwokerto,
1 Agustus 2022
REMBULAN MALAM TADI
rembulan itu meredup
hampir menemui padam
ia meneteskan leleh dari
pancaran sinarnya
menyembunyikan riuh bersama
angin
rembulan itu tak cukup tahu
buminya berkawan baik dengan
samudera
juga gunung dan bukit
serta pepohonan rindang
mereka memperindah senyum
yang tergaris di khatulistiwa
tak cuma dengannya, bumi pun
tertawa
bersama makhluk-makhluk yang tumbuh di atasnya
rembulan itu menggenggam sesak
sebab kenyataannya, ia lebih berjarak
padahal ia mengerti
senyum bumi, hanya terlukis
untuk rembulan, dalam nyata dan
sepi
tetapi, wahai
rembulan itu masih belum
mengerti
tentang sesak yang ia yakini
hanyalah rasa yang fana dan
segera mati
ia terlelap pulas menyelami
mimpi
menemui bumi yang tampak amat
pedih
berjalan tanpa mata dan kaki
Purwokerto, 30 Januari 2022
TUHAN MAHA
SEJUK
Dalam lebur
pandangan itu,
Seorang
perempuan menengadah
Merapal
mantra-mantra yang ia percaya
Mampi
didengar Tuhan
Dengan
bertopeng kemelaratan
Ia menjelma
makhluk paling berdosa
Untuk
mengetuk pintu-pintu kesejukkan Tuhan
Ia
mendongak berurai air mata
Mengakui
maha lemahnya ia sebagai manusia
Ia
merangkak penuh kesakitan
Meminta
belas kasih dari Tuhan
Agar
dipeluk-Nya tubuh yang renta
Dan jiwa yang
nyaris berkarat
Lalu Tuhan,
Menyambutnya
dengan kesejukkan
Diturunkan-Nya
tetesan air dari gelapnya awan
Dititipkan-Nya
basah kepada sayup-sayup hujan
Yang
mendera tubuh dengan penuh kasih sayang
Purwokerto,
20 Maret 2023
BERDUKALAH
SESUKAMU, TUAN
Di atas
tanah itu,
kau
membacakan dengan nyaring
barisan
Yasin dan Tahlil
untuk
mengetuk pintu-pintu hakiki
dan sekedar
menanyakan kabar
kau
terus-menerus merapal
memanggil
kekasihmu kembali
agar
menuntaskan penderitaan
serta
belenggu penyesalan
namun,
tuan,
kau tidak
mengerti
kau dan ia
telah berjauhan
apa guna
panggilan-panggilanmu itu?
Maka,
berdukalah sesukamu, tuan
Sampai
kering air matamu
Sampai
habis penyesalanmu
Sampai
lenyap penderitaanmu
Aku,
Persilakan.
Purwokerto,
14 April 2023
Riwayat Singkat Penyair
Suci Wulandari. Ia lahir di Banyumas, tepatnya
pada 23 Mei 2000. Ia menyukai kucing dan bangunan-bangunan masa lampau. Saat
ini, ia tengah menempuh pendidikan S-1 dengan mengambil jurusan Pendidikan
Islam Anak Usia Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Kesibukan
lainnya antara lain tergabung dalam Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK),
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), dan Wadas Kelir Publisher.