Angin sepertiga malam itu berhembus dengan membawa pera saan yang resah. Ditambah bulan di langit berbentuk lingkaran sempurna, serta awan-awan yang mengelilinginya berbentuk seperti telur mata sapi membuat sunyi semakin mencekam urat nadi. Casmudi kelelahan dan berbaring di rerumputan yang tidak lagi menghijau, celurit berkarat yang tidak tajam digenggamnya pada tangan kiri dengan kuatnya, seakan-akan hanya itulah barang tersisa yang dimilikinya. Udara segar tegalan keluar masuk hanya pada satu lubang hidungnya, satu lubang hidungnya yang lain mampet karena bercucuran darah. Casmudi hanya ber baring, memandangi langit gelap yang sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih cerah berwarna biru tua.
***
Fajar tak tampak dengan ekor cahayanya. Angin sejuk meniup mega-mega
yang menggumpal dan berwarna gelap. Ayam jantan tetap berkokok dan burung-burung masih meracau berkicau.
Sebuah rumah di ujung jalan terbuka pintu belakangnya. Di dapur rumah itu Sarinem bergelut mesra dengan perkakas dapurnya. Sodet digenggam erat oleh tangan kanannya, tangan kirinya memegang wadah bumbu-bumbu. Semangkuk ayam semur segera rampung dimasak. Di depan rumah, Casmudi sudah bersiap dengan seragam paginya yang sebagian besar berwarna cokelat. Topi caping berwarna oranye sedikit kemerah-kemerahan dan sepatu bot pelengkap seragam dinasnya.
Casmudi hidup di sebuah desa bernama Tegal Sumur. Di Tegal Sumur, hampir semua masyarakatnya bekerja sebagai petani. Orang-orang Tegal Sumur memanfaatkan tanah ajaib yang
diberikan Gusti Allah untuk mereka. Orang-orang Tegal Sumur menganggap semua yang diciptakan oleh Gusti Allah adalah karunia dan berkah yang harus diolah oleh mereka. Guyub rukun dan unggah-ungguh antar warganya menyebabkan desa Tegal Sumur menjadi desa yang sangat damai.
***
Di antara tegalan dan pesawahan terdapat sumur tua dengan katrolnya yang sudah berdecit. Di sanalah sawah Casmudi terhampar. Pada sela-sela daun jagung yang hijau sejuk dipandang, terlihat Casmudi sedang menaiki alat bajak yang terbuat dari kayu dan ditarik oleh kedua kerbaunya yang kekar berwarna hitam legam.
Musim panen telah melewati desa Tegal Sumur, rata-rata warganya pergi ke kota untuk sekadar merantau beberapa bulan dan menunggu musim yang bagus, kemudian kembali lagi ke desa untuk bercocok tanam, beberapa juga tak kembali lagi dan melanjut kan hidup sebagai
orang kota.
Bagi Casmudi, desa adalah gairahnya. Banyak orang-orang Tegal Sumur yang datang dan pergi dari desa, namun ia tidak. Desa telah memberikan anugerah yang tak ternilai untuknya, Sarinem, dan kedua anaknya. Bagi Casmudi merantau dan tidak kembali lagi ke desa adalah bentuk pengkhianatan dan penolakan rasa syukur kepada sang Gusti.
Di tengah arus urbanisasi yang sedang berkembang, Casmudi tidak tertarik sama sekali dengan kota. Kota adalah tempat yang penuh dengan kebisingan dan keresahan, sedangkan desa adalah kedamaian. Desa adalah gairahnya.
Casmudi terbilang orang yang cukup akan keadaan ekonomi. Ia bukan borjuis, bukan pula berasal
dari proletar karena Casmudi memiliki sawahnya sendiri. Selain lihai dalam menggarap tanah, ia juga bisa melukis. Ia mendapatkan bakat melukisnya lewat sekolah menengah yang pernah ditempuhnya. Sudah beberapa lukisan di kantor Camat dan di kantor desa Tegal Sumur yang dipajang adalah karyanya.
***
Dalam jangka waktu dua dekade sejak Bung Karno memproklamirkan ikrar pembebasan kepada seluruh bangsa di Jakarta, satu per satu pemuda desa yang awalnya giat menggarap sawah perlahan-lahan mulai beranjak ke arah yang berbeda.
Para perayu Dewi Sri perlahan mulai beranjak, dan hanya meninggalkan orang-orang ber usia kepala empat ke atas yang masih setia. Tak terkecuali Widano, adik ipar Casmudi pun dengan teganya beranjak dari Tegal Sumur dan mengikuti jejak dari pemuda desa lainnya.
***
Tahun dan musim pun terus berganti. Hingga tak terasa. Dua hari sejak musim panen tiba, Widono pulang ke tanah kelahirannya dengan membawa serta keluarga barunya. Sebulan kemudian satu rumah berdiri dengan sebuah ruang depan yang di bangun dan dibuat untuk usaha, dengan warna yang berbeda dari warna-warna rumah di Tegal Sumur yang berwarna muram. Rumah Widono berwarna merah.
Kepulangan Widono ke Tegal Sumur membuat suasana desa menjadi berbeda. Banyak petani Tegal Sumur yang diberi asupan pupuk dan anti hama oleh Widono, dengan harga murah. Banyak warga Tegal Sumur yang senang dengan kepulangan Widono. Widono memang suka membantu petani dengan memurahkan harga pupuk, dan tak banyak syarat untuk itu. Sepulang dari kota, Widono suka dengan warna merah. Selain suka memberikan potongan harga kepada para petani Tegal Sumur, Widono juga suka memberikan bendera berwarna merah.
Hampir semua petani sangat senang dengan bantuan Widono, dan bendera merah tak sedikit dijumpai di Tegal Sumur. Di jalan- jalan desa, gang gelap, di depan balai warga, bahkan bendera merah tersebut disandingkan dengan bendera merah-putih yang terdapat dikantor desa. Kini Widono telah menjadi sosok yang begitu disegani di Tegal
Sumur.
Setelah banyak warna merah, Tegal Sumur menjadi lebih me riah. Tak banyak lagi kesunyian malam yang terdengar pada tiap malam di desa Tegal Sumur. Setiap sepekan selalu ada saja sebuah pertunjukan kesenian.
Kedamaian makin bertambah terasa di Tegal Sumur. Akibat bantuan dari Widono dan teman-teman barunya dari kota, kesejahteraan desa mulai membaik. Kini tak ada lagi warga Tegal Sumur yang tinggal di gubuk yang terbuat dari bilik, walau tak semua warga Tegal Sumur juga tinggal di rumah tembok. Setidaknya Widono memanusiakan orang-orang Tegal Sumur agar tinggal dengan rumah yang lebih layak. Kehidupan mereka makin membaik. Sampai tiba masa panen
selanjutnya.
***
Lintang jatuh terlihat di langit Tegal Sumur pada malam akhir September. Kebetulan pada malam itu, orang-orang Tegal Sumur sedang melakukan selametan. Hasil panen yang selalu membaik setiap tahunnya membuat orang-orang Tegal Sumur tidak lupa untuk bersyukur kepada Gusti yang telah melimpahkan hasil bumi kepada orang-orang Tegal Sumur.
Casmudi yang kebetulan melihat lintang jatuh langsung menunjuk ke arah benda langit tersebut. Tak banyak warga yang mem- perhatikan, hanya Sumardi yang memandangi lintang itu sampai hilang.
“Aku baru pertama kali melihat bintang jatuh. Rasanya aneh,” ucap Sumardi. Selametan selesai.
***
Suara kegaduhan terdengar mengganggu di telinga Sumardi pada waktu tengah malam. Karena hasrat tidurnya yang tinggi, akhirnya ia tidak menghiraukan hal tersebut.
Lewat sepertiga malam, Sumardi keluar rumah karena suara kegaduhan telah berubah menjadi suara tangisan. Widono dan istrinya hilang. Anak satu-satunya hanya menangis tak kunjung henti, tangisannya seakan-akan seperti anak yang di- tinggal mati
oleh orang tuanya.
Orang-orang Tegal Sumur tidak tahu apa yang terjadi, yang mereka tahu ada penculik yang membawa Widono dan istrinya. Tapi mengapa mereka menculik Widono dan istrinya? Widono ada lah orang baik yang memberi harga murah dari pupuk yang dijualnya, Widono juga yang membuat desa Tegal Sumur meriah dengan hiburan-hiburan rakyat. Dan yang terpenting, Widono dan
teman-temannya dari kota mau mengubah rumah-rumah orang-orang Tegal Sumur yang
reyot menjadi lebih layak.
***
Malam demi malam terus berlanjut. Orang-orang Tegal Sumur kalut dalam keadaan yang takut. Keesokan harinya beberapa orang Tegal Sumur lenyap dalam senyap. Kepanikan yang menyelimuti pikiran mulai menyerang orang-orang Tegal Sumur.
Casmudi sebagai kakak ipar Widono yang telah hilang diculik tidak mau lagi kehilangan keluarganya. Jadwal jaga malam pun disusun. Para pemuda desa yang tersisa ditambah pria-pria dewasa Tegal Sumur saling berjaga di setiap malam yang kelam dan men cekam.
***
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Hari berganti hari
Hari itu Selasa ketiga pada bulan kesebelas. Orang-orang Tegal Sumur sudah tidak menghiraukan pesawahannya, yang mereka pikirkan adalah bagaimana menjaga keluarganya dari penculik kegelapan yang menakutkan.
Saat itu purnama gagah bercahaya di langit Tegal Sumur. Ca haya membuat malam tidak lagi kelam. Terdapat gumpalan-gum palan awan terang yang mengelilingi bias pelangi berbentuk cincin yang menemani bulan purnama itu. Perlahan embun tengah malam mulai membuat daun-daun di Tegal Sumur basah, kemudian disusul orang-orang Tegal Sumur yang semakin resah.
Suara gasir yang terus menerus berbunyi sendu mengisyaratkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh orang-orang Tegal Sumur. Casmudi dan Sumardi tak henti-hentinya menghisap kretek dan menanti kokokan ayam yang dibarengi dengan keluarnya fajar. Dalam kondisi setengah tertidur mereka berdekatan dalam sebuah amben bambu yang ada di pinggir jalan desa. Dari jauh terdengar suara bergerombol dan derap sepatu. Resah mulai datang, keringat sebe sar biji jagung mulai bertumbuhan dan membanjiri kaos lusuh Casmudi dan Sumardi.
Seketika raut wajah Casmudi dan Sumardi sangat tidak menentu, lidah mereka kelu. Sekedar berkata dalam hati saja terasa tidak menentu.
“Panggil semua warga desa!” perintah seorang pria yang ber pakaian serba hitam.
“Anu… anu…” Kelu lidah Sumardi.
“Kumpulkan semua warga secepatnya!”
Lelaki berseragam hitam-hitam dan bersepatu lars itu pun mengacungkan kapak mengkilap kepada Casmudi dan Sumardi.
Mereka pun berdiri, kemudian melarikan diri.
Casmudi berlari, Sumardi berlari. Orang-orang Tegal Sumur yang melihat mereka segera masuk kerumah masing-masing dan berharap esok cepat tiba.
***
Malam yang kelam kini berpadu bersama api berwarna kuning kemerahan yang menyala. Kini Tegal Sumur tidak semeriah dulu. Tak ada warna merah, ia telah habis dalam kobaran api yang menyala.
Setengah dari rumah orang-orang Tegal Sumur dibakar habis. Bertumpahlah tangis yang beriringan tawa bengis yang berasal dari Iblis.
Suara kelapa selang-seling berjatuhan, dan meninggalkan banyak cairan merah. Tangis anak-anak Tegal Sumur sangat mengiris. Bah kan kelelawar pun tidak berani beterbangan di malam yang sangat miris.
Perempuan dan laki-laki dipisahkan. Banyak di antara mereka diikat bagai kambing-kambing ternak yang sedang menunggu masuk kandang. Dengan muka yang sudah tak ada cahaya kehidupan, me- reka hanya bisa berharap. Semoga ini hanya mimpi dari sang Maha Pewujud Mimpi. Namun ketika sepatu lars mendarat di tengkuk mereka akhirnya mereka menyadari bahwa ini bukan mimpi, me- lainkan perbuatan yang tak mengenal budi.
Hampir seluruh orang-orang Tegal Sumur telah terikat. Hidup, pikiran, kejiwaan mereka kalut. Mereka semua terikat.
Seluruh pelosok Tegal Sumur telah diobrak-abrik oleh gerombol an Iblis berseragam hitam-hitam itu. Hanya menyisakan Casmudi seorang diri yang berhasil lari ke tegalan yang berada di dekat pe- sawahan.
Suara berat yang penuh akan emosi pun keluar dari salah satu gerombolan yang menggunakan seragam hitam-hitam itu.
“Siapa keluarga Widono!”
Warga desa diam.
“Dor!” Letupan senapan terdengar.
“Sa… Sa… Saya,” Sarinem ketakutan.
“Mbakyu siapanya Widono!” bentak lelaki tinggi besar itu.
“Saya mbaknya, tolong pak jangan apa-apakan kami.”
“Suamimu mana?” tanya orang berseragam hitam yang lain.
Tak ada jawaban.
Akhirnya jeritan demi jeritan terdengar dari orang-orang yang kesakitan.
***
Beberapa dari gerombolan penculik akhirnya dengan bersusah payah menemukan keberadaan Casmudi yang sedang bersembunyi di bale pesawahan yang terketak di tengah ladang jagung.
Casmudi yang tidak mau mati akhirnya mau tidak mau untuk melawan. Dua orang dari gerombolan siap menghujam Casmudi dengan kapaknya. Casmudi bukannya tidak takut, ia takut, sangat takut. Hanya celurit berkarat yang ia temukan di bale pesawahan kemudian ia sembunyikan di dalam kaosnya sebagai
senjata.
***
Hijaunya ladang jagung malam itu seakan berbeda. Tak hanya ada warna hijau di ladang jagung. Ada warna merah yang membuat warna di ladang jagung menjadi sedikit meriah. Ada warna merah juga pada sebilah kapak yang pegangannya sudah rusak dan terbengkalai begitu saja di tanah hitam yang basah. Satu laki-laki mati, dengan sobekan di perut seperti daun jagung. Namun bukan Casmudi.
***
Angin sepertiga malam itu berhembus dengan membawa pera saan yang resah. Ditambah bulan di langit berbentuk lingkaran sempurna, serta awan-awan yang mengelilinginya berbentuk seperti telur mata sapi membuat sunyi semakin mencekam urat nadi. Casmudi kelelahan dan berbaring di rerumputan yang tidak lagi menghijau, celurit berkarat yang tidak tajam digenggamnya pada tangan kiri dengan kuatnya, seakan-akan hanya itulah barang tersisa yang dimilikinya. Udara segar tegalan keluar masuk hanya pada satu lubang hidungnya, satu lubang hidungnya yang lain mampet karena bercucuran darah. Casmudi hanya ber baring, memandangi langit gelap yang sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih cerah berwarna biru tua.
Casmudi yang sendirian sekarang tinggal berhadapan dengan satu laki-laki. Ia tidak mau mati. Kata-kata itulah yang selalu diucapkannya dalam hati.
Casmudi hanyalah sendiri. Ia tetap tidak mau mati.
Sebentar lagi Selasa mulai mereda, dan Rabu pun perlahan
mulai tiba.
Untuk orang-orang yang salat di awal pagi, dan tak pernah kembali.
Banten, September 2017.
RIWAYAT PENYAIR
Bayu Suta Wardianto, lahir di desa Tegalwangi, Tegal, Jawa Tengah, 18 Maret 1998. “Suta” adalah anak kedua dari tiga bersaudara, hasil dari pernikahan Drs. Aming Siswanto dan Suharti. Ia menempuh pendidikan formalnya selama 16 tahun di Banten. Setelah mendapat ijazah dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, ia berlabuh di Purwokerto untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Proses kreatif bersastranya dimulai sejak bangku kuliah ketika mengenal Ade Husnul Mawadah, Farid Ibnu Wahid, Arip Senjaya, Herwan Fr, dan Firman Venayaksa, yang mencanduinya dengan bacaan-bacaan sastra (prosa, puisi, dan drama).
Namanya tercatat dalam buku antologi bersama Gol A Gong pada Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku puisi pertamanya berjudul “Tuhan, Aku Tersesat” menjadi top 10 se-Nasional dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto. Buku kedua yang ia tulis berupa kumpulan cerita pendek berjudul “Perempuan yang Terjerat Kursi Taman, mendapatkan endorsment dari Ahmad Tohari. Sebentar lagi, ia menerbitkan buku puisinya ke- 2 berjudul “Pada Suatu Musim”.
Tulisan-tulisannya termuat diberbagai media cetak maupun online. Beragam esai dan artikelnya antara lain dimuat di Badan Bahasa Kemendikbud, Radar Banyumas, Laman Maarif NU Jawa Tengah, Bidik Utama, Suara Dewantara, Buletin Orange, dan lainnya. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Beranda.co, Ngewiyak.co, SKSP-literary.com, dan lainnya. Sejumlah artikel ilmihanya dimuat di jurnal nasional maupun internasional.
Selain menjadi pejalan dan pelajar, ia serabutan sebagai pekerja teks serta pengecer kata-kata di Rumah Kreatif Wadas Kelir, dan menjadi bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.
Email: bayusutawr@gmail.com,
Instagram: @suta_sartika,
blogspot: www.tulisansuta.blogspot.com