Diterimanya selembar surat tanpa alamat, tanpa kontak untuk dihubungi,
namun hanya kode etik yang tak dimengerti.
“ke mana harus kubawa selembar surat ini?” tanyanya pada diri sendiri. Lalu dia pergi
berkeliling mencari jalan untuk menyelesaikan kode-kode itu.
Hari
demi hari dilaluinya, di pohon beringin dia berteduh. Dari satu rumah Tuhan ke
rumah Tuhan lainnya ia bersinggah, Dari fajar hingga senja kembali menjemput
matahari dia terus berkeliling mencari penerimanya. tak lelah ia terus
berkelana, lembah, hutan dilaluinya. kicau burung juga masih tak berubah, dan
jalan yang dilewatinya terus berganti.
Dia
bertanya pada polisi, tentara, dan bangunan-bangunan tua yang dilaluinya di
jalan-jalan besar, tak ada satu jawaban pasti, semuanya seakan menggelengkan
kepala tanpa kata. dia juga bertanya pada tuhan, dewa-dewi yang semua orang
percayai dapat memberikan jalan, namun semuanya diam tak melemparkan balasan,
Tapi dia tak henti berjalan, terus mencari kebenaran.
Entah siapa penerima sebenarnya?
Orang dan jalan yang berbeda terus dilalui
sehingga dia harus bertanya lagi pada anak kecil di simpang jalan yang sedang
menjual koran, dan pada badut-badut di lampu merah semua jawaban yang didapat
sama hanya sekedar kepala digelengkan tanpa jawab.
Tepat
pada hari Sabtu, dalam hutan ia mendengar suara tanpa orang, dia terus mencari
asal dari suara itu, ia berpikir: mungkin di sana ada jalan.
Dia terus mencari asal suara itu, ketika ia
sudah sampai pada asal suara itu, ia kaget melihat hutan yang dilaluinya tak ada
suara burung, tak ada bisikan angin, semua seakan diam juga tak mau kenal siapa
yang datang kali ini. Dia pun terus menyapa pohon-pohon, dan burung yang
bertengger di rantingnya. Semua yang ada dia ajak bicara untuk mencetuskan
dinding tirani pada kode-kode yang tertera di surat itu, semua membisu. Suara
cipratan air samar memanggilnya dia menghampirinya dan dengan segera
meninggalkan hutan itu. lalu dia pergi ke suara cipratan air dan meminta pada
sungai untuk memberikan air matanya untuk dibawa pergi berjalan mencari alamat
yang tak jelas itu.
***
Dia
mulai berjalan kembali dengan dua botol air mata sungai tanpa menghiraukan
tubuhnya yang penting surat itu sampai kepada penerimanya. Dia menumpang kapal
di ujung jalan pemisah laut dan daratan hingga sampai ke negeri asing yang tak
pernah dikenal dari dulu. Mencari dan mencari adalah sebuah pekerjaannya setiap
hari. Suara-suara asing di dasar pendengarannya tempat dia mempertanyakan kode
yang tertera di surat itu, tapi semua tak peduli.
Ketika
kebosanan mulai tumbuh di pikirannya dia memaksa untuk terus mencari,
sebagaimana pencari emas tak ingin pulang sebelum mendapatkan apa yang
diinginkan, tapi toh itu benar. Semua surat telah tersampaikan, hanya tinggal
satu surat dengan kode etik yang sulit dimengerti. Namun dia tak berhenti
mencarinya.
Ketika lelah menepi di tubuhnya, dia singgah
di mana pun. Serigala, harimau dan hewan lainnya tak asing dengan dirinya,
semua mengenalnya, mungkin jika ada orang bertanya tentang dirinya semua hewan,
hutan, dan jalanan akan menjelaskan dengan rinci tanpa cela, bahkan bisa benar
semuanya, dia kenal baik dengan alam berjalan tanpa takut tersasar, hanya
membawa tempat surat dan dua botol airmata sungai.
Dan
jika telah usai lelahnya dia berjalan kembali seakan mencari ujung dunia, tapi
sejatinya ia hanya ingin menyampaikan selembar surat yang tak pernah dibuka
olehnya, yang dia tahu hanya kode-kode tertera tanpa bertanya untuk siapa surat
itu.
Angin
terus memaksanya untuk membuka surat itu agar dia tahu ke mana harus diantarkan
surat itu tapi dia tak ingin mengikuti angin dia hanya dapat perintah untuk
menyampaikan bukan membaca isinya. Dia pergi menjauhi angin agar dia tak
membuka surat itu. Ketika hujan mengguyurnya dia buka payung untuk melindungi
surat itu. Setelah tubuhnya telah basah kuyup dengan keringatnya kini hujan
memandikan agar bau peluhnya hilang. ketika hujan sudah reda dia kembali
memutari matahari dan mengejar rembulan tanpa harus berpikir panjang untuk
siapa semuanya, hingga ia sampai di ujung jalan. Tak ada jalan lagi hanya
dinding pemisah dia pun memutar kembali dan mencari jalan baru.
***
Semua yang melihatnya tertawa seakan dia orang gila dan bodoh, tapi toh
dia hanya ingin menyampaikan selembar surat entah untuk siapa yang dituju.
Harapan dia sudah dekat dengan penerimanya memberikan surat itu dengan senyum
yang lebar dan pipi lesungnya ditampakkan, dia terus menerus menyelamatkan
surat itu dari kejaran anak-anak kecil, sehingga dia merasa lelah dan menepi di
bawah pohon siwalan dekat pantai dengan tamparan ombak pada tembok perigi.
Saat
dia tak ada lagi tenaga untuk memulai perjalanan baru dia tiduran dan merenung
setiap langkahnya hingga dia sendiri lupa jalan pulang. Dari mana? dan ke mana
tujuannya? Tapi hatinya terus memaksa lagi untuk berdiri mencari jalan, hingga
tersampaikan surat itu pada penerimanya.
Dia
sejenak bernafas lega, membuat api unggun dan mencari ikan untuk dimakan.
“Baru terasa perutku lapar,”
Dan
ketika sudah makan dia kembali mengigau.
“tenagaku telah kembali, waktunya mencari
jalan baru”
Berjalan lagi mencari jalan baru untuk memenuhi sarat pekerjaannya.
“surat ini harus sampai”
Dia bersih keras untuk mencapainya tanpa tahu
arah tujuannya. Empat mata angin semua telah dilalui satu persatu hanya tinggal
satu yang belum dilewati jalannya sempit hanya satu arah untuk menuju puncak
jalan itu. setelah itu mungkin tak ada lagi jalan yang harus ditempuh. Dia pun
berjalan menuju jalan itu walau berdesakan, saling dorong dia tak peduli dan
tetap lewat. Bau keringat dan bau matahari bercampur di sana, tapi tak peduli,
dalam pikirannya surat itu harus sampai tidak peduli apa pun risikonya.
Ketika dia telah sampai di pertengahan jalan,
dia berjalan agak ke samping membuat jalan baru di hutan-hutan untuk menembus
jalan paling depan. Tapi dia tersesat di sana seakan kunang-kunang membawa
lampu ke matanya. dia mula-mula mencari sungai untuk mencuci mukanya untuk
mengembalikan penglihatannya, berjalan mencari sungai menggunakan
pendengarannya walau matanya agak buram.
Ketika
sampai di sungai dia segera minum dan mencuci mukanya sehingga kunang-kunang
itu hilang dari matanya, dan dia berhenti di bawah pohon besar, rindang, dan
sejuk. kicau burung kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia terus terpikir pada
penerima surat itu.
“mungkin dia menunggu surat ini”
Sehingga tertidur dengan pulas saat bangun, matahari, burung, dan angin
telah pulang ke rumahnya hanya dia yang seakan tak ada rumah, dan dia berpikir
lagi sejenak.
“Mungkin sebaiknya surat ini aku buka, bila
sudah matahari bermain bersama awan di atas kepala nanti. Tapi bagaimana nanti
kalau ditanya kenapa suratnya terbuka? Saya akan jawab saja untuk mengetahui
alamatnya,”
Bila matahari mulai muncul dan bermain dengan
awan dan siul burung bernyanyi dengan angin, dia pun membuka surat itu dan
dibaca. dia pun kaget saat membaca surat itu sebab tujuan surat itu untuk
dirinya sendiri, dia pun menyesali sebab tak peduli dengan perkataan angin
waktu di hutan kemarin.
Setelah tahu siapa sebenarnya penerima surat itu, dia pun menjatuhkan
tubuhnya ke atas tanah dan rumput-rumput di tubuhnya tertawa seakan meledeknya.
“Dungu!” kata rumput sembari memijat punggungnya.
Bogor, Januari 2023
Riwayat Penulis
Irman Hermawan, nama pena Sableng. Kelahiran Legung
Timur, 15 Oktober 2003. Tinggal, dan besar di kampung kasur pasir, Legung
Timur, Batang-Batang, Sumenep. Alumnus MA Lughatul Islamiyah. Puisinya tersiar
di beberapa media antara lain; Tempo, Pos Bali, Majalah Elepsis, Bhirawa, dll