BAHASA
RA MOON SUK
Beberapa batang pohon berdiri di suatu taman kecil. Cuacanya
mendung, muram, dan anginnya kencang. Setiap kali angin bertiup, aku
memasukkan leherku ke dalam mantel tipis dan mencari-cari kafe di dekat taman. Telah
lewat tiga puluh menit dari waktu janjinya, tapi temanku tidak muncul. Tak ada
kabarnya dari dia yang selalu memberitahukan terlebih dahulu keterlambatannya.
Hal ini sangat berlainan dengan kebiasaannya selama ini.
Karena cuaca buruk, tidak banyak orang yang
ada di taman dan di pinggir jalan. Betapa ringannya merasa sendirian,
seolah-olah sehelai kain yang ditiup angin. Aku merasa begitu longgar. Aku berpikir
jika tidak segera pergi ke kafe, aku pasti terkena flu akibat cuaca dingin ini,
tapi aku hanya berkeliaran di sekitar tempat yang sama. Angin musim semi mengacau
otakku, dan berbagai pikiran berguling-guling seperti daun kering, naik dan
hilang ke udara. Tiba-tiba, aku menyadari ada suara aneh yang terdengar berulang-ulang
dari dekat.
Aku tidak dapat mengerti, tapi itu
adalah ‘bahasa’. Bahasa asing. Orang yang ingin
menegur adalah seorang anak
laki-laki yang tampaknya baru saja lulus SMA. Anak laki-laki itu menatapku
dengan senyum kebingungan. Kelihatannya dia malu karena aku tidak menanggapinya
meskipun dia beberapa kali mencoba berbicara denganku. Aku berdiri dengan
kebingungan sementara anak itu juga melonglong. Anak laki-laki itu mengatakan dengan
suatu bahasa yang aku tidak bisa mengerti dan dia terus mengulanginya seperti
burung beo sebagai jawaban terhadap pertanyaanku yakni apakah anda bisa
berbahasa Inggris. Dia seolah-olah percaya bahwa hanya dengan mengucapkan
kata-katanya dengan perlahan-lahan dan jelas, arti kata-kata itu dapat disampaikan
kepadaku. Setelah beberapa kali mencobanya, dia berpura-pura mengambil foto
dengan ponselnya, karena aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Ah, foto! Aku
baru tahu. Dia mau mengambil foto. Aku menerima ponsel dia.
Awan semakin turun dan angin semakin
kencang, tapi aku mulai memotret anak itu sambil melihat orang lain. Orang-orang
yang melewati terus melihat kami. Bau tanah tercium seperti hujan akan segera
turun. Setelah memotret tiga atau empat foto anak laki-laki itu yang setengah
berdiri, aku mengembalikan ponselnya dan mulai berjalan ke arah jalan raya. Beberapa
langkah kemudian, bahasa asing itu terdengar lagi. Anak laki-laki yang mengejarku,
ingin menjelaskan sesuatu dengan jari-jarinya, bergantian menunjuk dirinya sendiri
dengan foto yang diambil dari ponselnya. Dia tampaknya ragu-ragu apakah aku
mengerti, tapi dia tidak berhenti bicara. Aku merasa pusing karena sama sekali tak
dapat mengerti bahasanya meskipun mendengarkan berulang-ulang. Aku tunjukkan
ponselnya sambil mengisyaratkan tanda pengambilan foto, dia mengangguk. Menjengkelkan!
Aku mengambil lagi ponselnya.
Aku mengambil foto lebih banyak daripada
dugaan semulanya. Dengan isyarat tangannya, aku maju ke depan, mundur, mendekat
lagi, untuk mengambil foto, dan berdiri berdampingan, menatap layar ponselnya. Wajah
anak laki-laki itu tiba-tiba cerah ketika dia melihat foto dirinya yang
dipotret tepat di bawah bahunya.
“Apakah kau perlu foto bukti?”
Ketika aku bertanya sambil menunjuk
fotonya, anak itu mengangguk dengan kuat. Aku mengambil ponsel anak itu lagi. Di
dalam layar ponsel, anak laki-laki itu tersenyum tipis. Ketika dia tahu foto
apa yang aku harus ambil, nampaknya dia mulai memperhatikan penampilan sendiri.
Ketika aku memotret foto, anak itu melihat hasilnya dan mengangkat jari
telunjuk dan berteriak, “Satu lagi!”, aku melihat foto bersama-sama
dan kadang aku berteriak “lagi!” Foto-foto yang aku sukai tidak cukup memuaskan anak laki-laki
itu, dan foto-foto yang menganggukkan kepala anak laki-laki itu tampak ada
sesuatu kekurangan bagiku.
Pada saat itu, kami berbicara dalam
bahasa ibu masing-masing. Kami bisa bertanya dan menjawab dengan bahasa yang
berbeda satu sama lain. Kami
melihat foto-foto bersama dan mencari cara untuk mendapatkan foto yang lebih
baik. Anak laki-laki itu memasukkan jari-jarinya di antara rambut untuk
menggembungkan, menyisir, dan mengacak-acak rambutnya. Dia memasukkan kerah kemeja
ke dalam baju rajutan atau mengeluarkannya, dengan ekspresi yang sedikit
berbeda. Anak laki-laki di dalam layar ponsel cukup bersih dan segar dengan
wewangian sabun, tetapi dia menggelengkan kepalanya seolah-olah itu berbeda
dari apa yang dia inginkan. Kadang-kadang dia tertawa, atau menunjukkan penyesalan
dengan serius. Ketika aku melihat anak laki-laki itu yang membolak-balik
puluhan foto wajahnya, aku merasa seperti murid yang sedang diperiksa PRnya. Ketika
anak laki-laki itu akhirnya meninggalkan taman, aku merasa bersyukur seolah-olah
telah pulang-pergi ke dunia lain.
Aku sendirian lagi. Sementara itu,
angin telah mereda dan langit sedikit cerah. Aku merasa sangat segar. Aku
berjalan menelusuri jalan, berhenti di toko buku, duduk di kafe, dan melihat
sekeliling dengan penuh harapan, seperti seorang musafir yang baru saja tiba di
tempat tujuannya. Aku merasa bebas, tidak hanya di kepalaku, tapi juga di
hatiku. Terasa sedikit sedih, tapi tenang dan memuaskan. Aku menelepon temanku
malam hari itu dan bertanya tentang janji kami di taman. Aku terasa ekspresi
temanku yang kebingungan.
“Apa maksudmu? Kita akan bertemu minggu
depan!”
Aku menceritakan kejadian di taman. Itu
terjadi pada siang hari itu, tapi rasanya sudah lama sekali. Aku tidak bisa
menjelaskan secara teliti keadaan perasaanku sore itu. Apa sebabnya ingatan
kami saling menunjukkan perbedaan meskipun menggunakan satu bahasa. Hubungan akrab
aku dengan temanku dapat dikatakan tak perlu kata, karena betul-betul tahu satu
sama lain. Kalau begitu, apa masalahnya antara hati dan bahasa? Ketika bahasa tidak
berfungsi, pikirannya bergerak maju. Mungkin karena itu, ‘bahasa’ tidak bisa
menjadi penghalang antara aku dan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu
berusaha keras untuk mendorong pengertianku, sedangkan aku juga begitu. Seorang
wanita paruh baya yang percaya pada janji yang tidak tepat dan berjalan
sendirian di taman yang kosong melawan angin musim semi yang ganas, dan tertawa
ketika dia mengambil foto seorang anak laki-laki yang tampaknya berasal dari
luar angkasa. Pada saat ‘bahasa’ tersesat jalannya, bagaikan meluap kebanjiran,
si wanita itu datang dengan perahu di dalam ingatanku.
“Apakah teringat pada waktu itu?
말
라문숙
나무가 몇 그루 서있는 작은 공원이었다. 흐린 하늘에 바람까지 불어 을씨년스러웠다. 나는 바람이 지나갈 때마다 얇은 코트 안으로 목을 집어넣으면서 혹시 근처에 들어갈 만한 카페가 있는지 두리번거렸다. 벌써 만나기로 한 시간에서 삼십 분이나 지났는데도 친구는 나타나지 않았다. 조금만 늦어도 미리 연락을 하곤 했던 평소와 달리 아무런 연락도 없었다.
궂은 날씨 때문인지 공원에도, 공원 옆길에도 사람들이 드물어 한적했다. 오랜만에 홀로인 기분이 얼마나 가벼운지 바람에 휘날리는 보자기라도 된 것 같았다. 그렇게 헐렁한 느낌이 싫지 않았다. 어디 카페라도 들어가지 않으면 감기에 걸리고 말거라는 생각은 들었으나 공원 밖으로 나가는 대신 계속 서성이며 같은 자리를 맴도는 것이 고작이었다. 봄바람에 머릿속까지 흐트러져 이런저런 생각들이 마른 잎처럼 이리저리 굴러다니다가 휘말려 올라가서 허공으로 사라졌다. 문득 가까운 곳에서 낯선 소리가 조금 전부터 반복해서 들려오고 있다는 걸 깨달았다.
도무지 알아들을 수 없는 소리였지만 그건 ‘말’이었다. 이방의 말. 내게 말을 걸어온 사람은 고등학교를 갓 졸업한 정도의 소년이었다. 소년은 어쩔 줄 모르겠다는 듯이 난처한 표정이 섞인 미소를 짓고 나를 바라보았다. 제법 여러 번 말을 건넸는데도 내가 반응을 보이지 않아서 민망했던 모양이었다. 나는 상황을 이해하지 못해 어리둥절한 채로 멍하니 서 있었는데 소년 역시 나만큼이나 당황한 듯 보였다. 소년은 내가 알아들을 수 없는 말을 했고 영어를 할 줄 아느냐고 묻는 내게 앵무새처럼 같은 말만 되풀이하고 있었다. 천천히 또박또박 발음하는 것만으로 자신이 하는 말의 의미가 내게 전해질 수 있다고 믿는 것 같았다. 몇 번의 시도 끝에 내가 그의 말을 전혀 알아듣지 못하는 걸 눈치 챘는지 들고 있던 핸드폰으로 사진을 찍는 흉내를 냈다. 아, 사진! 그가 원하는 건 사진이었다. 나는 소년이 건네주는 핸드폰을 받아 들었다.
구름은 점점 낮게 내려앉고 바람도 거세졌지만 나는 소년의 사진을 찍기 시작했다. 그제야 다른 사람들이 눈에 들어왔다. 지나가던 이들이 흘깃거렸다. 금방이라도 비가 쏟아질 것처럼 흙냄새가 피어 올랐다. 엉거주춤 서있는 소년의 사진 서너 장을 찍은 후 핸드폰을 돌려주고 큰길 방향으로 걷기 시작했다. 몇 걸음 걷지 않아서 예의 그 낯선 언어가 다시 들려왔다. 나를 쫓아온 소년은 손가락으로 핸드폰 속에 찍힌 사진과 자신을 번갈아 가리키며 뭔가를 설명했다. 내가 제대로 알아듣는지 의심스러운 표정이면서도 말을 멈추지는 않았다. 아무리 여러 번 들어도 이해할 수 없는 말에 어지러웠다. 사진을 다시 찍어 달라는 건가 싶어서 손가락으로 그의 핸드폰을 가리켰더니 고개를 끄덕였다. 성가신 아이네! 나는 다시 핸드폰을 잡았다.
생각보다 많은 사진을 찍었다. 소년의 손짓에 따라 나는 앞으로 나아갔다가 뒤로 물러서고 다시 다가가며 사진을 찍었고 나란히 서서 핸드폰 화면을 들여다보았다. 소년의 표정이 갑자기 환해 진 건 자신이 모습이 어깨 바로 아래까지 찍힌 사진을 보았을 때였다.
“증명사진이
필요한 거야?”
사진을 가리키며 내가 물었을 때 소년은 고개를 강하게 끄덕였다. 나는 다시 소년의 핸드폰을 손에 쥐었다. 화면 속에서 소년은 보일 듯 말 듯 미소를 지었다. 내가 어떤 사진을 찍어야 하는지 알게 되자 이제는 자신이 어떻게 보이는 지가 신경 쓰이는 모양이었다. 내가 사진을 찍으면 소년이 들여다보고는 집게손가락을 들어 한 번 더! 를 외치는 일이 한동안 계속되었다, 함께 사진을 보던 내가 한 번 더! 를 외치는 경우도 있었다. 내가 마음에 들어 한 사진들은 소년의 성에 차지 않았고 소년이 고개를 끄덕인 사진들은 내가 보기에 뭔가 부족한 듯 보였다.
그때쯤 우리는 각자의 모국어로 말하고 있었다. 각기 다른 언어를 사용하면서도 자연스레 묻고 대답할 수 있었다. 함께 사진을 보면서 어떻게 하면 더 나은 사진을 얻을 수 있을지 궁리했다. 소년은 머리카락 사이로 손가락을 넣어 머리를 부풀리고 빗어 내리고 헝클어뜨렸다. 스웨터 안에 입은 셔츠의 깃을 안으로 넣기도, 겉으로 드러내 보기도 하면서 조금씩 다른 표정을 지었다. 휴대전화 화면 속의 소년은 비누냄새가 날 만큼 청결하고 싱그러웠으나 자신이 원하는 모습하고는 차이가 있는 듯 고개를 갸우뚱하곤 했다. 웃었다가 진지해졌다가 화가 난 것처럼 부은 표정을 짓기도 했다. 자신의 얼굴이 찍힌 수십 장의 사진을 넘겨보는 소년을 바라보며 나는 마치 숙제 검사를 받는 기분이었다. 소년이 마침내 공원을 떠났을 때 나는 어딘가 다른 세상이라도 다녀온 듯 생경한 느낌이었다.
나는 다시 혼자 남았다. 그동안 바람은 잦아들었고 하늘도 조금 밝아져 있었다. 기분이 날아갈 것처럼 상쾌했다. 길을 따라 내려가 서점에 들렀고 카페에 앉아 방금 목적지에 도착한 여행자처럼 기대에 차서 주위를 둘러보았다. 머릿속뿐만 아니라 가슴속까지 자유로워진 기분이었다. 조금 쓸쓸하기도 했지만 조용하고 만족스러웠다. 그날 저녁에 친구에게 전화를 걸어 공원에서의 약속에 대해 물었다. 친구가 어이없어하는 표정이 보이는 듯했다.
“무슨 말이야? 우리가 만나기로 한 건 다음 주잖아!”
공원에서 있었던 이야기를 해줬다. 낮에 있었던 일이건만 오래전의 일처럼 아득했다. 그날 오후의 가뿐했던 기분을 제대로 설명할 수 없어 답답했다. 같은 말을 사용하면서도 어긋나게 기억하고 있던 건 무엇 때문이었을까? 친구와 나는 누구보다 말이 통하고, 아니 굳이 말을 하지 않고서도 서로의 마음을 알 수 있는 사이였다. 그렇다면 마음과 말 중 무엇이 문제일까? 말이 기능하지 못할 때 마음이 앞으로 나온다. 서로에게 낯선 이방인이었던 나와 소년 사이에서 ‘말’이 장벽이 될 수 없었던 것도 그래서였을 터다. 소년은 나를 이해시키려고, 나는 소년을 이해하려고 애썼으니까. 어긋난 약속을 철석같이 믿고 사나운 봄바람에 맞서 홀로 텅 빈 공원을 서성이다가 외계에서 온 듯한 소년의 사진을 찍으며 웃음을 터뜨렸던 중년여자는 ‘말’들이 길을 잃고 장마철 강물처럼 범람할 때마다 기억 속에서 조각배를 타고 내게로 건너온다.
“그때,
기억 나?”
(Diterjemahkan oleh Kim, Young Soo)
Profil Penulis (작가 소개)
Ra Moon Suk, naik panggung
dunia sastra lewat <Siwasanmun> pada tahun 2021.
라문숙, 2021년 <시와 산문>을 통해 등단