KE PARE-PARE
Hanya
ada warna kelabu di teluk, Ainun.
Seberkas
suar dari celah,
hanya
kelegaan sehabis jauh tempuh tuju.
Orang-orang
dengan bekal emas atau perada,
yang
dikenangkan hanya cemas atau tak ada.
Kita
meniru salju musim gugur
untuk
kembali,
daun-daunan
khatulistiwa mengeras dan tua.
2022
KEBERANGKATANMU
Aku
hampir tak teringat tentang jam,
menggantung
di dinding tapi tidak hatiku.
Ia
menetap padamu,
sebidang
jalur di langit.
Warna-warna
sepi. Adakah kaumenatapku
dalam
senyum polos sekolah menengah dulu?
Di
rumah seorang telah mengosongkan seluruh.
Tinggal
diri mematung diri.
2022
MIMPI BOCAH
Katakan
padaku tentang kemurnian.
Bila
hujan adalah bahasa embun,
apakah air mata adalah bahan
dari
cinta murni?
Di
sini, cahaya dan warna ruang
algoritma
dalam baris sunyi.
Jalan
telah demikian lapang,
sebuah
kubah menuai pelangi.
Burung-burung menjadi
besi.
2022
THE TRUE PARENTS
Sambil
bermimpi,
selagi
mata mulai mengabu
orang
mengenal laut, menyebut kala
ke negeri entah. Sambil
menarikan
bayangan matahari musim hujan
angin
gelegak rindu ranjang,
pemberian
leluhur.
Misalkan
dusun tertidur dan kau bermimpi
adalah
halau desisan ular,
sebuah
rengkuhan hidup
pegunungan
terakhir menggugurkan salju
bagai
ceruk dihuni perapian
dan
tangan orang-orang yang senantiasa tercetak
di dinding sanubari. Tangan pasir,
malam
ribuan bintang.
Dongeng-dongeng
hanyut bersama mimpimu
menemu
sebutir buah dekat sang Pohon.
2021
KOGNISI SUNYI
1.
Aku pernah melihat hal-hal ini:
tinggal
dan membekas,
serupa jarum bila keheningan tiba
dan segala riuh berpulang—
pernah
menanyakan ihwal
dari pintu-pintu yang membuka
dan menutup pada pagi dan senja.
Masih, lewat hal-hal sunyi:
ia
berlari dan mengendap,
tapi ia juga
bergerak ke keniscayaan.
Daripada hari ini
yang
jauh dan membentang,
dan jam-jam patah kemudian.
2.
Kita tidak pernah menanyakan dalam diri
ihwal
dendam, kebencian atau cinta:
segala berjalan dalam sunyi,
di antara apa yang perlahan menengadah
pada kebenaran. Kenyataan yang meletakkan janji
dan harapan, yang bertemu bila
sepasang hati memberi.
Aku pernah melihat itu semua:
dibentuk
dan dikukuhkan
oleh waktu. Sorotnya, juga gerak yang meniti
saat-saat hidup dan pergantian.
Yang mengetahui perihal tersembunyi,
prasangka-prasangka dan pengingkaran.
3.
Pernah memandang jauh
terhadap apa yang perlahan menghilang:
kukenal,
di antara hal-hal besar ini
jemari menari,
sesosok biduan berbalut tawa dan tangis,
yang perlahan tenggelam bila hujan menggerimis.
Pernah menghela pendek
terhadap apa yang perlahan mengenang:
ketukanku pada pintu-pintu musim,
bangkit dan mengharap,
pada jejak-jejak pagi yang sembunyi.
Adalah hal-hal besar bila
sepasang mata enggan bertaut bertemu
dalam bisu. Waktu, sebagaimana kita menyebut
beringsut dalam takut,
dan sunyi yang merajai malam hari
menabuh desah yang terburu.
4.
Dan apakah kita,
selain kenangan yang dibentuk dengan masam?
Dengan bendera, himne-himne dipantulkan:
kita bergelanyut, senantiasa,
dan rapatlah hari dalam pungutan suara kebisuan.
Kita bepergian, menuntun jalan yang pecah.
Kita hendak menyulut kata ke dalam hati,
berderai-derai rindu
bersama kegusaran yang menepi di tengah perjalanan.
Dan apakah kita,
selain bahasa yang merendahkan diri pada keangkuhan?
Kita bergerak,
melenyapkan prasangka sejenak
dan berharap setiap konak
dengan rahim yang menggerutu:
berharap setiap gejolak
dengan ampunan
yang bisu.
5.
Orang-orang itu, aku tahu,
berbicara dalam gumam
berbaris ke setiap garis hari-hari,
dengan wajah pertama yang mereka kenakan
apabila gerimis tiba. Mereka, aku tahu,
bersenda-gurau dengan waktu
bersama malam apabila bulan pertama kembali.
Hari besar akan tiba: yang terbaca pada selempang di udara…
Dan mereka, aku tahu,
berpawai ke jalanan dan menghirup aroma bahagianya.
2018
KAFILAH BULAN SUCI
Di
tangga menuju surga
di
bulan langit berbintang,
kasidah
dengung jauh
memantulkan denyut
semesta
kita. Cinta meraih,
pohon
menjulang di keheningan.
Lalu
sayup, engkau telah melihat ia kembali
bersejingkat,
bergelayut sepanjang garis tepi pagi.
Orang-orang
telah tiba dari hilir.
Segenap
langkah terpanjat ke hulu.
Dan
dari kafilah, bergema derap perjalanan.
2019
SUATU SENJA, SEBUAH LEGENDA
Sebelum
hari libur tiba,
dia
masih berjibaku terhadap kerja.
Langit
membentuk awan-gemawan cerah
menghuni atap angkasa. Adakah yang
menenteramkan
jiwa selain sejuk pegunungan
mengalir
jauh ke hilir dusun?
Di
sinilah manusia menjalankan peran
hidup, digenapkan kebisuan.
Hari-hari
instrumentalia,
seorang
lelaki jauh mengusap keringat mentari
dari dahi sang bukit,
seluruh
waktu tercerabut dari rahim,
lahir
dengan denyar pusparagam,
kemelut
mendingin dan ditinggalkan para perusuh
di muara kasih.
Menggenggam
tongkat jelmaan,
dia
mengarahkan haluan
ke pulau keramat.
Di
mana obat, cawan-cawan madu,
anggur
dan memorabilia pustaka,
mengisi
buritan—sauhpun terangkat.
Pulang melindungi kita
akan esok.
2019
PENYARU BUDIMAN
Yang
datang di pagi buta,
mengenakan
kenangan lampau
dari
embun
adalah
sepenggal lain cerita si penyaru budiman.
Mengembus
bila dedaunan rebah,
bak sepotong kayu
terpangkas
dari renggat waktu.
Bepergian,
dikenakannya penutup
ingatan akan datang.
Langit
tidur, jalanan bergolak
tapi
berdendang juga cinta.
Ia
masih ingat untuk membenamkan separuh
biografi dan riwayat dicatat
sepanjang
alur petualangan.
Cadar
dari matahari, dari kalimat sunyi:
“Di mana ruang
kosong bagi perindu?”
Tak
disangsikan, tempat itu kini bunyi.
2019
DOSA LAMPAU
1.
Jam-jam
di sekitarku menetas,
jadi
buih—perempuan kaku yang mengendur;
wajah-wajah
kutemui mengeras,
jadi
titah lelaki jauh dari pantai.
2.
Siapa
memainkan tangan dan bayangan,
memainkan belenggu
di
kaki hari Minggu.
Di
mana surya menyerbuki bunga impian.
3.
Dosa
adalah sebutir kerikil
digelandangkan seorang diri
ke
sungai pertobatan.
Di
jeramnya seorang peminta-minta
mengemis siang di malam sesal.
2019
BUDAK BELIAN
Di
atas gurun ditundukkan gugusan bintang.
Kafilah
letih mencari mata air
ke negeri jauh.
Hanya
mimpi tentang laut,
kapal-kapal
melayari samudra biru
jantungmu.
Gemerincing
koin dijatuhkan
di hadapan wajah keling,
tulang-tulang
berharga
menyapu
debu terakota.
Di
istana mereka akan bertukar
kain
dan makanan,
mengisi
jam-jam sibuk
dan
menghuni bukit pasir gembala.
Orang-orang
bebas,
melihatnya
berkeringat mandi mentari.
Orang-orang
bebas,
di
atas pelana kuda menundukkan bintang
benua hitam.
Tersebut sebagai apa?
Utang
mereka hanya menghilangkan risalah
dan
perangai buruk,
seperti
kemelut abad silam:
hari-hari
barbar,
hak-hak
milik tak bertuan,
jangkar
yang dihanyutkan ke lubuk pantai asing.
2020
Rudiana
Ade Ginanjar, penyair,
lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Sejumlah karyanya tersebar di surat kabar, buku antologi bersama, dan media
daring. Selain puisi, juga menulis esai dan terjemahan. Bergabung di Komunitas Sastra Kutub, Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kepudang No. 24 RT 05 RW 02 Desa Caruy, Kecamatan
Cipari, Kabupaten Cilacap, Kode Pos 53262, Jawa Tengah. Kontak: sur–el ke ginanjarpustaka@gmail.com, atau ponsel (WA) 081–327–581–231.