Aroma yang Tersebar dari Tempat
Keramat bagi Leluhur
Jang Cheol Ho
Aku
pergi ke tempat keramat bagi leluhur di kampung halamanku untuk memotong rumput
liar. Di mana anak sungai kecil bertemu dengan sungai besar,
tempat keramat itu terletak di desa yang tenang dikelilingi bendungan. Di musim
yang berbeda, berbagai jenis pohon termasuk kanola dan alang-alang menggantikan
baju, membuat penulisan buku harian taman setiap musim. Beberapa ekor burung
bangau yang berkeliaran di atas permukaan air dangkal hanya memberikan gerakan
halus pada lanskap yang tenang.
Kedamaian
bendungan seperti taman yang indah, secara ironis, diuji oleh kecemburuan alam.
Selama hujan deras yang memecahkan rekor baru melanda daerah sini, mengakibatkan
bendungan yang mengelilingi sungai itu runtuh, dan semua rumah di dekatnya
terendam dan hancur. Rumah ibuku juga begitu. Tempat-tempat di mana dihantam
oleh hujan angin yang deras benar-benar hancur total, dan masih terlihat
berbagai usaha untuk merehabilitasinya. Pandanganku terfokus pada atap tempat
keramat yang samar-samar, tapi langsung terintimidasi oleh semak belukar hutan yang tumbuh subur. Tanpa sentuhan manusia, rerumputan baru akan subur
bagaikan nasib. Hal itu tetap menunjukkan kekuatan hidup yang keras sekaligus
memperlihatkan kesedihan. Dewasa ini, dengan bantuan jasa atau penyemprotan obat-obatan,
rumput liar dapat dibasmi. Tapi ibuku tetap berkeinginan untuk menggunakan
sabit. Nampaknya itu merupakan suatu tradisi turun-temurun dan juga merupakan
tanda penghormatan ibuku terhadap tempat keramat bagi leluhur.
“Aku
akan menggunakan sabit untuk membuka jalan, kau ikuti perlahan-lahan,”
Aku
harus mengikuti instruksi Ibu yang berpengalaman puluhan tahun. Karena di sela-sela
semak-semak, ada ancaman dari ular berbisa. Itu sebabnya aku membutuhkan bimbingan
khusus dari ibuku, yang telah menguatkan kemampuannya untuk mengusir ular. Ibuku
sudah usia lanjut dan menderita radang sendi, tetapi masih memiliki keberanian.
Di tempat ini, ibuku menganggap dirinya sebagai seorang ahli terbaik.
Nampaknya, ibuku cukup bersemangat. Mungkin aku ingin melihat ibuku seperti
itu. Itu sebabnya aku selalu datang ke sini setiap tahun. Ketika suara sabit
yang tajam terdengar dengan baik, rumput liar yang tinggi segera dipotong dan
jalan baru terbuka. Tugasku adalah mengambil sisi kanan tempat keramat di
sepanjang lorong untuk membersihkan rumput liar. Di antara semak-semak yang
tampak di depan mataku, muncul salur-salur yang berduri tajam menandai jalan depan lebih sulit lagi. Tapi,
semangat yang tak mau mundur mulai berbangkit terhadap kerepotan dan kesulitan
kecil ini. Sifat ini merupakan warisan DNA basah dari ibuku. Dengan diam-diam
membersihkan rumput liar bisa bertemu dengan gerombolan hidrangea. Pada saat
itu, aku merasa senang karena berhasil menemukan harta yang tersembunyi. Setelah
keadaan tidak sadarkan diri selama berjam-jam berlalu, rasa sakit mulai
bergerak dari kaki bagian bawah ke punggung. Saat itu adalah saat yang tepat
untuk mengangkat pinggul. Ketika Aku mengangkat tubuhnya ke langit, ibuku masih
membungkuk. Ibuku telah hidup puluhan tahun sebagai menantu perempuan sulung di
rumah kepala keluarga besar tetap memegang sabit untuk melanjutkan pekerjaan kasar
seperti ini bagaikan kesatria. Setelah melihat ibuku, aku harus segera
membungkuk untuk melanjutkan pembersihan rumput liar dengan sabit. Warna sarung
tangan sudah diubah menjadi hijau dan bau rumput mulai tercium. Seolah-olah aku
kecanduan dengan bau yang hidup, aku mengayun-ayunkan sabit seperti mesin. Terselip
di semak-semak dengan aroma rumput yang menyengat, aku merasa pendekatan dengan
ibuku, terdengarlah nyanyian lama. Rasanya seperti musik klasik dari piringan
hitam kuno.
Nyanyian
kerja fisik ibuku tidak berubah. Nyanyian yang merdu itu untuk sebentar membawa
kembali ke masa kecilku. Hal-hal itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, tapi aku
masih mengingatnya seperti baru kemarin. Pada waktu itu, tidak ada bendungan di
tepi sungai, jadi jika hujan sedikit pun turun seperti sekarang, tepiannya akan
meluap dan sering membanjiri kampung halamanku. Seiring berjalannya waktu, bendungan
dibangun dan desa berubah menjadi seperti sekarang. Banjir dan kehancuran desa
adalah kejadian langka dalam beberapa dekade belakangan ini. Ini juga merupakan
kesempatan bagi kita untuk sekali lagi menyadari betapa tidak berdaya untuk
hidup di lingkungan alam. Seluruh angota keluarga mengambil air dengan panci
dan mengeringkan pakaian dan buku-buku yang basah. Nenekku mengeluh karena
sebagian perabotan rumah tangga kini tidak dapat dipakai lagi. Adikku terus
menangis karena sepatu barunya basah kuyup. Pada saat itu, ibuku bernyanyi sambil mengambil
air dengan panci. Anehnya, nyanyian ibuku menghentikan semua keluhan dan
tangisannya. Aku tidak minum minuman ringan, tapi dadaku terasa sejuk. Jelas
bahwa ibuku memiliki kemampuan untuk melepaskan penderitaan dan kesengsaraan dengan
sebuah nyanyian.
“Aku
tahu ini sulit bagiku, tapi aku harus melakukannya agar orang berikutnya lebih
nyaman,”
Entah
sejak kapan aku mendengar suara ibuku yang merdu. Kata-kata ibuku bagaikan pukulan
dengan cambuk. Seperti pembukaan jalan terlebih dahulu dengan sabit, ibuku
mengharapkan generasi penerusnya tetap mengikuti jalan itu. Saat matahari
terbenam di barat, tubuhku dibasahi keringat dan bercampur dengan bau segala
jenis rumput. Ketika hujan mulai turun dari langit yang semakin gelap, tempat
keramat bagi leluhur dapat terlihat dengan jelas. Ketika aku melihat tempat
keramat itu baru aku teringat pemiliknya. Aku bisa merasakan sentuhan-sentuhan
mulia yang didedikasikan pada setiap pilar untuk membersihkan kayu nisan tua. Mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk
belajar, mereka yang telah menghabiskan hidupnya untuk mendidik dan menulis,
mereka yang telah menjaga tempat keramat ini dengan tekun. Semuanya adalah
nenek moyangku. Cabang-cabang bambu yang lurus di belakang tempat keramat tampak
seperti pipa tembakau yang mereka hisap. Pemandangan yang belum pernah
dilihatnya di balik semak belukar hutan mulai tampak setelah aku menyelesaikan
pekerjaannya.
Aromanya mulai disebarluaskan seperti fatamorgana dari bahu ibuku yang berkeringat. Setiap
kali ibuku melangkah, aku mencium aroma yang baru.
사당에서 피는 향기
장철호
미뤄두었던
벌초를 위해 고향 마을의 사당祠堂*1으로 향했다. 작은 강의 지류가 큰 강과 만나는 곳, 보洑를 끼고 자리 잡은 한적한 시골 마을에 자리 잡고 있다. 계절을 달리하면서 피는 이팝나무, 유채, 수레국, 갈대들의 옷갈아 입기는 매 계절 정원일기를 쓰게 만든다. 얕은 수면위를 고고하게 거닐며 사냥을 하는 백로 몇 마리가 이 고요하고도
정적인 풍경에 미세한 움직임을 부여할 뿐이다.
정원 같은
보의 평화는 아이러니하게도 자연의 시샘에 시련을 맞기도 했다. 이 지역을 덮친 기록적인 폭우 때 강을 둘러싼 제방이 무너져 근처에 있는 가옥들은 모두 수몰되고 부서졌다. 지금은 거주하지 않지만, 어머니의 시골집도 마찬가지였다. 비바람이 휩쓸고 지나간 곳은 그야말로 초토화되어 여전히 회복에 몰두하는
곳들이 군데군데 보였다.
어렴풋이 보이는 사당의 꼭대기에
시선이 집중 되다가도 정글과 같은 무성한 덤불에 바로 기가 눌렸다. 그동안 참 잘도 자랐구나. 사람의 손길이 없어야지 번성하는 잡초의 요상한 운명은 질긴 생명력만큼이나 애절한 것 같다. 요즘은 잡초 제거 대행 서비스나 약을 뿌리면 한 번에 해결될 것을 어머니는
애써 낫질을 자처하신다.
윗대부터 해 내려오던 전통을 고수하는
것도 있겠지만 사당에 대한 예의의 표시이기도 했다.
“내가 낫질을 해서 길을 틀 테니 천천히 따라 오이라.”
몇 십 년의
노하우를 지닌 어머니의 지시는 꼭 따라야 한다. 수풀 사이는 꽈리를 튼 뱀들의 위협이 도사리고 있기 때문이다. 특유의 뱀 쫓는 기술을 연마하신 어머니의 특별한 지휘는 그래서 꼭 필요하다. 백발이 성성하고 관절염에 약을 달고 사는 나이가 되었지만 패기는 여전하시다. 이곳에서 만큼은 자신이 최고 베테랑이라고 생각하시니 힘이 절로 생겨나는
걸까? 그런 어머니의 모습을 보고 싶은 건지도 모르겠다. 바쁜데 오지 말라고 한사코 만류하는데도 매년 이곳을 찾는 이유다. 사각사각 노련한 낫질 소리가 시원하게 들려오면 웃자란 갈대와 풀들이
일차적으로 쓰러지고 통로 같은 길이 확보가 된다. 내 임무는 통로를 따라서 사당의 오른편을 맡아서 풀들을 제거해 나가는 것이다. 처음 눈앞에 보였던 삐쭉한 풀들 속에서는 겹겹이 얽힌 환삼덩굴*2과 가시덤불이 모습을 드러내면서 더 고된 앞날을 예고했다. 하지만 다소 귀찮고 사소한 고난에도 오기가 생겨나는 건 어쩌면 어머니의
질척한 유전자를 조금은 물려받은 듯하다. 무념無念으로 묵묵히 잡초를 제거하다 보면 힘겹게 버티면서 도움을 바라는 수국 무리를 만날 수 있다. 그럴 때면 숨겨둔 보물이라도 찾은 듯 뜻밖의 재미까지 느낄 수 있다. 얼마나 시간이 지났는지도 모를 무아지경의 상태가 지나면 다리 아래쪽부터
등허리까지 통증이 밀려온다.
그 순간이 비로소 허리를 들어줘야
하는 때이다. 고사리처럼 말았던 몸을 펼쳐 하늘로 쭉 일어나면 어머니는
여전히 허리를 굽히고 계신다. 종갓집의 맏며느리로
몇 십 년을 사셨으니 이런 고역은 아무것도 아니라는 듯 무사와 같은 낫질은 거침이 없다. 그런 모습을 보고 나면 어머니가 볼세라 얼른 다시 허리를 굽혀 낫질을
해야 했다. 손에 낀 목장갑은 어느새 초록 물이 들고 그곳에서 풀냄새가
베이기 시작했다. 살아있는 냄새에 중독이라도 된 듯 낫질도 기계처럼 반복되었다. 짙은 풀 향에 파묻혀 수풀을 헤치다가 어머니와 가까워짐을 느끼는 순간, 바람을 타고 오래된 노랫가락이 들려왔다. 마치 구식 레코드 턴테이블에서 거칠게 나는 클래식 느낌이랄까?
어머니의
노동요는 변함이 없었다.
구성진 가락은 잠시나마 어린 시절로
나를 데려다 주었다.
30년도 더 지난 일인데도 어제
일처럼 기억이 난다. 그때는 강변에 제대로 된 제방이 있지 않아서 지금처럼
조금만 비가 내리면 둑이 넘쳐 집안까지 비가 들어오기 일쑤였다. 세월이 흐르면서 제방 공사가 이루어지고 마을도 점점 현재의 모습으로 변해갔지만, 물이 넘쳐 마을이 황폐해진 적은 몇 십 년 만의 희귀한 일이었다. 우리가 얼마가 자연에 귀속되어 살아가며 무기력한지를 다시 한번 깨닫는
기회이기도 했다. 온 가족이 바가지로 물을 퍼내면서 젖은 옷가지와 책들을
말리던 장면이 영사기 필름처럼 지나갔다. 세간살이가 못쓰게 되었다고 한탄하시는 할머니의 목소리, 새로 산 운동화가 젖었다고 연신 울어대던 막내의 울음소리가 아른거린다. 그럴 때면 어머니는 바가지로 물을 퍼내면서도 노래를 부르셨다. 신기하게도 어머니의 노래는 불평도, 울음소리도 모두 멈추게 했다. 청량음료를 마신 것도 아니었는데 가슴이 뻥 뚫리고 시원했다. 어머니는 노래 한 자락에 고난과 번뇌를 벗어 던질 줄 아는 지혜를 가졌던
게 분명하다.
“내가 좀 힘들어도 이래 해 놔야 다음 사람이 편한 기라.”
언제 오셨는지
어머니의 시원한 목소리에 화들짝 정신을 차렸다. 어머니의 말씀은 마치 앞선 사람의 채찍질 같았다. 낫을 잡고 먼저 길을 냈듯이 후손들이 잘 따라오기를 바라는 마음이 녹아 있었다. 해가 서쪽으로 뉘엿뉘엿 넘어갈 무렵 몸은 어느새 땀으로 범벅이 되었고
온갖 잡초의 냄새로 뒤섞였다. 어둑해진 하늘 사이로
빗방울이 떨어지기 시작할 때쯤 사당 앞은 말간 모습을 드러냈다. 고되고 막막했던 마음이 걷히고 뻥 뚫린 주변을 보고 나서야 이 사당의 주인들이 떠올랐다. 낡은 위패를 닦고 모시던 그 숭고한 손길들, 기둥 하나하나에 서린 정성들을 느낄 수 있었다. 배움을 위해 한평생을 바치신 분들, 후학 양성과 집필을 위해 일생을 보내신 분들, 사당의 앞날을 묵묵히 지켜 오신 나의 선조 님들이셨다. 우리보다 훨씬 더 앞선 당신들께서 사당을 지키며 조상의 위패를 닦고
모시던 그 절절한 마음들이 스며 나오는 듯했다. 사당 뒤쪽에 곧게 선 대나무 가지는 그들께서 피우던 긴 장죽의 곰방대 같아 보이기도 했다. 밀림같이 우거진 수풀에 가려 미처 보지 못했던 장면들이 일을 정리한
다음에야 보이기 시작했다.
비로소 낫을
놓고 땀을 훔치는 어머니의 어깨 위로 신기루처럼 향이 번져 올랐다. 조금씩 발걸음을 옮길 때마다 새로운 향기로 피어났다.
(Diterjemahkan oleh Kim,
Young Soo)
Profil Penulis (작가 소개)
Jang Cheol Ho, naik panggung dunia sastra lewat Siwasanmun pada tahun 2022. (menerima Hadiah Pengarang Baru bidang Esai). Menerima Hadiah
Sastra Pegawai Negeri, Hadiah Esai Manusia Jujur (Yayasan Kebudayaan Kyobo,
tahun 2021)
장철호. <시와 산문> 신인문학상 에세이부분(2022). 공직문학상, 참사람 에세이공모전 우수(교보문화재단, 2021)