SULUK SULTAN AGUNG
Kautukar dendam itu dengan lima benggol luka lebam serdadu Belanda
Batavia bersaksi dalam kebisuan dan kebisingan
Ciliwung menjelma sungai bangkai
Dari Kraton Kerto tanganmu mengepal ke langit
Keris dhapur Naga Kemayan luk lima di tangan kanan
Dan tombak Korowelang bertahta emas di tangan kiri
Kauikat tekadmu di Bukit Permoni
Malam Satu Suro hingga Rabu Pungkasan di Bulan Sapar
Suluk Sultan Agung tirakat merajah langit
Di tepi Tempuran sungai Opak dan titik-temu kali Gadjah Wong
Kau arahkan anak panahmu tepat ke jantung Jan Pieterszoon Coen
Mukti atawa mati!
Mati atawa mukti!
Begitulah hujan deras berwarna merah mengguyur bumi Batavia
Meninggalkan jejak mantra dalam darah-dagingku
Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijriah
MUNAJAT HIJRAH
Bismillah Nawaitu Lillah
Air mata hijrah tumpah di bait pertama puisi
Bulan Muharram membuka cadar kesadaranku
Menyesali dosa yang malang-melintang di jalan raya usiaku
Bergegas berselancar di situs-situs tasbih
Membedah fitur istighfar
Kubangun dermaga rindu untuk melabuhkan hijrahku
Hasbuna-Allah Wani’mal Wakil menjerit di dada kananku
Pertapaan jantung dan paru-paru
Melabrak kata-kata yang senantiasa menepuk dada penuh jumawa
Dalam tiap helai nafasku
Doaku meledak
Di cakrawala
Langit biru tanpa pintu
Mengiringi badai tangis dan banjir-bandang air mataku
Munajat hijrah menyeru
Mencahayai mihrab tafakurku
Meninggalkan jejak pendosa
Jiwa jahiliyah dalam usiaku yang sia-sia
Munajat hijrah memekik di telinga agar aku waspada dan siap-siaga mengucap selamat tinggal kefakiran dan kekafiran yang bersemayam di rongga dada
Munajat hijrah menyalakan alarm sebagai penanda bahwa virus malware sedang merayakan pesta dan kiamat kemanusiaan sudah tiba di depan mata
Suluk Muharram kusenandungkan di bibir legam
Jiwa yang kelu beringsut-ingsut dalam lorong berliku labirin waktu
Masihkah aku bersenggama dengan fatamorgana?
Bersenda gurau di kegelapan dan melalaikan cerah cahaya?
Menapaki limbo sejarah ini kupeluk mesra syahadat cinta
Dengan bahasa naif dan diksi tanpa aroma
Hijrahku merekam kata demi tergapainya cita-cita bagi terwujudnya keluhuran akal-budi bangsa
Hijrahku merekam pikir demi tegaknya daulat nalar putra-putri Ibu Pertiwi
Hijrahku merekam jejak hingga jauh di seberang maut sana
Bertahun-tahun berbuat zalim
Berkubang kemunafikan dan melecehkan sesama anak-anak bangsa
Kini saatnya kuhijrahkan kata-kata, pikiran dan tindakanku
Hijrahku bersumpah untuk tak menggadaikan Ketuhanan yang Maha Esa
Menjajakan agama dalam lapak politik untuk berebut kuasa
Hijrahku memerdekakan manusia
Tegak-lurus berjihad mewujudkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Hijrahku merawat nurani dan kata-kata demi kokohnya Persatuan Indonesia
Hijrahku memastikan bahwa kerakyatan menggapai marwahnya dalam hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan
Hijrahku mengawal martabat Ibu Pertiwi dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Bergelantungan di selendang Nabi Muhammad
Kutitipkan salamku dalam tempayan kedamaian
Kuhijrahkan jiwaku dari comberan dosa dan kepalsuan
Kuhijrahkan kalbuku dari lumpur takabur dan ketamakan
Kuhijrahkan puisi-puisiku dari penjara makna dan kedegilan hati merasa paling sempurna
La Tahzan!
Kutikam ketakutan dengan sujud sembahyang
Kulunasi hutang-hutang ketakwaan dengan silaturrahmi dan rendah hati
Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijriah
TITIK NOL HIJRAH
Merindukan Sang Maha Cinta
Jejak kaki Muhammad kuhadirkan sebagai prasasti
Di Titik Nol Hijrah kutetaskan telur emas dari sangkar nalarku
Jejak langkah diiringi doa
Langit kelabu digulung menjadi masa lalu
Tak ada karpet merah bagi sang penggembala
Tapi akar rumput yang dirawat dan terus dipelihara agar lestari hijau-suburnya
Kemanusiaan tak boleh beku
Kejumudan harus dipecah
Hati nurani tak pantas dipecundangi
Matahari Pembaruan telah lama terbit di Bumi Madinah
Firman Tuhan sudah melanglang langit dan bumi
Cahaya cinta terus menyala di mana-mana
Di Titik Nol Hijrah
Abad Jahiliyah telah kukubur dalam-dalam
Jelajah kegelapan telah menjadi abu
Sang penggembala telah memetik saripati cahaya
Hijrahku adalah pangkal api revolusi
Menyalakan kembali marwah kemanusiaan
Bara kehidupan demi tegaknya peradaban
Gus Nas Jogja, 18 Juli 2023
FAJAR PERTAMA TAHUN BARU HIJRAH
Kuucapkan salam pada terbit matahari di pagi pertama tahun baru hijrah dengan memetik doa dalam setangkai puisi
Sembari menghirup udara pagi dan berkaca di bening embun, kubaca kembali jejak sejarahku dalam kitab-kitab tua di perpustakaan rindu
Mawar dan duri ternyata tak hanya sebatas kias, juga bukan soal melati yang kehabisan wangi
Kubuka jendela jiwa
Kulukis ilham kenabian yang memanjakan pandangan makrifatku
Pada kafan putih yang kujadikan kanfas
Kuhijrahkan kegelapan jahiliyah dalam comberan kemunafikan masa lalu menuju terang-benderang yang terangkai pada tenun cahaya di sujud sembahyangku
Kusapa langit biru
Kusalami awan kelabu
Kuselami telaga zikir di bening imanku
Sudah hijrahkah aku?
Dengan maskawin cinta
Kumaharkan kemesraan ini dalam kaligrafi puisi
Untukmu yang setia menjaga kesucian hati
Penyair bahagia yang rela merawat kata dari nafsu dan angkara murka
Gus Nas Jogja, 19 Juli 2023
MATAHARI HIJRAH
Kesusilaan itu sunyi
Kepongahan itu rimba belantara
Aku mendayung suara hati
Membelah gugusan batu karang
Akan kemana kuhijrahkan jejak jahiliyah ini
Saat arah kiblat sudah dibengkokkan oleh nafsu?
Bercocok-tanam di ladang akal-budi
Kugali-gali kebajikan dengan cangkul iman dan ilmu
Agar kekudusan bersemi
Agar kasih merimbun merindang di sepanjang jalan kemanusiaan
Hijrah itu indah
Saat puisi mewartakan suara surga
Hijrah itu bahagia
Manakala kasih sayang mengalahkan syak wasangka
Tak ada yang lebih indah dan bahagia
Tatkala hidup menjadi sebenar-benar manusia
Gus Nas Jogja, 19 Juli 2023
PRASASTI 1 SURO
Di Petirtaan Jalatunda kujamasi jimatku
Zaman Edan dan Gelombang Gelap Kalabendhu mengepung Tanah Air
Memuntahkan erupsi karma dalam semadiku
Sesudah Nogososro dan Sabuk Inten kurendam di air kelapa
Pusaka Kyai Kanjeng Kopek dan Tombak Kyai Plered
Menjadi saksi bisu tajamnya sembilu
Keris Kolomunyeng kuhadirkan dalam kepulan asap dupa
Menjadi pengantin berkalung bunga melati yang dimahari para empu
Tegak-lurus tombak Karno Tanding kugenggam erat di tangan kananku
Mata malaikat menatap tajam angkara murka di tanah pusaka Jawadwipa
Bumi suci berpagar gaib penuh digdaya Tanah Airku
Dengan Mahkota Ajisaka kutunaikan tugasku
Amanah para leluhur para pemburu
Cucuk lampah Ha-Na-Ca-Ra-Ka membelah sejarah Mantra Gula Kelapa dalam babad masa lalu
Kupatahkan tanduk gaib Dewata Cengkar
Lalu kubenamkan kepala raksasa sakti itu ke dalam lumpur Bleduk Kuwu
Dalam tempaan doa Syekh Subakir dan istighfar Eyang Semar di puncak Gunung Tidar
Kuasah sangkur tafakurku dengan puasa bisu
Janji jiwaku menjaga Jawa sekejap mendidih
Merawat makrifat di langit Mahameru menjadi muasal api puisiku
Sebilah sumpah!
Mahapatih Gadjah Mada berseru
Membelah batu karang keraguanku
Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangrwa
Kusebut dalam Sumpah Palapa itu
Kutancapkan di batu karang kesaksianku
Bangsa yang bertubi-tubi dirundung kesakitan
Negeri yang berulangkali dikhianati
Tak akan rebah walau dihantam fitnah ribuan kali
Sebelum Guna Dharma moksa di Pertapaan Waktu
Telah kusingkap jejak gaib di puncak Menoreh
Menebas luka di ujung stupa
Aras Arupadhatu di puncak Borobudur yang megah itu
Satu Suro kukeramasi dengan harum dupa
Prasasti perang suci mengalahkan rasa congkak dalam diriku sendiri
Sayup-sayup kudengar suara gong berkumandang di Alas Purwo
Gemuruh tembang Megatruh mengitari bumi
Pertanda apa ini?
Gatra-gatra kehilangan guru
Guru laku dan Guru Wilangan saling berseteru
Macapat kiamat meruwat rindu pada puisiku
Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijrah
Riwayat Penyair
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.