Mengenang
yang Terkasih
Rudiana Ade Ginanjar
“[Puisi]
menjadi kendaraan sentimen-sentimen asmara.”
(Octavio
Paz)
MEMAHAMI SENI
PUITIKA dari tiap penyair akan selalu kita temukan kadar kedalaman yang
bertingkat. Dalam sejumlah karya, puisi menyimpan energi kedalaman yang sungguh
memukau. Dia mengundang segenap emosi pembaca dan mengarahkan pada kegetiran
yang sama menakutkannya dengan perang, tersebab pengaruhnya. Lihatlah misalnya
dalam sajak-sajak mendung John Keats (1795-1821), penyair negeri Britania.
Sepanjang masa itu, tahun-tahun setelah abad ke-19, tradisi romantisisme Keats
menyuarakan laku hubungan manusia dan alam serta mitos. Keats adalah sosok yang
memadukan ikhtiar pengetahuan dan emosi. Kepekaannya melahirkan sajak liris,
alusi, dan renungan. Lelaki muda dengan segenap gairah keingintahuan.
Apakah
muasal suatu hubungan adalah rasa ingin tahu? Ataukah renjana semata? Bagaimana
keadaan yang menjadikan sepasang insan mengalami coup de foudre? Prasejarah cinta, menurut Octavio Paz (1914-1998),
terjadi dalam suatu masyarakat madani tempat kesetaraan gender berkembang dan
diakui. Dari penyair Catullus di Alexandria, cinta memunculkan diri lewat
kerentanan masyarakat maju kelas atas. Pola-pola kasih yang bermula semata
lahiriah dan lewat perjalanan pengalaman menjauh dari definisi platonisme.
Sajak-sajak mereka, dengan demikian, selalu terhubung dan mencoba menemukan
kesebandingan dengan yang terkasih, objek cinta. Jalan itu tampak menjadi lazim
ditemukan setiap saat, kapan saja kita membacai sajak-sajak romantik. Dari duka
Majnun terhadap Layla hingga soliterianisme Alejandra Pizarnik. Romansa di
setiap zaman menggema ke masa kita kini. Dalam corak yang beragam serta
variasi-variasinya. Yang jangak hingga yang tertulis dalam bahasa batin nan
mengharukan. Kita menemukan, sekali lagi, pertalian erat antara penyair dan
kekasih mereka. Beberapa terang benderang, sementara penyair-penyair lain
mengungkapkan penghambaan mereka secara samar. Untuk suatu alasan kita terpaksa
mengakui ucapan Chairil Anwar: “Cinta
adalah bahaya yang lekas jadi pudar”. Dari tragedi Romeo kita menginsafi
kembali daya perlawanan cinta terhadap tatanan atau kuasa yang berlaku. Puitika
mereka bukanlah tayangan sinema, yang terus mencanangkan kekuatan keajaiban dan
harapan terhadap kemustahilan penyatuan sepasang pecinta. Dalam warna-warna
klise, senantiasa. Bobot penghalang berbeda, sama halnya budaya. Sadar akan
sifatnya yang “di luar pengawasan” atau “tak dapat dikendalikan”, cinta
menjelma sejenis momok. Dalam suatu masyarakat mapan, keseharian senantiasa
menjadi wajah dari kuasa kemajuan. Kesedihan yang ditawarkan cinta bukanlah
iming-iming yang cukup untuk merayu. Dan kegembiraan asmara, sering kali,
dicapai dalam upaya berdarah-darah. Hanya dalam kesederhanaan nilai-nilai minor
tersebut lenyap.
Begitu
banyak bentuk ekspresi seorang penyair romantik tapi selalu terdapat patron
bagi sebagian besar mereka. Chairil Anwar berguru pada W.H. Auden atau Rene
Rilke. Demikian juga pengaruh-pengaruh dari Kahlil Gibran atau John Keats bagi
masyarakat kita saat ini. Secara alami, mereka menurunkan pergiliran ideologi.
Sedikit yang bisa dicatat dari bentuk-bentuk puisi yang mengekspresikan cinta
dalam gelimang arus sosial modern. Dengan kecanggihannya, watak dan perilaku
para penyair romantik berhadap-hadapan. Kekayaan historis dan ilmu pengetahuan
lumer, menitik semata sebagai tatapan selayang
pandang. Politiklah, lagi-lagi, yang lebih banyak menguasai panggung
kehidupan. Dengan gelintir skandal, kegelisahan eksistensi, dan berebut pamor.
Bertahannya penyair-penyair romantik hari ini adalah buah ketekunan luar biasa.
Mereka yang sintas lebih banyak timbul dari kelompok pemuda akademis. Ditopang
oleh tradisi dan iman, cinta dalam sajak-sajak mereka menggema lirih. Mario F.
Lawi cukup menarik minat dengan kedekatannya terhadap khazanah latin. Ibe S.
Palogai mengembarai kembali kenangan kita akan sejarah nusantara dan masa
berdarah perang Belanda. Dari Jawa, untuk menyebut salah satunya, kita mengenal
Teguh Trianton. Tinggal dalam satu wilayah provinsi dengannya tidak lantas
membuat saya bisa memperoleh bukti-bukti atas jejak romantik dengan mudah.
Butuh beberapa tahun sebelum akhirnya saya mendapatkan salah satu buku
puisinya. Citra-citra puitik dari ketiga penyair terakhir itu berbeda-beda. Dan
memahami kesan pertama terhadap sajak cinta selalu sama: sendu. Bahkan tragis.
Mereka menyiratkan duka yang tidak jauh berbeda dengan Srintil, tokoh perempuan
utama novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Pola pemujaan dari seorang lelaki kepada perempuan terkasih selalu serupa.
Mereka meninggalkan jejak kenangan yang dipenuhi oleh perjumpaan, perkenalan,
pergulatan, hingga titik yang mengurung keseluruhan pengalaman itu dalam
keabadian. Jika menginginkan kisah-kisah berakhir bahagia kita menemukannya
dalam dongeng tapi jarang dalam puisi.
Untuk
sejenis romantika kanak seperti Petualangan
Tom Sawyer-nya Mark Twain, keteguhan sepasang pecinta telah cukup bisa
dimengerti bagi seluruh usia. Selalu saja untuk mereka yang dicap nakal atau
jahat atau picaresque, romantika
kisah berakhir menyenangkan. Terdapat daya “memberontak”, untuk satu alasan
benar terhadap upaya penghabisan itu. Kesederhanaan pencinta dicapai sebagian
besarnya melalui jalan para penganut iman. Bukan untuk memihak pada sekat
sosial, melainkan kemujuran dan welas asih Sang Pemurah. Yang horisontal
menjalani laku keras perlawanan. Jika bukan takdir, keputusan akhir dari mereka
yang dimabuk cinta selalu miris. Sosok ‘yang terkasih’ menjadi amsal seorang
gadis jauh di pulau. Dengan pesimis Chairil menggambarkannya: “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri”.
Rona-rona sama yang Keats ajukan dalam sajak-sajak semisal “Bright Star” atau
“Ode on Melancholy”. Dengan ciri khas dari tiap penyair tersebut, beragam warna
puitika muncul. Dari yang berterus terang dan kagum, atau yang mengambil wajah
lain (alam, benda, kenangan) sebagai amsal pernyataan asmara. Metafora yang
tentu saja lain jikalau kita membaca epos atau balada. Yang dalam wujudnya yang
biasa sekalipun, W.S. Rendra telah menerjemahkannya untuk kita dengan lugas.
Sajak-sajak
romantis terus mencari takdir mereka. Yang sublim, liar atau profan bertarung
menemukan jati diri. Bagai alunan jaz dari sudut kerumunan kota yang dituturkan
kelompok pinggiran, sajak cinta mengisi sejarah kita sebagaimana pula stanza
penyair Teguh Trianton berikut: “di
batinmu, jadikan aku air yang meruang/ pada rongga sejarah yang terurai di
ulang tahun hujan”.(*)
Rudiana Ade
Ginanjar,
penyair. Berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Bergabung dengan Komunitas Sastra
Kutub, Yogyakarta.
Rujukan:
– Epigraf
berasal dari Octavio Paz, Nyala Ganda:
Cinta dan Erotisisme (Yogyakarta: Penerbit Basabasi, 2018).
– Chairil
Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012).
– Sajak-sajak
John Keats bisa diperoleh antara lain di website: www.poetryfoundation.org.
– Teguh Trianton, Ulang Tahun Hujan (Purwokerto: Beranda Budaya, 2012).
Riwayat Penulis
Rudiana Ade Ginanjar, penyair, lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Sejumlah karyanya tersebar di surat kabar, buku antologi bersama, dan media
daring. Selain puisi, juga menulis esai dan terjemahan. Buku puisi perdananya, Sekelumit Dukacita (2023). Bergabung dengan
Komunitas Sastra Kutub, Yogyakarta.
Tinggal
di Jl. Kepudang No. 24 RT 05 RW 02 Dusun Cigintung, Desa Caruy, Kecamatan
Cipari, Kabupaten Cilacap, Kode Pos 53262, Jawa Tengah. Kontak: pos-el ke ginanjarpustaka@gmail.com, atau ponsel
(WA) 081–327–581–231.