Puisi
dan Potret Hidup
(Telaah sederhana puisi
Ahmad Sultoni)
Peradaban
manusia tidak lepas dari bukti-bukti. Bukti-bukti ada dengan berbagai macam
bentuk. Dari barang-barang pecah belah yang tertimbun ratusan atau bahkan ribuan
tahun, bangunan unik, artefak, fosil, dongeng-dongeng tak masuk akal,
gambar-gambar aneh di dinding gua, mantra-mantra atau kidung mistis, atau
bahkan tulisan-tulisan pada daun lontar. Di sini bisa dibilang hampir setiap
peradaban manusia meninggalkan jejak rekam. Yang mana jejak rekam tersebut
biasanya merupakan sebuah karya seni. Baik
seni rupa, seni musik maupun seni sastra. Sangat
dimungkinkan bahwa karya seni sebuah
masyarakat itu berkaitan erat dengan cara hidup mereka. Penyair besar W.S. Rendra mengatakan bahwa bentuk
dan isi kesenian adalah hasil kesadaran sang penciptanya.[1]
Berbicara tentang seni sastra tentu kita akan
bertanya-tanya apakah sastra bisa dijadikan pijakan historis sebuah peradaban? Sudah
tentu ini akan menjadi perdebatan yang sangat panjang. Akan tetapi, hemat saya,
sastra yang merupakan produk imajinasi setidaknya mengandung sebuah kenyataan
sekalipun kadarnya hanya beberapa persen. Menurut
Agus R. Sarjono, sastra adalah anak yang sah dari zaman dan komunitasnya.[2]
Kehadiran sastra tidak pernah dapat dilepaskan dari relasinya dengan habitat
tekstual masyarakat tempat ia hidup selain terutama perkaitan tekstualnya
dengan sejarah perjalanan konvensi dan tradisi sastra itu sendiri.[3]
Dengan
demikian, puisi
sebagai salah satu jenis dari seni sastra tidak hanya sebuah seni yang hanya memiliki fungsi seni atau I’art pour I’art (meminjam istilah para
penyair Eropa). Puisi dapat menjadi sebuah potret
suatu kehidupan dan media pengabaran. Seberlebih-lebihannya penyair dalam
mengungkapkan kata-katanya tentu ada sesuatu yang mendasarinya, tentu ada
sesuatu yang membuat alam bawah sadarnya menggunakan suatu pilihan kata,
tentu ada kesadaran dan
pengalaman-pengalaman tertentu yang mencampuri kata-katanya.
Berikut ini beberapa puisi karya penyair Sultoni yang
saya anggap merupakan suatu potret hidup:
Riwayat
Petani Kluthuk
yang
Tak Punya Leluhur
Sawah-sawah yang
sekarat
Tak ada hari
depan untukmu
Padi-padi tak
lagi uluk salam
Kepadamu ketika
embun
Membasuh wajah
pagi
Kita konsep
ulang lagi masa lalu
Kita rancang
lagi masa depan
Dan segala
maharencanamu
Perihal burung
peking yang kehilangan
Anak-anaknya
Anak-anaknya
bermain sebentar di surga
Cericit cericit
cericit
Mereka tampak
bungah
Tak ada lagi
jaring-jaring pelindung
Bijian padi
Bagi burung-burung
Cara itu hanya
lelucon
Padahal tak ada
goni dibawa
Hanya barang dua
tiga biji
Itu tak akan
mengusikmu
Apalagi bila kau
ingat
Upa-upa
menggunung
Pada pasrah
tatkala rasa lapar
Hanya milik para
leluhur
Zaman telah
berubah
Toko-toko
kelontong menyediakan beras
Seberapa pun
engkau minta
Bijian beras itu
datang dari masa depan
Sekali lagi.
Datang dari masa depan.
Katakan pada
petani kluthuk sejagat
Mereka terlalu
keras
membanting
tulang
Tulang tak perlu
dibanting
Seperti kisah
pilu para leluhur
2019
Sawah
dan Aku
-buat
anakku Aleena
Sawah adalah
tempat paling kurindukan
Menatap hamparan
hijaunya
Selalu ada debar
yang menentramkan
Ayah, ibu,
kakek, dan nenek
Hidup dari
sawah. Aku pun juga.
Engkau pun juga.
Di sawah padi
dan palawija
Bisa tumbuh dan
merdeka
Burung-burung
kuntul mengistirahatkan terbang
Burung-burung
jalak mencari kutu di badan kerbau
Sekarang rinduku
pada sawah membuncah
Sawah-sawah
mulai punah
Hamparan hijau
yang mendebarkan
Menjelma
rumah-rumah
Menjelma
pabrik-pabrik
Aku tak ingin marah
pada rumah-rumah
Aku tak ingin
marah pada pabrik-pabrik
Aku hanya ingin
berdoa
Semoga Tuhan
membawaku ke hamparan
Hijau
sawah-sawah. Di belai
Oleh lembut
anginnya
Meski cuma di
mimpi tidurku.
2019
Berangkat dari pernyataan Iwan Simatupang pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Karya
seorang pengarang memantulkan pertautan dirinya dengan tanah airnya.[4]
Barangkali sebagai orang yang terlahir dari
pedesaan membuat Sultoni mengusung tema-tema yang berkaitan erat dengan
desanya. Dalam puisi “Riwayat Petani
Kluthuk yang Tak Punya Leluhur” dan
“Sawah dan Aku” mempunyai kesamaan yaitu sama-sama memotret tentang sawah.
Dalam “Riwayat Petani Kluthuk yang Tak
Punya Leluhur”, Sultoni menggambarkan
bahwa sawah-sawah akan segera musnah; /Sawah-sawah yang sekarat/Tak ada hari
depan untukmu/. Hal itu diperkuat juga dengan /Perihal
burung peking yang kehilangan /Anak-anaknya/ ini merupakan sebuah gambaran bahwa sawah semakin
menyempit hingga burung-burung pun semakin sedikit populasinya. Zaman telah
berubah/Toko-toko kelontong menyediakan beras/Seberapa pun engkau minta/Bijian
beras itu datang dari masa depan/Sekali lagi./Datang dari masa depan/, bait
tersebut menerangkan bahwa zaman sudah berubah yang tadinya untuk mendapatkan
beras manusia harus menanam padi sekarang tidak. Manusia tidak perlu
susah-susah menanam untuk mendapat beras. Mereka tinggal pergi ke warung dan
membayarnya.
Di zaman ini memang manusia Indonesia telah jauh
hubungannya dengan alam. Padahal dahulu kala manusia Indonesia khususnya Jawa
begitu dekat dengan alam. Bahkan manusia Jawa menganggap manusia bersaudara
dengan alam. Seorang penyair senior Iman Budi Santosa, pernah bercerita bahwa
ketika beliau disunat, beliau disuruh menanam pohon kelapa oleh kakeknya dengan
cara yang aneh. Kemudian kakeknya berkata “ iki sesuk dadi sedulurmu”
(ini besok jadi saudaramu). Dia juga mengumpulkan 324 nama tumbuhan yang
dijadikan nama di 3400 desa di Jawa. Hal ini tentu membuktikan bahwa manusia
Jawa begitu akrab dengan alam.[5]
Saya
teringat dengan istilah “lemah
teles“.
Ada “lemah
garing“
(tanah kering) dan “lemah
teles“
(tanah basah). Akan tetapi, “lemah
garing”
dimaknai sebagai “Gusti
allah sing paring”
dan “lemah teles” dimaknai “Gusti Allah sing mbales”. Maksudnya, lemah
teles atau tanah basah bisa diartikan sebagai tanah yang produktif, yang
mana tanah tersebut jika digarap akan membuahkan hasil. Konsepnya jika manusia mau susah payah
menanam dan merawat maka ia akan mendapatkan balasan dari Tuhan atas kerja kerasnya,
yaitu apa yang disebut dengan panen raya./Katakan
pada petani kluthuk sejagat/Mereka terlalu keras /membanting tulang/Tulang tak
perlu dibanting/Seperti kisah pilu para leluhur/, bait tersebut sebenarnya
merupakan sebuah sindiran kepada manusia-manusia sekarang yang sudah
meninggalkan budaya tanam tapi sangat konsumtif. Bisa dikatakan emoh tandur
tapi doyan panen.
Kemudian
pada puisi “Sawah
dan Aku”, Sultoni menggambarkan
keadaan di mana sawah semakin sedikit dengan dibangunnya rumah-rumah dan
pabrik-pabrik. Kerumitan tentang masalah populasi manusia yang kian hari kian
membengkak memang seperti longsoran bola salju yang semakin besar dan tak bisa
dibendung. Sawah-sawah
mulai punah/ Hamparan
hijau yang mendebarkan/ Menjelma
rumah-rumah / Menjelma
pabrik-pabrik/.
Sultoni
mengatakan bahwa untuk kepentingan sumur,
kasur, serta dapur sawah
harus musnah. Manusia memang gemar menggulung sawah untuk dijadikan pabrik dan
rumah. Hal ini bukan hal yang baru. Tapi,
ini juga dilematis,
sebab untuk bisa hidup manusia tidak bisa hanya cukup dengan tempat tinggal,
kesehatan badan dan kebutuhan perut. Lebih dari itu manusia membutuhkan eksitensi, membutuhkan gaya, membutuhkan kekayaan, penghormatan, dan
sesuatu yang lebih.
Menurut Abraham Maslow, manusia
dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh
spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah.
Kebutuhan dasar tersebut
meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan rasa
memiliki-dimiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan
aktualisasi diri, hasrat untuk tahu dan memahami, dan kebutuhan estetik. [6]
Ada sebuah terminologi
jawa “sandang pangan papan”. Ketiganya
diartikan sebagai sandangan yang bermakna pakaian, pangan yang bermakna makanan, dan papan yang bermakna tempat tinggal
(rumah). Akan tetapi,
sandang pangan papan ini bisa
mempunyai makna yang lebih luas. Sandang bisa diartikan sebagai yang
kita pakai (yang melekat) atau yang terlihat oleh orang lain. Pangan
bisa diartikan sebagai kebutuhan pokok jasmaniah, lebih tinggi lagi bisa
diartikan sebagai kebutuhan pokok ruhaniah. Papan diartikan sebagai
derajat atau jabatan, lebih tinggi lagi papan dapat dimaknai sebagai posisi,
atau kemampuan manusia memposisikan diri (empan papan).
Jadi, sandang pangan
papan secara mendalam dapat dimaknai sebagai: pertama, kemampuan
manusia dalam rangka memenuhi apa yang melekat pada dirinya yang dipandang oleh
orang lain, memenuhi kebutuhan ruhaniah (spiritualitas), dan juga kemampuan
manusia untuk dapat memposisikan dirinya sesuai dengan kapasitasnya. Kedua,
kecenderungan manusia untuk tampil baik dimata orang lain, kebutuhan jasmaniah
yang harus dicukupi, dan posisi dirinya (jabatan). Yang kedua inilah yang
mungkin menyebabkan manusia selalu merasa tidak cukup sehingga tidak bisa hanya
hidup sebatas punya pakaian, punya makanan dan punya rumah.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, pada dasarnya
manusia melakukan sesuatu untuk mencapai bahagia. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah keinginan terakhir, kebahagiaan diraih tidak untuk tujuan
lainnya.[7]
Masalahnya, selama hidupnya manusia tidak mungkin selalu bahagia, tidak pula
selalu susah. Ada sebuah kalimat “Penduduk langit tertawa ketika mendengar doa
manusia; “Tuhan, aku ingin bahagia”.
Intinya pada
puisi “Sawah dan Aku”, dalam penggambarannya tentang sawah, selain mengatakan bahwa sudah
semakin ciutnya lahan persawahan juga ada semacam ketidak berdayaannya terhadap
pandangannya kepada sawah. Aku lirik seperti tidak bisa berkutik terhadap
realitas hidup bahwa ia sudah tidak bisa melestarikan sawah. Ia tidak setuju
dengan keadaan sawah sekarang ini dan menginginkan sekaligus rindu pada padang
padi, namun juga tak bisa berkutik pada
cara hidup manusia sekarang ini.
Sajak
Petani Besar Pesisir Kidul
Di pagi yang
selalu pucat ini
Ia berangkat ke
kurusetra
Berbekal pacul
dan sabit kesabaran
Bersiap
membolak-balikan nasib
Yang lama ia
percayai
Ia berniat
menyemai kembali
Mimpi-mimpinya
yang telah layu
Meski
berwindu-windu tak berbenih
Dan hanya pandum
yang bisa dipanen
Sawah adalah
hamparan doa
Petakannya
seumpama jiwa raga
Pematangnya
seumpama hati pikiran
Tegaklah Pak
Tani menyusuri sunyi diri
2018
Petani
Sufi
Ia berfatwa
bahwa petani adalah pejalan
Sunyi paling
sejati. Sebut saja
Ia penyair
sejati. Padi palawija
Yang ia tanam
Berbuah aku.
Terong, oyong
Lombok ijo,
lombok cengis,
Lombok abang,
Timun, kacang lanjar,
Waluh, labu,
kangkung,
Kacang ijo,
dele, jagung,
Cesim, pare,
cipir, lenca,
Tomat, semangka,
Rindu. Engkau.
Tuhan.
Aku. Dan pada
akhirnya aku bersaksi
Atas fatwamu
bahwa welas asih
Alam
menentramkan jiwanya
Yang takkan
pernah gulana.
2019
Petani adalah pejuang.
Begitulah kira-kira apa yang hendak diucapkan sang penyair. Betapa tidak. Trend
bekerja di pabrik dengan gaji yang cair dan uang lembur yang menjanjikan memang
telah menyihir manusia untuk bercita cita menjadi pekerja. Atau, gaya rapi pegawai negeri dengan jaminan
pensiunan dan segala macam tunjangan yang menyenangkan juga telah menjauhkan
para manusia desa dari cangkul dan bau lumpur.
Pekerjaan petani membutuhkan kekuatan mental yang sangat tinggi. Bahkan
mentalnya harus lebih tinggi dari seorang gila judi. Harga bibit, harga pupuk,
dan harga hasil panen padi keuntungan pastinya tidak bisa mereka
mengerti. Namun setiap pagi mereka tetap Setia, berangkat kerja dan membanting
sisa-sisa tenaga.
Memang miris, seorang
petani yang terlihat sedang mencangkuli bumi dengan segenap hati nyatanya hanya
sebuah mesin pencetak padi. Petani sekarang sudah tidak punya bibit sendiri,
mereka harus beli bibit produk merk tertentu yang pupuknya juga merk
tertentu. Semuanya sudah dihitung jika
jumlah bibit sekian maka butuh pupuk sekian dan hasil panen sekian. Petani
harus bergantung pada bibit dan pupuk yang bukan miliknya, mereka harus membeli dan harus berani
bertaruh entah hasilnya bagaimana nanti.
Bukankah ini adalah bentuk perjuangan?
Siapakah yang ingin
menjadi petani? Masuklah ke sekolah
dasar dan tanyakan pada seluruh siswa. Alhasil
kita akan mendapati bahwa kita dan pertanyaan kita adalah makhluk asing
sisa-sisa sampah purbakala. Mungkin inilah efek gantungkan cita-citamu setinggi
langit hingga tak ada sisa cita-cita merayap di bumi. Pekerjaan yang berbaur
lumpur di panas terik dan melelahkan memang menyebalkan. Kita akan lebih mudah membayangkan pekerjaan
di sebuah meja kantor yang ber-AC,
jok empuk dan jas mlipit. Atau seorang bos besar dengan rumah tingkat
yang ada kolam renangnya. Begitulah
angan-angan bocah. Tidak ada yang tertarik menjadi petani yang menderita dan
mengenaskan. Petani dianggap ndeso/kampungan,
kolot, dan tua. Ya,
Tua. Bisa dihitung berapa jumlah kepala di rukun tetangga kita yang KTP–nya petani. Paling
hitungan jari, itu pun satu tangan. Dan yang pasti usianya sudah lebih dari
kepala lima. Begitulah petani, seorang
pekerja yang bekerja pada bidang yang tidak ada dalam cita-cita. Bahkan oleh
keturunannya.
Hal tersebut bisa saja disebabkan karena memang sejak
kecil manusia indonesia tidak dididik untuk menjadi petani, tapi pekerja. Dari
bangku SD hingga SMA siswa Indonesia hanya diberi sebatas pengetahuan tentang
pertanian, itu pun tidak mendalam. Paling-paling dalam praktiknya siswa SD
hanya disuruh menananm kedelai di gelas dan mengamati proses pertumbuhannya.
Meningkat ke SMP dan SMA tidak. Bahkan sangat jarang SMK yang berbasis
pertanian, rata-rata SMK adalah SMK teknik yang berhubungan dengan mesin dan
industri, administrasi atau ekonomi. Saya tertarik dengan Mochtar Lubis yang
berpendapat bahwa kita yang tinggal dan hidup dalam masyarakat-masyarakat yang
berkembang sesungguhnya menghadapi perkembangan umat manusia dalam masa
peralihan yang sangat kejam.[8]
Tidak bisa disalahkan memang, jika mengekor pada negara
lain Indonesia memang dalam keadaan berkembang dan orientasi warga negaranya
pun ingin hidup yang layak dengan cara menjadi pekerja.
“Dan kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma
dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air. Agar mereka dapat
makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka. Maka mengapa mereka
tidak bersyukur?” (QS 2:5). Sebenarnya
Indonesia mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar, akan tetapi
kebanyakan manusia Indonesia tidak sadar dan memilih menjadi pekerja. Seorang
tokoh psikologi Amerika, William james mengatakan yang disebut
manusia normal dalam dunia bisnis, yakni orang yang bersifat materialistis
secara sehat, hanyalah merupakan sari pencerminan dari seorang individu yang
berkembang potensinya, dan kita semua pun memiliki sumber-sumber kehidupan
namun selama ini tak pernah berpikir untuk memanfaatkannya.[9]
Pilihan hidup untuk menjadi petani bukanlah pilihan yang
mudah. petani adalah seorang yang berjalan di jalan sunyi. Jalan yang tak
dilalui oleh orang banyak. Jalan yang penuh dengan peluh usaha. Bukan hanya
pilihan hidup yang dipilih karena alasan ekonomi saja namun juga sebagai
ibadah. Bagaimana tidak, tugas petani adalah berdoa dengan menggarap sawah,
lalu bekerja sama dengan tanah, air agar tumbuhan dapat melakukan tugasnya
untuk tumbuh dan berbuah atas perintah Tuhan supaya dapat menghidupi manusia.
Beberap puisi Sultoni
selain berbicara tentang sawah, bicara pula tentang kehidupan masyarakat desa
yang bekerja sebagai pembuat batu bata..
Batu
Bata Merah
Tanah air itu
telah kami sihir
Jadi semangkuk
nasi rames
Yang terhidang
Di meja makan
kami
Setiap pagi
Tanah dan air
telah manunggal
Di tubuh kami
Telah dibakar
Di tungku
pikiran kami
Ia memerah
Bagai bara
Dalam
darah
2019
Pertama kali
membaca tiga baris pertamanya saya agak geli sekaligus gemas; Tanah air itu/
telah kami sihir/ Jadi semangkuk nasi rames.Penggunaan bahasa seperti ini
sering digunakan oleh Joko Pinurbo. Juga teringat
semangat perjuangan Wijji Tukul. Bahasa yang halus tapi bergerigi. Sekilas itu
adalah kalimat humor namun ada kesan yang mendalam.
Puisi ini
merupakan pengkabaran terhadap seorang yang berprofesi sebagai pembuat batu
bata. Mereka harus berlumur keringat dan lumpur serta berpanas-panas ria dengan
terik matahari dan panas api pembakaran untuk bertahan hidup. Untuk sekadar
makan sehari-hari, setiap hari mereka harus memproduksi batu bata. Seolah-olah
batu bata adalah nyawa mereka. Bagi saya puisi ini adalah puisi yang matang.
Ada banyak orang-orang sederhana dengan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana,
yang sebetulnya itu tidaklah sederhana.
Dari beberapa puisi Sultoni yang disebutkan tadi, sebagai
seorang penyair, Sultoni bisa dikatakan berhasil. Kepekaannya terhadap kehidupan
desa yang akrab dengan petani, sawah dan sebagainya, mampu ia representasikan
melalui puisi. Tentu, dengan sudut pandangnya sendiri. Dengan cara ungkap yang
sederhana namun menyentuh. Tidak hanya dinikmati sebagai keindahan kata-kata,
namun ada pesan, ada kesan, serta kesadaran yang dibangun. Barangkali puisi
memang tidak dapat sepenuhnya mengubah suatu zaman atau tatanan. Tapi
setidaknya melalui puisi ada kesadaran baru atau ada hal-hal yang sebelumnya
telah ada namun terlupakan.
Tentang Penulis
Dewandaru
Ibrahim Senjahaji, lahir di Banyumas 03 Juni 1994. Beberapa puisinya termaktub
dalam antologi puisi Dari Negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015), “Matahari Cinta
Samudra Kata” (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Dari Negeri Poci 7 “Negeri
Awan” dan lain sebagainya. Tinggal di Desa Pasir Lor rt03/02 Kecamatan Karang
Lewas kabupaten Banyumas.
[1] Korrie
Layun Rampan, Antologi Apresiasi sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta :
Narasi, 2013), hlm. 198
[2] Agus R. Sarjono, Sastra Dalam Empat Orba, (Yayasan
Bentang Budaya : Yogyakarta,
200) hlm, V.
[3] Agus R. Sarjono, Sastra Dalam Empat Orba,…, hlm, 27.
[4] Korrie Layun Rampan, Antologi
Apresiasi sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta : Narasi, 2013), hlm. 183
[5] Dani Ismantoko, Belajar Kepada Manusia Jawa dan Tumbuhan,
Macapat Syafaat edisi 11 April 2017
[6] Frank G. Goble, Mazhab Ketiga (Psiko Humanistik
Abraham maslow), (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 69-79
[7] Jalaluddin
Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008),
hlm. 99
[8] Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia
Indonesia,(Yayasan Pustaka Obor Indonesia) 1993 Jakarta. Hlm.32.
[9] Frank G.
Goble, Mazhab Ketiga (Psiko Humanistik Abraham maslow), (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 248