Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi – Puisi Jang Sukmanbrata

Admin by Admin
3 Juli 2024
0
Puisi – Puisi Jang Sukmanbrata
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

HANYA DI PUISI

Hanya di puisi

sebuah desa terasing tempatku bertani. Jalan-jalannya licin saat hujan,

bau tanahnya seharum badan kekasih

Ilalang, ya ilalangnya dibawah purnama ujungnya mengusap mata Hanya di puisi tak mau dirayu diperkosa

Lugu namun bijak

“Siapa yang berujar ini bukan penyair? oh seorang petani di kebun hening”

Hanya di puisi

menuju batu situs lambang tahu diri menolak diinjak dan hati tak dikotori

“Lalu, siapakah kamu datang sendiri? pergi tanpa permisi, hujan saja mengerti. Ya sudah, menulislah sebelum mati.”

Hanya di puisi

nyawanya dihembuskan di larik-larik ada kematian yang tak membuat tangis, sebagian arti tersimpan di kata misteri.

Padalarang, 14 Desember 2020 – 2022

PUISI TAK INDAH BILA BERKABUT

Puisi tak indah bila ditulis selagi kepala berkabut, menatap sayu daun berembun di kebun bawah pohon jambu,

bunga-bunganya gugur di rambutmu, jatuh di kursi bambu, kini rapuh

dengan catatan rindu eraman waktu,

ditiup angin – balik ke tanah, melebur, langkah kakimu makin jauh, bisikmu pun telah jadi lagu.

Puisi tak indah bila ditulis selagi kepala masuk angin, sukacita berlarian di hening

menghindar dari malam dingin – beradu raga – mengusir sangsi, pelukan punya arti di tepian hening. Kau kembali ke kampung lahir, bertemu lagi bawa aroma melati,

tak terhapuskan di kemarau – di hujan, di hempasan angin selatan Kejelitaanmu itu puisi yang dibacakan di panggung benderang,

melintasi tahun gaduh, tiada takut, sinar tepiskan remang remang, bara hangat dalam kenangan,

api abadi disimpan di batu hitam, di napas Adam ke telinga Eva, sebelum telanjang,

sorga masih di genggaman, sebelum sujud meratapi kehilangan.

Puisi tak indah bila diteriakkan selagi mulut masam berdoa hampa Pintu rumah penyair terbuka indah, penghuni lembah berbunga liar Hati itu sehelai sayap lepas,

di hempas angin, melayang

bila jatuh di kolam, mengambang, puisi berkabut mencatatnya.

Desa Padalarang, 4 Februari 2024

CINTA MAUT

Mengapa berada di teras setiap hari, mengeringkan rambut ikal mayang, sorot matamu menembus hati,

aku silau, o kaca kena surya, Kemarilah pujaan alam!

Disinari mentari,

senyuman manis sulit dilukis pudarkan mimpi yang berkabut tipis, saatnya nanti semua berakhir di bumi,

pandang dulu aku! Rengkuh diriku ini, bawa ke kedalaman paling suci hening, Lepas dunia maya, keluar dari daging,

prinsip lebih berarti dari berahi, Kemarilah dambaan lelaki sejati!

Ambil mimpi, cuci bersih di hatimu, keringkan rambut panjang liarku, Sehalus lumut, batu purba tunduk

Oh, mati kutu ragaku di lengan lembut, sukma menggelinjang depan tungkumu, Cairlah darah, jadi sungai beriak merdu.

Bukit Padalarang

PUISI YANG GAIB

Seringkali saat menulis puisi,

kata-kata menari, bernyanyi di bait-bait,

huruf tersenyum simpul menghampiri Kadang raib, tak kembali, jadi teka teki mungkin nyaman tinggal di alam gaib.

Sesekali bayangannya datang berbaris, mau kulamar jadi istri; dipeluk diciumi, eh hilang di riuh pasar, di bising ingin,

sayup terdengar masuk gang hening, celaka aku bertepuk tangan sendiri; Ya dewiku, ya dewi, maafkan jika ngiri,

ini waktunya merdekakan diri di bumi Segalanya tak kecuali: impian semusim

— Kamu tepatnya dimana kini?

Cimahi, Maret 2024

KEMATIAN PENYAIR

a/

dalam hening, aku tak percaya

keramaian berbicara semua bergerak di senyap

bising pun teratur, panas liar seperti hujan menghibur tanah kemarau dibangun udara panas jiwa bertingkah bagai perawan kota

Siapakah memerintah menulis sajak?

b/

secercah cahaya itu penerbit

Lukisan dinding kampung miskin warnanya setipis alis, pendamping pergi,

semangat yang diberikan ke anak tak kan bisa mati, ia api simpanan

Gambar sampul buku merah bergaris Sinar matamu keluar dari gairah hidup

aku sulit tertawa, memilih menangis isyarat maut lembut menjemput serasa masih terlihat duduk

Suami terakhirnya penyair Akukah puan sepi ini?

c/

nyanyi petani seberkah lima jari lumpur ditanami padi tangis iklas lepas puisi

d/

si bernas tak lagi merunduk

si hampa selalu saja tak tunduk “zaman ini bukan milikku”, bisikmu Setetes air jadi cahaya di daun unggul tatkala diciumi kabut Adakah aku di surga yang berlagu?

Kabuyutan Gegerkalong, 1-4 Agustus 2020

KOTA YANG GELISAH

Kata bermekaran

Senyum simpul beterbangan Kursi meja saling menghangatkan

Mata puluhan tahun menyimpan berbagai kenangan pelukan Tiada kebosanan mengusap

di rambut lurus panjang: Beragam ombak sudah diatasi Raga di cafetaria kopi,

sukmanya melenggang di bumbu roti

orang miskin terlihat mengecap jari,

pemukim di sudut toko gegas pergi, mencari nasi sisa si penyinyir yang kerap membelai kucing saat dingin

Pemberontakan diberi angin basah, leluasa keluar masuk ibukota,

tidak mengusir kemungkinan mati

di sela pebisnis saham dan pemimpi

“Setiap malamnya kembali gadis, sinar lampu-lampu itukah selalu mengencangkan kulit?” Kaki kursi ketendang, meringis;

“Duh aku lupa janji di rahim ibu, lebih baik – lebih kuat dari dunia ini”.

Ah, sedikit tipuan lebih mending

dari bualan para koruptor beristri hedonis.

Di atas meja

rencana tinggal angka warnanya dikawini digital

Tuhan senang ke amal setenang kolam Ow mata sembab tertutup asap

Percayalah, Monumen Nasional tak akan cemas dilepas meski terluka,* puncak emasnya dileburkan di puncak menara Eifel

Paris bising, gelisah kurang darah:

— Sambutlah! Kesendirian kutembak, Lihat! Hancur larut di buih kopi panas.

Kota Bandung, 27 Desember 2022

RIWAYAT PENYAIR

Jang Sukmanbrata, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karya puisinya beragam genre: lirik, balada, tanka, haiku dan puisi eksperimental. Di buku antologi puisi Pesisiran & Rantau & Raja Kelana DNP; 2019

– 2020 dan th 2022 dan di beberapa buku antologi puisi kolektif. Sejumlah 30 haiku-nya dan puisinya di muat koran PosBali, NusaBali, KR Minggu Yogya, Pikiran Rakyat dll, di majalah-majalah budaya dan majalah2 NGO Indonesia dan Asia. Puluhan karya tanka dan haiku-nya di buku antologi Newhaiku, artikel, esai dan puisinya tersebar di Medcet, majalah digital dan medsos. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul Merjan Kemuliaan terbit pada Agustus – September 2023.

Kini tinggal di Padalarang Bandung Barat.

Buku kumpulan puisinya; Merjan Kemuliaan terbit Agustus 2023. — Hp.WA: 089668931713

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In