Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata

Admin by Admin
21 Agustus 2024
0
Puisi-puisi Jang Sukmanbrata
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

DERITA JADI API

___Mengenang: Yayak

     Kencrit dan Wiji

      Tukul sang sahid

Segera bacakan puisi

yang lahir dari tangisan bayi,

yang meletup dari pemberontakan diri, 

dari ladang – sawah petani terusir, 

dari sungai yang raib di musim kering,

dari waduk listrik demi industri pencuri,

desa asri dilahap perampok lima negeri, lenyap di taring sepi, lenyap di ruas benci

Tanyakan, nenek moyang dimana lahir?

Geliatnya luka berbakteri

Kau tahu boroknya paha dunia?

Berkali-kali digali, dicincang doktrin,

ditusuk keangkuhan ilmu pengetahuan

Lukisan alam, potret genit seniman kota

Itu lukisan kanvas orang-orang paku :

Bayangan tiran setipis kulit perut,  

kaki despotiknya menginjak ulu,

Kamu dimana, saat warga kota gaduh?

Kami ditinggal di keremangan, 

tanpa ibu – bapak; sahabat mati sekarat,

Pohonan tak bisa dipercaya – menjelma mata-mata, malamnya jadi batara Kala,

ilalang di tanah rebutan menusuk dada 

Kamu bergerak, berontak disana, 

Indonesia! Sejak Mataram dijarah penyamun beragama

Ah, Bapak, aku tak mau puisi Tarji;

itu eongan kucing di kamar sepi, 

Ya, Ibu, aku mau puisi Wiji; perburuan keras harga diri Indonesianis,

tentang zaman terkencing-kencing teknologi, tak kenal saudara ari-ari,

Sebelumnya, tolong kisahkan binatang-binatang hutan buruanmu!

Berlari takut, sempat melamun dulu?

Seribu slogan jatuh di selokan,

dibawa air limbah pabrik, jauh ke muara 

“Jangan persulit rasa sunyi mengalir!

Ya, ya, detak detik kemurahan Tuhan

masihkah berupa kerajaan di hati?”

aku doakan kau, penyair bela negeri,

semoga khayalanmu tak diciumi setan banci

Celaka! Celaka, dunia kanak terpasung durhaka orang tua bermata burung hantu

Hu! Hu! Hu!

Karenanya, segera puisi itu lukiskan sebelum dimuat Koran 

sembari minum kopi bercampur debu jalanan

Pengorbanan kita laksana lautan segar ditemani malam berbintang

(Ternyata puisi berguna bagi kehidupan).

Nah, berkaryalah anak-anak :

gambar bercerita, jalan-jalan berkisah, puisi kesaksian, seni rupa daur ulang limbah atau apa saja yang membuat batok kepalamu bersinar terang;

— untuk zaman tanpa kelembutan hati ini

(Besoknya berita peperangan menembus usus, siklus pikiran kami jadi betul…)

Bandung, April 1987

TAK LAGI NYALI 

Tak ada lagi keberanian

Tak ada lagi keadilan sehari-hari

Kita dihias mimpi air mata darah

Seratus tahun hak membeku di kuburan

Seratus tahun buta sejarah

Bangsa dan bangsat bisa sama;

samar di mata remaja jatuh cinta

Obor kita dibawa penjajah 

Yang menancap di relung hati, duri dengki

sebuah perselisihan harga sakit

Tak ada lagi nyanyian anak lepas

Tak lagi membaca buku dibawah langitMu yang biru

Riang merdu di tanah-tanah lapang

Siang malam keringat berkarat

Membayangkan harapan mewarnai gunung-gunung kars 

Moncong susu ibu bau roti mentega

Berikan lukamu padaku!

biar kubasuh air tebu

yang tumbuh di tanah perkebunan kepungan musuh leluhur

Mesin-mesin tua pabrik pinggiran

Gadis-gadis belia bekerja tanpa topi

demi kenikmatan tuan – kemewahan nyonya, 

negeriku bayangan di fatamorgana

(aku tergantung pada angin gunung 

saat kesadaran berbunga mawar merah)

Kita punya bos baru

Upah dipecah, suara disalurkan ke pipa

Tak ada lagi kesetiaan pada jiwa

Protes dan aksi; sepotong roti dibagi

Biarlah wakil rakyat kenyang sendiri

Kita rakyat pemelihara wasiat bumi;

akan mengadili dan memukul mati.

Tak ada lagi sungai bersih mainan anak-anak kami 

Berkhianat ke bumi memang asyik

Api Namrud dirasa sengatan mentari

Kapan kau bangkit menggali gunung pasir sukawangi

Si majikan memburu surgawi

Si pekerja mengejar kuda kavaleri, 

tentaranya banyak hilang di tambang pasir

Di manakah pusar tanah airku kini?

Davao City, Philippina, April 1992

LAGU CINTA ANAK

__buat pemberontak

       pendidikan

Mengapa kau menyukai anak pinggiran kali tanah air

bertopi daun pepaya, bersenjatakan pelepah pisang

Kepalan tangan basah rindu

— Jiwaku, ya jiwaku kuyup hujan lagu

Kaki tanpa sepatu

aku jamah tubuhmu, hirup auramu

tak dibelenggu hasrat disanjung

Tidak bertepuk tangan, cukup satu lagu

meresmikan kenangan menggunung,

mengikat semangat dengan akar rotan,

melenturkan harapan di dapuran bambu

Turun! Turun! 

Mendidik anak lewat menangkap capung

Mengerami titik api matahari 

Sejuta kali putar bumi

Bagiku satu langkah kaki

Mengoyak kegelapan : budaya bisu dimatikan seni

Jangan takut, puisi adalah ulat hijau!

Darahnya menyuburkan tanah 

menghilangkan gatal lima turunan

Catatlah di jiwa tenangmu; 

anak-anak mengejar bayangan kita,

biarkan berlarian di hujan, 

itu menyerap kekuatan dan keindahan 

Cepat merekam suara bunga memekar

jadi sapaan lembut cinta, 

jadi sekolah alam dan rumah kesejatian

Kemerdekaan itu kerja petani gunung

berburu burung kaburan orang kota 

masuk kebun tebu cagar kehidupan desa

Panggang kasih kau lumuri doa; 

silakan makan, saudaraku sebumi seudara

Iklas sepanjang kertas daluang,

setia selebar benang sutra

Kepalan tangan Merdeka

Kesadaran dibungkus nyanyian

Apa yang kau goreskan di kertas, 

aku lalui di laut lepas, berkelit di ombak 

Jangan sebut namaku Sukmanbrata!

Bali kukencingi juga kukasihi setiap pagi

Mengapa risau tanpa selembar kerudung

Kepercayaan tanda masuk perubahan

Hutan dan anak itu senyuman Tuhan

yang tak mungkin bingung

yang ramah di daun pun.

Paco – Manila, 9 Mei 1991

INDONESIA TANAH DARAHKU

Cintaku di lukanya,

Indonesia berdarah-darah, 

tumpah darah di jalanan kota, 

di lekuk lekuk desa di lukai kuasa di hamparan tahta di kilauan harta di kerlingan wanita

Ibu Pertiwi, ibu pertamaku dilukainya,

Ibu Rahim, ibu keduaku ditelantarkan – sendirian berjuang memasak kebahagian di jalan puasa dan kesunyian cinta.

Indonesia tumpah darah 

lahir dari tumpahan pikiran remang dan terang, dari tumpah marah warga seribu delapan puluhan, seribu sembilan puluhan yang muncul di buritan kecemasan, 

di pasar kebimbangan, 

di terminal kekalutan  

di tikungan-tikungan jalan penipuan.

Indonesia tanah tumpah darahku, 

mengubur catatan kelahiran, meneguhkan saudara ari-ari dalam pendil tanah dikubur lembut,

tak berontak dalam kehilangan – tidak kesepian di ramai pertarungan: 

Ia darah daging kelima pancering kesadaran

Tanah tumpah darahku, Indonesia,

tanah lahir teramat sabar di jarah, 

bisa marah sesaat,

perkasa menanggung derita dan keserakan anak-anaknya.

Indonesia, 

liku-liku lukanya; nganga cela kita,

Indonesia,

lekuk-lekuk suburnya;

cinta mewangi warganya.

Sepi ing pamrih, 

rame ing gawe ialah

halaman luas rumah  kebahagian, 

kamar istirah ketulusan.

Bandung, 27 Juni 1990

AIR MATA TANAH AIRKU

air mata duka orok warga bangsa setiap generasi yang tertahan di Ibu Rahim mengalir deras di kelopak mata Ibu Pertiwi,

tetesan atau tumpahannya tak kunjung akhir

Lahir jadi pemberani, 

kecing dikebiri atau jadi banci terusir

Dunia si mata juling yang pengiri bengis menghisap tangis bayi warga miskin

Oh teman baru si pilu berganti! 

Yatim piatu sejak kecil dan sebatangkara di remaja sama saja berangin gerimis, kering tandus di sepi.

Pecinta asesoris antik jika tak kuat hati adalah mainan anak setan Azazil berbagai negeri

bapakku mengerti arti menangis

ibu dan nenekku memberinya rasa manis, 

dunia bengal siap menaburkan bunga seribu uji

Jebakan pesona mata hitam, 

jaring kekuasaan  melenakan kadang pura-pura lumat di taman doa,

sunyi turut melebarkan selendang cita

isakan ke isakan dititinya, o itu tangga Illahi

menarilah bersama Rumi dan Hafiz masa kini

air mata berhenti di ujung jari, 

kematian menebalkan rasa kehilangan,

takdir selalu ikut tertulis di milyaran puisi,

bait-baitnya penuh koma, meronta di saat titik,

senang susah bisa datar-datar saja

andai dihadiahi kuda buraq tunggangan para Walinya.

derita atas tangisan, derita melawan bakteri ketika dewasa di kunyahnya sendiri,

tawa sesekali pecah, jatuh berhamburan, jikapun mencair tak henti mengalir masuk cangkir-cangkir, 

atau nikmat di mewahnya kopi tropis. Kalian hidup di meja- ke meja runding, ironis!

selalu baru, 

kerap sinis pada rakyat kecil?

tangis lalu tawa

bermakna sama

waktu pulang

warisannya bisa kemungkinan.

Kabuyutan Rajamandala, 1989 – Okt.2019

_____

KE-MUHAMMADAN

1

Di masa kanakku setiap malam, 

terang bulan maupun hujan lebat

Sebelum tidur Nenek mengisahkan Purnama Alam 

sang lelaki lembut perkasa;

Pembela kebenaran, pelindung si papa,

penghancur raja-raja kegelapan

Pembukanya kidung pujian, 

penutupnya tembang budi agung utusan Tuhan,

kutulis di tiang kayu,

ke-Muhammadan

Pada bilik bambu, 

di palang pintu kamar 

saat mata meredup Ahlul Kisa dinyanyikan, 

tidur lelap disisi doa penjagaan

Ditengah ke ujung anyamannya

kutulis ke-Muhammadan

Di bawah rumpun bambu 

setiap siang kusampaikan kisah semalam ke teman

Terkurunglah rinduku di udara senjakala 

ingin bertemu lelaki pahlawan semesta, 

kutulis ke-Muhammadan

Pada malam Jum’at nenek barzanjian,

anak cucunya  mendengarkan

Setiap sudut rumah lentera lebih terang, jiwa-jiwa terbang, mata kuncup teratai;

Tuan Purnama Alam tepis kekosongan.

Di pelupuh bambu, 

di garis-garis bukunya, 

di langit-langit rumah, 

di rak buku-buku tua 

tertulis nama mulia 

Kubersihkan kotoran 

di beragam buku,

debunya kuhapus di namamu,

kulihat pesona cintanya,

ke-Muhammadan

Di antara pengajar ketulusan, 

dijepitan rasa rindu, 

aku rela Tuan adalah segalaNya, 

dari mula penciptaan

sampai akhir zaman

kuyakini kasihnya,

ke-Muhammadan

2

Di beranda tetangga  rumahku

Pada setiap Sabtu siang 

bapak-bapak duduk melingkar – bawa makanan, 

berbagi pengalaman sendu dan lucu

Dalam serba mau tahu masa kanak-kanak,

kutulis nama Tuan wujud rahmat alam,

ke-Muhammadan

Atas meja-kursi kayu jati

Atas bakul nasi para cacah dan menak

Pada lesung, 

alu penumbuk padi,

atas lukisan panorama Parahiyangan,

kutulis nama Tuan cahaya semua alam,

ke-Muhammadan

Pada buku terbuka,

di halaman pertama

Di rak-rak perpustakaan sekolah

Di tembok kantor pemerintah kota

Di abu tungku, batang bambu, di batu pahat,

kutulis nama Tuan pembawa kitab pamungkas,

ke-Muhammadan

Di sawah-sawah 

di kaki kaki langit

Pada buliran padi bernas menguning

Pada sayap burung pipit, sayap belibis

Pada cakrawala yang tersenyum manis

Di topi-topi jerami petani penyendiri

Di cangkul-cangkul buruh tani miskin

yang ditipu 

melepas tanah leluhur,

kutulis nama Tuan penghibur yang tersungkur,

ke-Muhammadan

Pada mata lembut mentari pagi

Di sungai di perahu-perahu rakit

Di gunung berapi yang penuh khawatir,

pada kaki tanah gemburnya yang sarat kasih,

kutulis namamu,

ke-Muhammadan

Bandung,1990 – 2017

RIWAYAT PENYAIR


Jang Sukmanbrata, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karyanya dulu tahun 1980an semata puisi lirik bebas, tapi kini mencoba menulis puisi beragam genre; lirik, epik -balada, guguritan sampai tanka dan haiku: Puisinya di Antologi Negeri Pesisiran dan Negeri Rantau; DNP 2019 – 2020; Antologi puisi Raja Kelana – DNP 2022 dan 60 haiku-nya dan puisinya di koran PosBali, Nusabali, koran Pikiran Rakyat, Waspada Medan, Suara Merdeka Semarang, dll, puisi tanka dan haiku-nya di setiap buku Antologi Newhaiku – KKK, tersebar di Majalah2 digital, ruang di SKSPLiterary, Balipolitika, Riau Sastra, di buku Antologi puisi HPI-2021 & HPI-2022; di medsos Fb – di Micropoet International, majalah digital HOMAGI International, Etnozon Magazine dan di media-media online.
Domisili di Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Kini sedang menulis puisi balada epik – kisah tragis beberapa tokoh lokal, tokoh nasional dan balada keluarga Nabi.
Buku kumpulan puisinya: Merjan Kemuliaan.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In