DERITA JADI API
___Mengenang: Yayak
Kencrit dan Wiji
Tukul sang sahid
Segera bacakan puisi
yang lahir dari tangisan bayi,
yang meletup dari pemberontakan diri,
dari ladang – sawah petani terusir,
dari sungai yang raib di musim kering,
dari waduk listrik demi industri pencuri,
desa asri dilahap perampok lima negeri, lenyap di taring sepi, lenyap di ruas benci
Tanyakan, nenek moyang dimana lahir?
Geliatnya luka berbakteri
Kau tahu boroknya paha dunia?
Berkali-kali digali, dicincang doktrin,
ditusuk keangkuhan ilmu pengetahuan
Lukisan alam, potret genit seniman kota
Itu lukisan kanvas orang-orang paku :
Bayangan tiran setipis kulit perut,
kaki despotiknya menginjak ulu,
Kamu dimana, saat warga kota gaduh?
Kami ditinggal di keremangan,
tanpa ibu – bapak; sahabat mati sekarat,
Pohonan tak bisa dipercaya – menjelma mata-mata, malamnya jadi batara Kala,
ilalang di tanah rebutan menusuk dada
Kamu bergerak, berontak disana,
Indonesia! Sejak Mataram dijarah penyamun beragama
Ah, Bapak, aku tak mau puisi Tarji;
itu eongan kucing di kamar sepi,
Ya, Ibu, aku mau puisi Wiji; perburuan keras harga diri Indonesianis,
tentang zaman terkencing-kencing teknologi, tak kenal saudara ari-ari,
Sebelumnya, tolong kisahkan binatang-binatang hutan buruanmu!
Berlari takut, sempat melamun dulu?
Seribu slogan jatuh di selokan,
dibawa air limbah pabrik, jauh ke muara
“Jangan persulit rasa sunyi mengalir!
Ya, ya, detak detik kemurahan Tuhan
masihkah berupa kerajaan di hati?”
aku doakan kau, penyair bela negeri,
semoga khayalanmu tak diciumi setan banci
Celaka! Celaka, dunia kanak terpasung durhaka orang tua bermata burung hantu
Hu! Hu! Hu!
Karenanya, segera puisi itu lukiskan sebelum dimuat Koran
sembari minum kopi bercampur debu jalanan
Pengorbanan kita laksana lautan segar ditemani malam berbintang
(Ternyata puisi berguna bagi kehidupan).
Nah, berkaryalah anak-anak :
gambar bercerita, jalan-jalan berkisah, puisi kesaksian, seni rupa daur ulang limbah atau apa saja yang membuat batok kepalamu bersinar terang;
— untuk zaman tanpa kelembutan hati ini
(Besoknya berita peperangan menembus usus, siklus pikiran kami jadi betul…)
Bandung, April 1987
TAK LAGI NYALI
Tak ada lagi keberanian
Tak ada lagi keadilan sehari-hari
Kita dihias mimpi air mata darah
Seratus tahun hak membeku di kuburan
Seratus tahun buta sejarah
Bangsa dan bangsat bisa sama;
samar di mata remaja jatuh cinta
Obor kita dibawa penjajah
Yang menancap di relung hati, duri dengki
sebuah perselisihan harga sakit
Tak ada lagi nyanyian anak lepas
Tak lagi membaca buku dibawah langitMu yang biru
Riang merdu di tanah-tanah lapang
Siang malam keringat berkarat
Membayangkan harapan mewarnai gunung-gunung kars
Moncong susu ibu bau roti mentega
Berikan lukamu padaku!
biar kubasuh air tebu
yang tumbuh di tanah perkebunan kepungan musuh leluhur
Mesin-mesin tua pabrik pinggiran
Gadis-gadis belia bekerja tanpa topi
demi kenikmatan tuan – kemewahan nyonya,
negeriku bayangan di fatamorgana
(aku tergantung pada angin gunung
saat kesadaran berbunga mawar merah)
Kita punya bos baru
Upah dipecah, suara disalurkan ke pipa
Tak ada lagi kesetiaan pada jiwa
Protes dan aksi; sepotong roti dibagi
Biarlah wakil rakyat kenyang sendiri
Kita rakyat pemelihara wasiat bumi;
akan mengadili dan memukul mati.
Tak ada lagi sungai bersih mainan anak-anak kami
Berkhianat ke bumi memang asyik
Api Namrud dirasa sengatan mentari
Kapan kau bangkit menggali gunung pasir sukawangi
Si majikan memburu surgawi
Si pekerja mengejar kuda kavaleri,
tentaranya banyak hilang di tambang pasir
Di manakah pusar tanah airku kini?
Davao City, Philippina, April 1992
LAGU CINTA ANAK
__buat pemberontak
pendidikan
Mengapa kau menyukai anak pinggiran kali tanah air
bertopi daun pepaya, bersenjatakan pelepah pisang
Kepalan tangan basah rindu
— Jiwaku, ya jiwaku kuyup hujan lagu
Kaki tanpa sepatu
aku jamah tubuhmu, hirup auramu
tak dibelenggu hasrat disanjung
Tidak bertepuk tangan, cukup satu lagu
meresmikan kenangan menggunung,
mengikat semangat dengan akar rotan,
melenturkan harapan di dapuran bambu
Turun! Turun!
Mendidik anak lewat menangkap capung
Mengerami titik api matahari
Sejuta kali putar bumi
Bagiku satu langkah kaki
Mengoyak kegelapan : budaya bisu dimatikan seni
Jangan takut, puisi adalah ulat hijau!
Darahnya menyuburkan tanah
menghilangkan gatal lima turunan
Catatlah di jiwa tenangmu;
anak-anak mengejar bayangan kita,
biarkan berlarian di hujan,
itu menyerap kekuatan dan keindahan
Cepat merekam suara bunga memekar
jadi sapaan lembut cinta,
jadi sekolah alam dan rumah kesejatian
Kemerdekaan itu kerja petani gunung
berburu burung kaburan orang kota
masuk kebun tebu cagar kehidupan desa
Panggang kasih kau lumuri doa;
silakan makan, saudaraku sebumi seudara
Iklas sepanjang kertas daluang,
setia selebar benang sutra
Kepalan tangan Merdeka
Kesadaran dibungkus nyanyian
Apa yang kau goreskan di kertas,
aku lalui di laut lepas, berkelit di ombak
Jangan sebut namaku Sukmanbrata!
Bali kukencingi juga kukasihi setiap pagi
Mengapa risau tanpa selembar kerudung
Kepercayaan tanda masuk perubahan
Hutan dan anak itu senyuman Tuhan
yang tak mungkin bingung
yang ramah di daun pun.
Paco – Manila, 9 Mei 1991
INDONESIA TANAH DARAHKU
Cintaku di lukanya,
Indonesia berdarah-darah,
tumpah darah di jalanan kota,
di lekuk lekuk desa di lukai kuasa di hamparan tahta di kilauan harta di kerlingan wanita
Ibu Pertiwi, ibu pertamaku dilukainya,
Ibu Rahim, ibu keduaku ditelantarkan – sendirian berjuang memasak kebahagian di jalan puasa dan kesunyian cinta.
Indonesia tumpah darah
lahir dari tumpahan pikiran remang dan terang, dari tumpah marah warga seribu delapan puluhan, seribu sembilan puluhan yang muncul di buritan kecemasan,
di pasar kebimbangan,
di terminal kekalutan
di tikungan-tikungan jalan penipuan.
Indonesia tanah tumpah darahku,
mengubur catatan kelahiran, meneguhkan saudara ari-ari dalam pendil tanah dikubur lembut,
tak berontak dalam kehilangan – tidak kesepian di ramai pertarungan:
Ia darah daging kelima pancering kesadaran
Tanah tumpah darahku, Indonesia,
tanah lahir teramat sabar di jarah,
bisa marah sesaat,
perkasa menanggung derita dan keserakan anak-anaknya.
Indonesia,
liku-liku lukanya; nganga cela kita,
Indonesia,
lekuk-lekuk suburnya;
cinta mewangi warganya.
Sepi ing pamrih,
rame ing gawe ialah
halaman luas rumah kebahagian,
kamar istirah ketulusan.
Bandung, 27 Juni 1990
AIR MATA TANAH AIRKU
air mata duka orok warga bangsa setiap generasi yang tertahan di Ibu Rahim mengalir deras di kelopak mata Ibu Pertiwi,
tetesan atau tumpahannya tak kunjung akhir
Lahir jadi pemberani,
kecing dikebiri atau jadi banci terusir
Dunia si mata juling yang pengiri bengis menghisap tangis bayi warga miskin
Oh teman baru si pilu berganti!
Yatim piatu sejak kecil dan sebatangkara di remaja sama saja berangin gerimis, kering tandus di sepi.
Pecinta asesoris antik jika tak kuat hati adalah mainan anak setan Azazil berbagai negeri
bapakku mengerti arti menangis
ibu dan nenekku memberinya rasa manis,
dunia bengal siap menaburkan bunga seribu uji
Jebakan pesona mata hitam,
jaring kekuasaan melenakan kadang pura-pura lumat di taman doa,
sunyi turut melebarkan selendang cita
isakan ke isakan dititinya, o itu tangga Illahi
menarilah bersama Rumi dan Hafiz masa kini
air mata berhenti di ujung jari,
kematian menebalkan rasa kehilangan,
takdir selalu ikut tertulis di milyaran puisi,
bait-baitnya penuh koma, meronta di saat titik,
senang susah bisa datar-datar saja
andai dihadiahi kuda buraq tunggangan para Walinya.
derita atas tangisan, derita melawan bakteri ketika dewasa di kunyahnya sendiri,
tawa sesekali pecah, jatuh berhamburan, jikapun mencair tak henti mengalir masuk cangkir-cangkir,
atau nikmat di mewahnya kopi tropis. Kalian hidup di meja- ke meja runding, ironis!
selalu baru,
kerap sinis pada rakyat kecil?
tangis lalu tawa
bermakna sama
waktu pulang
warisannya bisa kemungkinan.
Kabuyutan Rajamandala, 1989 – Okt.2019
_____
KE-MUHAMMADAN
1
Di masa kanakku setiap malam,
terang bulan maupun hujan lebat
Sebelum tidur Nenek mengisahkan Purnama Alam
sang lelaki lembut perkasa;
Pembela kebenaran, pelindung si papa,
penghancur raja-raja kegelapan
Pembukanya kidung pujian,
penutupnya tembang budi agung utusan Tuhan,
kutulis di tiang kayu,
ke-Muhammadan
Pada bilik bambu,
di palang pintu kamar
saat mata meredup Ahlul Kisa dinyanyikan,
tidur lelap disisi doa penjagaan
Ditengah ke ujung anyamannya
kutulis ke-Muhammadan
Di bawah rumpun bambu
setiap siang kusampaikan kisah semalam ke teman
Terkurunglah rinduku di udara senjakala
ingin bertemu lelaki pahlawan semesta,
kutulis ke-Muhammadan
Pada malam Jum’at nenek barzanjian,
anak cucunya mendengarkan
Setiap sudut rumah lentera lebih terang, jiwa-jiwa terbang, mata kuncup teratai;
Tuan Purnama Alam tepis kekosongan.
Di pelupuh bambu,
di garis-garis bukunya,
di langit-langit rumah,
di rak buku-buku tua
tertulis nama mulia
Kubersihkan kotoran
di beragam buku,
debunya kuhapus di namamu,
kulihat pesona cintanya,
ke-Muhammadan
Di antara pengajar ketulusan,
dijepitan rasa rindu,
aku rela Tuan adalah segalaNya,
dari mula penciptaan
sampai akhir zaman
kuyakini kasihnya,
ke-Muhammadan
2
Di beranda tetangga rumahku
Pada setiap Sabtu siang
bapak-bapak duduk melingkar – bawa makanan,
berbagi pengalaman sendu dan lucu
Dalam serba mau tahu masa kanak-kanak,
kutulis nama Tuan wujud rahmat alam,
ke-Muhammadan
Atas meja-kursi kayu jati
Atas bakul nasi para cacah dan menak
Pada lesung,
alu penumbuk padi,
atas lukisan panorama Parahiyangan,
kutulis nama Tuan cahaya semua alam,
ke-Muhammadan
Pada buku terbuka,
di halaman pertama
Di rak-rak perpustakaan sekolah
Di tembok kantor pemerintah kota
Di abu tungku, batang bambu, di batu pahat,
kutulis nama Tuan pembawa kitab pamungkas,
ke-Muhammadan
Di sawah-sawah
di kaki kaki langit
Pada buliran padi bernas menguning
Pada sayap burung pipit, sayap belibis
Pada cakrawala yang tersenyum manis
Di topi-topi jerami petani penyendiri
Di cangkul-cangkul buruh tani miskin
yang ditipu
melepas tanah leluhur,
kutulis nama Tuan penghibur yang tersungkur,
ke-Muhammadan
Pada mata lembut mentari pagi
Di sungai di perahu-perahu rakit
Di gunung berapi yang penuh khawatir,
pada kaki tanah gemburnya yang sarat kasih,
kutulis namamu,
ke-Muhammadan
Bandung,1990 – 2017
RIWAYAT PENYAIR
Jang Sukmanbrata, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karyanya dulu tahun 1980an semata puisi lirik bebas, tapi kini mencoba menulis puisi beragam genre; lirik, epik -balada, guguritan sampai tanka dan haiku: Puisinya di Antologi Negeri Pesisiran dan Negeri Rantau; DNP 2019 – 2020; Antologi puisi Raja Kelana – DNP 2022 dan 60 haiku-nya dan puisinya di koran PosBali, Nusabali, koran Pikiran Rakyat, Waspada Medan, Suara Merdeka Semarang, dll, puisi tanka dan haiku-nya di setiap buku Antologi Newhaiku – KKK, tersebar di Majalah2 digital, ruang di SKSPLiterary, Balipolitika, Riau Sastra, di buku Antologi puisi HPI-2021 & HPI-2022; di medsos Fb – di Micropoet International, majalah digital HOMAGI International, Etnozon Magazine dan di media-media online.
Domisili di Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Kini sedang menulis puisi balada epik – kisah tragis beberapa tokoh lokal, tokoh nasional dan balada keluarga Nabi.
Buku kumpulan puisinya: Merjan Kemuliaan.