Cerita dari Negeri Dongeng
Aku ingin bercerita. Cerita ini bukanlah cerita anak-anak, bukan juga cerita remaja, apalagi cerita dewasa. Ini adalah cerita untuk semua umur, semua kalangan, dari desa sampai kota, hutan sampai lautan. Cerita yang kukumpulkan di Negeri Dongeng. Cerita dari Negeri Dongeng.
Negeri dongeng yang indah termasyur ke sean-tero jagat. Segala manusia ingin hidup di sana. Beberapa manusia datang perlahan ke negeri dongeng. Mereka terbang, berenang, atau muncul tiba-tiba dari bawah tanah.
Aku bekerja menjadi pengumpul cerita. Cerita apapun. Dari jalanan, rumah warga, kandang ayam, hingga gorong-gorong bersejarah yang gelap, bernyamuk, dan penuh sawang. Semua cerita yang kutemui akan kukumpulkan.
Rakyat Negeri Dongeng tidak sungkan membagi ceritanya kepadaku. Mereka memberikannya sukarela, beberapa orang hampir tiap minggu mengirimkan ceritanya. Mereka memasukkan cerita ke dalam kresek, karung goni, atau mengikatnya dengan tali dan mengirimkannya ke rumahku. Jika kebetulan bertemu, dengan senang hati cerita itu akan kumasukkan ke dalam keranjang di belakang motorku.
Cerita-cerita itu menarik hatiku. Mereka membicarakan sawah dan panen padi yang payah. Menceritakan anak mereka yang merantau untuk mencari pengalaman dan pendapatan. Remaja bercerita tentang kota dan dosa. Anak-anak, ah ceritanya tak menarik menurutku. Tapi cerita anak itu jujur. Cerita anak menggelitik, mereka menceritakan suara misterius saat malam yang terdengar dari kamar orang tuanya.
***
Beberapa tahun berlalu. Cerita-cerita sudah kukirim ke istana Paduka tiap seratus hari sekali. Paduka tak menyangka cerita yang ia baca sangat banyak. Teramat banyak. Saking banyaknya, melebihi banyaknya permasalahan yang ada di negeri dongeng. Negeri dongeng bukanlah suatu negeri tanpa masalah.
Paduka terlalu asyik dengan hal aneh. Memelihara nyamuk, beternak berudu, atau memberi makan codot. Paduka memerintahkan Perdana Menteri yang serba bisa untuk mengatur urusan negeri. Menteri Perang ditugaskannya untuk menanam bahan pangan. Menteri kesehatan ia tugaskan untuk membereskan berita yang berantakan.
Seorang warga menulis diceritanya, “Menteri Perang mungkin akan menyiapkan perbekalan untuk pertempuran akhir zaman hingga menanam singkong yang teramat banyak di hutan.” Seorang yang lain menuliskan, “Menteri Kesehatan barangkali akan menyehatkan berita agar terlihat rapih dan bersih.”
Paduka semakin asyik membaca cerita yang kukirim lebih singkat, seminggu sekali. Rakyat negeri dongeng kini sudah mahir menuliskan cerita.
Cerita yang dituliskan bukan hanya sebatas curhatan sehari-hari. Rakyat yang berpendidikan tinggi bahkan menuliskan bahwa Tuhan telah mati. Ada juga menuliskan kehebatan Perdana Menteri yang serba bisa. Cerita mereka kini menyentuh langit dan lautan. Dari pujian hingga hina an bertaburan pada cerita negeri dongeng.
Selain kegiatan anehnya yang tadi sudah kusebutkan, Paduka senang sekali membaca cerita yang ditulis rakyatnya. Kini Paduka jarang nampak di Pertemuan Agung. Di meja makan besar, atau di senja hari saat semua menterinya sedang minum kopi atau merokok di halaman Istana.
Paduka semakin suka membaca cerita. Setiap jam, bahkan setiap saat beliau terus membaca cerita. Paduka kini tidak makan, lupa tidur, hingga tidak menjumpai rakyatnya sembari melemparkan roti dari atas kereta kencananya.
***
Perdana Menteri serba bisa akhirnya mengeluarkan aturan tentang cerita. Mereka hanya diperbolehkan mengirim jika ada pengumpul cerita yang kebetulan lewat. Perdana Menteri serba bisa mengelola cerita agar lebih sistematis. Aku, kini lebih sibuk memilih cerita. Aku tak bisa mengambil acak cerita untuk diberikan ke Paduka.
Setiap aku berjalan, atau melaju dengan motorku selalu ada orang bertopeng yang mengawasiku. Pasukan berpakaian serba hitam dengan topeng itu berserakan di mana-mana. Mereka ada di pohon, ujung tiang listrik, jamban di kali, hingga di dalam rumah rayap. Sial! Kerjaku jadi terhambat.
Aku tak mau membuat Paduka kecewa dengan berkurangnya cerita yang kubawa. Pasukan bertopeng itu selalu mengawasiku. Akhirnya kukebut motorku. Kutaruh semua cerita dalam dua karung goni dan mengikatnya dengan tambang di belakang motorku.
***
Paduka senang bukan main menyambut kedatanganku.
“Ada cerita apa hari ini?”
“Saya Paduka.” “Apa?”
“Pasukan bertopeng!”
Paduka tertawa.
***
Waktu terus berlalu. Paduka mulai lelah membaca cerita. Ia memerintahkan Perdana Menteri serba bisa untuk mengatur cerita.
“Demi Negeri Dongeng yang kita cintai,” suara Perdana Menteri serba bisa menggelegar di televisi.
“Setiap cerita harus cerita yang menyenangkan, yang menyebarkan keindahan, dan membuat kebahagiaan,” sambungnya lagi.
***
Pagi ini, aku bertugas seperti biasa. Mengumpulkan cerita dari rakyat Negeri Dongeng. Kuikat semua cerita di belakang motorku. Tidak peduli cerita bahagia atau derita. Bagiku cerita hanyalah cerita.
Ada aturan baru lagi, bahwa cerita harus sampai ke Perdana Menteri serba bisa sebelum ke Paduka. Sejak kapan Perdana Menteri serba bisa mau membaca cerita? Aku hampir lupa, kalau Perdana Menteri serba bisa adalah serba bisa.
Cerita yang kubawa disortirnya bersama pasukan bertopeng. Cerita yang menyangkut derita dan bahaya mereka kumpulkan dan dibuang ke lautan.
***
Esok harinya, seperti biasa. Aku mengumpulkan cerita. Pasukan bertopeng ternyata sudah mengetahui penulis yang ceritanya disingkirkan ke lautan. Perdana Menteri serba bisa lalu mengundangnya ke bangsal Perdana Menteri. Penulis cerita itu dihidangkan makanan terenak dan termahal yang ada di negeri dongeng.
Setelah mereka kenyang, Perdana Menteri serba bisa menyulapnya menjadi lukisan berukuran 30 inchi. Hukuman untuk pembuat cerita derita dan bahaya.
Saat mengumpulkan cerita, kini aku menemukan lukisan yang sudah terpajang di rumah-rumah. Lukisan itu berwarna merah, hitam, hingga warna yang tak terdefinisikan.
Lukisan itu bergambar aneh. Di suatu rumah aku melihat lukisan wajah tersenyum lebar, nampak membiru dan matanya menyala bagai bara api. Di matanya mengalir dua air mata. Darah dan api.
Di tempat lain aku melihat lukisan kuda berkepala manusia. Keempat kakinya berasal dari empat kaki berbeda. Kaki depan berasal dari kaki naga dan kaki ayam. Kaki belakang dari kaki beruang dan kaki kadal. Buntutnya panjang menjuntai.
Perdana Menteri serba bisa telah menyulap banyak sekali penulis cerita menjadi lukisan yang aneh dan dipajang secara rahasia oleh pasukan bertopeng. Rakyat negeri dongeng kini enggan untuk menulis cerita.
Pekerjaanku menjadi semakin ringan, cerita telah jauh berkurang.
***
Aku diundang Paduka ke istana. Aku takut dihukum karena tidak membawakan cerita. Paduka tidak ada di kursinya. Aku diantar ke ruangan paduka oleh seorang dayang.
“Selamat datang pengumpul cerita kebanggaanku!”
“Saya Paduka.”
“Kau membuatku semakin hidup dengan cerita yang berhasil kau kumpulkan.”
“Saya Paduka.”
“Cerita ini semakin banyak dan menggembirakan.”
“Saya Paduka.”
“Sekarang kau boleh pulang.”
“Saya Paduka.”
Rakyat sudah tidak lagi mengirim cerita, bagaimana bisa cerita semakin banyak dan menggembirakan untuk Paduka. Apakah ada pengumpul cerita selain aku? Nampaknya tidak akan mungkin, dan pasti tidak ada. Batinku bergejolak.
***
Esok harinya aku keliling negeri dongeng lagi. Aneh, rumah-rumah menutup semua pintu dan jendelanya. Tidak ada warga di jalanan. Sawah dan pasar sepi, warung dan toko tutup. Semua orang berdiam diri di dalam rumahnya.
“Kita takut pasukan bertopeng,” kata seorang anak kecil yang mengintip di jendela rumahnya.
Senja tiba, lelah sekali hari ini. Dua kali aku melintasi desa dan menyusuri kota demi mengumpulkan cerita dengan tak ada cerita yang kubawa. Aku takut esok, lusa, dan selanjutnya adalah masa akhir dari cerita negeri dongeng.
***
Aku kaget sekali pagi ini, pengawal istana menjemputku dengan kereta terbang.
“Kamu dicari Paduka!”
Di istana, Paduka menjamuku dengan makanan yang mahal.
“Kamu pengumpul cerita terhebat yang pernah ada!”
“Saya Paduka.”
“Saya bahagia membaca cerita yang kau kumpulkan kemarin!”
“Cerita kemarin Paduka?”
“Pasukan bertopeng menyajikannya.”
“Sekarang kamu boleh pulang.”
Kemarin, satu cerita pun tak berhasil kukumpulkan. Setiap hari, aku berkeliling negeri dongeng, rumah masih tertutup, tak satu pun cerita yang kutemui. Aku lelah, ingin menyerah mengumpulkan cerita. Pintu dan jendela sudah tak ada celah.
Aku pasrah, barangkali aku akan disulap oleh Perdana Menteri karena tak lagi membawa cerita untuk Paduka. Aku tak peduli, aku sangat lelah. Aku harus beristirahat, esok aku harus mengitari negeri dongeng lagi. Mengumpulkan cerita lagi.
RIWAYAT PENULIS

Bayu Suta Wardianto, lahir di desa Tegalwangi, Tegal, Jawa Tengah, 18 Maret 1998. “Suta” adalah anak kedua dari tiga bersaudara, hasil dari pernikahan Drs. Aming Siswanto dan Suharti. Ia menempuh pendidikan formalnya selama 16 tahun di Banten. Setelah mendapat ijazah dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, ia berlabuh di Purwokerto untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Proses kreatif bersastranya dimulai sejak bangku kuliah ketika mengenal Ade Husnul Mawadah, Farid Ibnu Wahid, Arip Senjaya, Herwan Fr, dan Firman Venayaksa, yang mencanduinya dengan bacaan-bacaan sastra (prosa, puisi, dan drama).
Namanya tercatat dalam buku antologi bersama Gol A Gong pada Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku puisi pertamanya berjudul “Tuhan, Aku Tersesat” menjadi top 10 se-Nasional dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto. Buku kedua yang ia tulis berupa kumpulan cerita pendek berjudul “Perempuan yang Terjerat Kursi Taman, mendapatkan endorsment dari Ahmad Tohari.Sebentar lagi, ia menerbitkan buku puisinya ke- 2 berjudul “Pada Suatu Musim”.
Tulisan-tulisannya termuat diberbagai media cetak maupun online. Beragam esai dan artikelnya antara lain dimuat di Badan Bahasa Kemendikbud, Radar Banyumas, Laman Maarif NU Jawa Tengah, Bidik Utama, Suara Dewantara, Buletin Orange, dan lainnya. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Beranda.co, Ngewiyak.co, SKSP-literary.com, dan lainnya. Sejumlah artikel ilmihanya dimuat di jurnal nasional maupun internasional.
Selain menjadi pejalan dan pelajar, ia serabutan sebagai pekerja teks serta pengecer kata-kata di Rumah Kreatif Wadas Kelir, dan menjadi bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.
Email: bayusutawr@gmail.com,
Instagram: @suta_sartika,
blogspot: www.tulisansuta.blogspot.com