Malam itu, angin Bandung berdesir di sela-sela gang sempit Cijerokaso, membawa aroma basah yang menyatu dengan dingin menyusup hingga tulang. Dina melipat tangan di dada, mencoba menghangatkan diri meski percuma. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan di tiap lekuk aspal. Langit, yang sejak siang seperti kanvas abu-abu, kini dihiasi rembulan pucat yang bersembunyi di balik awan tipis. Dina mempercepat langkah, menyusuri jalan kecil menuju sebuah warung kopi yang sering ia datangi. Di sana, ia ingin menghabiskan malam, melarutkan lelah yang tak cuma fisik, tapi juga beban di kepala.
Dina baru pindah ke Bandung setahun yang lalu, berharap suasana kota ini mampu meredakan gejolak yang entah berasal dari mana. Berbagai keputusan yang ia buat dalam dua puluh tujuh tahun hidupnya terasa seperti pilihan orang lain, bukan dirinya sendiri. Hidup, bagi Dina, adalah kumpulan ekspektasi yang tidak pernah tuntas ia penuhi. Lulus kuliah dengan nilai yang cukup baik, mendapat pekerjaan tetap, dan tinggal di tempat yang layak; semua itu terasa kosong. Setiap malam ia bertanya pada dirinya di tengah kesunyian kamar, “Kenapa aku tetap merasa kehilangan?”
Warung kopi itu tak jauh dari kontrakannya. Tempat itu kecil, hanya sebuah ruangan dengan jendela besar yang langsung menghadap ke arah bukit kecil. Dari dalam, terlihat lampu-lampu kota mengerjap seperti bintang di bumi. Dina menyukai tempat itu bukan hanya karena tenang, tapi juga karena orang-orang di sana tak banyak bertanya. Malam itu, saat ia duduk di sudut yang biasa, pemandangan bukit tertutup kabut tipis, seperti tirai yang perlahan turun menutup panggung.
Secangkir kopi hitam panas tiba, dan Dina membiarkan uapnya membelai wajah. Ia menyesap pelan, mencoba menghadirkan rasa hangat di perutnya. Di hadapannya, sebuah jurnal kecil terbuka. Halaman kosong itu seolah menantang, mengingatkan bahwa Dina sudah lama tak mencatat isi pikirannya. Ia pernah gemar menulis, menuangkan segala emosi ke dalam kata-kata, hingga merasa seperti berbicara dengan diri sendiri. Namun, belakangan, kebiasaan itu tergerus rutinitas.
Hujan turun lagi, kali ini rintik, lebih lembut dari sebelumnya. Tetesannya memantul di jendela besar, membentuk pola abstrak yang berubah-ubah. Dina meraih pena, jemarinya ragu beberapa saat sebelum akhirnya bergerak di atas kertas. Bukan kalimat panjang, hanya fragmen, potongan pikirannya yang berantakan.
“Bagaimana jika semua yang aku kejar bukanlah yang aku butuhkan? Bagaimana jika keheningan ini adalah cerminan dari jiwaku sendiri yang menunggu untuk didengar?”
Tulisan itu berhenti di sana, tapi kalimat-kalimat itu terus menggema di pikirannya. Dina menatap ke luar jendela, melihat refleksi dirinya di kaca. Wajahnya tampak asing, seolah-olah ia melihat orang lain. Ia menyadari bahwa selama ini ia menjauh dari dirinya sendiri, berusaha menjadi sesuatu yang orang lain inginkan, dan melupakan suara kecil dalam dirinya yang selalu mencoba bicara.
Dalam perjalanan pulang, Dina memilih melewati rute yang lebih panjang. Jalanan di sini sepi, hanya sesekali motor lewat dengan suara knalpot memecah sunyi. Ia menyukai momen-momen seperti ini, ketika dunia seolah berhenti sejenak dan memberi ruang untuk berpikir. Lampu jalan memantulkan bayangan tubuhnya yang bergerak, langkahnya perlahan seirama dengan iringan rintik hujan yang menimpa dedaunan di pinggir trotoar.
Pikirannya kembali pada tulisan di jurnal. Dina mulai bertanya, kapan terakhir kali ia memberi dirinya izin untuk merasa bahagia? Bukan kebahagiaan yang datang dari validasi orang lain, melainkan kebahagiaan kecil yang datang dari hal sederhana—seperti melihat embun di pagi hari, atau mendengar suara burung di sela-sela hiruk pikuk kota. Semua hal itu dulu penting baginya, tapi kini terlupakan.
Sebuah kebiasaan kecil muncul di benaknya. Esok pagi, ia ingin berjalan-jalan di taman dekat rumah, membawa jurnalnya dan menulis apapun yang ia rasa. Ia ingin mengenali dirinya lagi, perlahan, tanpa terburu-buru. Dina percaya, seperti kota Bandung yang basah lalu kembali cerah, hidup pun punya ritme yang serupa.
Pagi harinya, matahari malu-malu muncul di balik pegunungan. Dina bangun lebih awal dari biasanya, menyeduh teh dan mengambil jurnalnya yang kini tak lagi terasa asing. Ia berjalan ke taman, menyusuri jalan yang basah oleh sisa hujan semalam. Udara dingin menyerbu paru-parunya, tapi anehnya kali ini terasa menyenangkan.
Di taman, ia memilih bangku kayu di bawah pohon besar. Angin bertiup lembut, daun-daun bergoyang seperti menari. Dina membuka jurnal, tapi bukannya menulis, ia membiarkan pikirannya mengembara. Ia memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya: embun di rumput, anak kecil bermain dengan sepeda, sepasang lansia yang berjalan bergandengan. Tiba-tiba ia merasa ringan, seakan-akan dunia tak lagi memaksanya untuk terus berlari.
Hari itu, Dina mulai belajar mencintai dirinya. Tidak dengan cara besar yang mencolok, tapi melalui momen-momen kecil yang ia beri ruang. Ia menyadari, mencintai diri sendiri bukan berarti menutup diri dari kritik, tapi memberi ruang untuk mendengar suara hati yang selama ini tenggelam di antara bisingnya dunia.
RIWAYAT PENULIS
Suci Wulandari, lahir di Banyumas, 23 Mei 2000, mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini, UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Suci tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir, menjadi tutor program Paket C PKBM Rumah Kreatif Wadas Kelir, tim desain, dan tim riset Rumah Kreatif Wadas Kelir. Suci juga tergabung dalam komunitas Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban, sebagai pengelola website dan toko buku LK Nura, aktif membantu kegiatan-kegiatan di Lembaga Kajian Nusantara Raya. Selain itu, Suci juga menyukai lukisan, puisi, dan musik. Beberapa karyanya bisa dikunjungi di: IG @nomadeenart, website sumurkeringkuuu.blogspot.com, dan telah terbit beberapa esai/ artikel di laman Badan Bahasa dan Prosiding Internasional serta Jurnal Terakreditasi. Motto hidup Suci adalah teruslah hidup dan beradaptasi dengan keadaan.