SOE HOK GIE
Seperti monumen dari bebatuan
Kau kukuh mengekal di ingatan
Pikiranmu yang tak pernah lusuh
Mengupas kulit-kulit kasar kedunguan
Senyum pucatmu adalah sembilu menakutkan
Bagi mereka yang duduk di kursi singgasana
Tak terasa sudah setengah abad saja
Sejak nafas semeru menidurkan peluhmu
Bersama tembang angin malam yang menentramkan
Namun masih saja, dari beranda kecilku
Suaramu melambai, diantara tawa penipu
Yang diam-diam ingin meracuni kawan sebangsanya
Sekarang aku dan sekalian kecil orang menjadi tahu
Bahwa setiap gulma yang mencoba mematikan akar
Tak akan bertahan lama sebab semesta selalu menyimpan
Sekawanan pelatuk untuk mengakhiri siklus kematian
Surakarta, 2024
TEROMPET AKHIR TAHUN
Aku menyebutnya terompet akhir tahun
Karna ayah membelinya di pengujung Desember
Diantara kecipak malam dan kidung gerimis
Ayah berlari melawan arah angin di ujung trotoar
Demi tangis serakku agar segera mereda
“Setelah kau tiup terompet maka kamu akan bergembira”’ kata ayah
Aku berteriak riang sambil membunyikan terompet keras-keras
Lantas aku berlarian mengelilingi malam yang berbentuk labirin
Mengisi lengang kota yang ditidurkan dalam pelupuk hujan
Malam yang memberat terperangkap di terompetku
Dengan riang kuninabobokkan gelap di tempat tidurku
“Terompet benar-benar membawa kegembiran” gumamku
Sayup-sayup sebelum kelopak bening mataku mengatup
Kudengar ayah berbisik lirih kepada ibu:
“Uang terakhir yang kita miliki telah kubelikan terompet”
Surakarta, 2024
HOSTI
Lagi-lagi tubuhmu kembali telanjang
Padahal tak ada sehelai kain pun yang kami siapkan
Malahan di tangan kami telah berhimpun
Rajam bebatuan, penipuan, dan manipulasi mengerikan
Yang pada akhirnya kami timpakan secara cuma-cuma
Pada tubuhmu yang mengalir darah daging penuh wangi
Berkali-kali, kami cabik tubuhmu tanpa malu
Memakannya sebagai kurban yang tak pernah selesai
Bila belum puas kami minum pula darah dari dagingmu
Sebagai penutup jamuan yang paling menentramkan
Tuan, maafkan, segala kebiasan buruk kami
Yang tanpa malu memecah-mecah tubuhmu
Sebab kami sudah buta dan tak tahu lagi
Jalan mencapai negeri Firdaus terjanji
Surakarta, 2024
PENYAIR
Pada akhirnya,
Satu-satunya kata
Yang tak sempat ia tulis
Ialah kata: fana
Surakarta, 2024
KUIL
Cara pertama mengosongkan dirimu
Adalah melupakan pelan-pelan
Tempat dan setiap peristiwa
Yang membuatmu merasa ‘ada’
Surakarta, 2024
RIWAYAT PENYAIR

Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta. Penulis tinggal di Pucangsawit RT 01/RW 03, Kecamatan Jebres, Surakarta. Penulis telah menempuh jenjang pendidikan di antaranya : TK Kristen Petoran (2001-2002), Sekolah Dasar Kanisius Pucangsawit (2002-2008), Sekolah Menengah Pertama Negeri 20 Surakarta, (2008-2011), Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Surakarta (2011-2014). Penulis juga telah menyelesaikan program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada Juni 2018 lalu. Karya terbaru penulis adalah novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017). Penulis mengajar di SMK Mikael Solo. Kontak Penulis: 085802474575 (WA/Telefon). Email: thomithomas78@gmail.com, dan No. rekening: BTN 00191-01-61-018746-7. Instagram: Thomas Elisa P. Karya terbaru penulis dimuat dalam media Poros Pemalang (2021), Tegas.Id (2021) Opini.Id (2021), Marewai (2021), Suku Sastra (2021), Ruang Jaga (2021), Rembukan.com (2021), Radar Pekalongan (2022), Harian Bhirawa, (2022) Jawapos Radar Madiun (2023), Media Indonesia (2023), Jawapos Radar Kediri (2023), Sabah360 Online (2023), Takanta (2023), Magrib.Id (2023), Solopos (2023) dan Majalah Karas Balai Bahasa Jawa Tengah (2023) serta Majalah Sastra Santarang (2023) Puisi penulis masuk dalam Antologi 100 tahun Ch. Anwar (2023) dan meraih juara 3 dalam lomba menulis dengan tema guru (2023) dan masih banyak lagi.