Barman mau jadi surga. Ya, beda halnya dengan orang-orang, dia bukan mau masuk surga, tetapi bercita-cita ingin seperti surga. Sama dengan surga.
Awal mula mengapa Barman punya mimpi begitu bersamaan dengan peristiwa erupsi dari Gunung Marapi yang terjadi selama lima hari terakhir. Saat itu, Gunung Marapi naik statusnya jadi level dua. Sebutannya status waspada. Salah satu peramal cuaca yang hidup luntang-lantung di lereng gunung mengatakan: gunung itu bakal muntah dan menghancurkan Bukit Batabuah – tak tahu kapan. Karena peramal cuaca itu buta huruf dan tidak bisa baca kalender, jadi dia tidak bisa memprakirakan tanggal pastinya.
Namun yang terpenting, tetangga-tetangga Barman sudah lebih dulu sibuk melakukan persiapan: entah itu berkemas-kemas barang, menyiapkan surat warisan, melindungi harta benda, pergi ke rumah sanak saudaranya di luar Kabupaten Agam, ataupun beribadah sebanyak-banyaknya. Pun, di antara keblingsatan itu, di lain hal, Barman ada rencana lain: tentu rencananya menjadi surga. Tujuannya agar tidak masuk neraka atau bahkan menjadi neraka.
Rencana Barman menjadi surga sudah ditekadkannya bulat-bulat seperti waktu itu – saat sekolah-sekolah belum tutup. Ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, guru berkacamata dan berpunuk unta itu bertanya, “Apa cita-cita kalian anak-anak?” Lalu sebagian besar dari mereka menjawab: polisi, dokter, tentara, perawat, juga pekerjaan-pekerjaan klise lainnya. Lewat jendela belakang kelas yang menghadap ke arah jalanan, Barman teriak-teriak sendiri. Keras. Katanya, dia punya cita-cita lain.
“Jadi surga, Bu!”
Mendadak, bocah-bocah yang belum disunat itu terkejut dan menoleh, pun gurunya yang menatap Barman dengan melotot, bibirnya yang dipoles lipstik semerah cabai keriting itu menganga lebar-lebar – melongo. Dilihatnya oleh mereka, lelaki berambut gimbal dan berbadan tambun, pula telanjang dada itu, cengar-cengir di jendela kelas yang sengaja ditutup guna menghindari asap erupsi, tetapi Barman malah membukanya tanpa rasa peduli.
“Satpam!” seru guru itu, ketakutan. Wajahnya tampak menggigil.
Gegas, datanglah tiga laki-laki jangkung dan segede badak bercula menangkap Barman seperti tikus. Awalnya yang datang cuman satu, tetapi pas dilihat-lihat apa yang sedang dihadapinya, dia memanggil temannya yang sudah senior. Sebab, yang bakal dihadapinya adalah Barman. Di mana orang-orang sekitar sering menyebutnya: urang gilo.
Setelah ditangkap, Barman kelojotan juga memberontak. Serta-merta tiga laki-laki kekar itu memitingnya lalu mengikatnya pakai tali rapia. Niatnya, mereka mau membuang Barman ke kawah Gunung Marapi. Namun di tengah jalan, Barman mendengar suara dari kejauhan – dari arah sekolah yang tadi disambanginya. Guru berkacamata dan berpunuk unta itu lagi-lagi berbicara dengan suara yang cukup keras. “Baik, anak-anak! Sekarang, coba tuliskan rencana apa saja yang harus kalian lakukan agar meraih cita-cita tersebut!”
Sontak, di saat tiga satpam itu sedang lengah, Barman melompat. Menghindari kejaran mereka, lalu berbelok, menuju tukang gorengan dan mengambil kertas pembungkusnya. Juga, mampir sebentar ke warung sembako untuk mencuri sebatang pensil yang biasa digunakan pemiliknya mencatat hutang-hutang warga, lantas berlari lagi. Sejauh-jauhnya.
***
Dekat dari kaki gunung, orang-orang mengerubungi rumah Barman. Konon, katanya Barman mau jadi surga, dan itu yang mereka dengar. Lantas, saat subuh-subuh, tatkala gempa terjadi tiga kali dan hampir meratakan surau. Mereka kalang kabut. Peramal cuaca yang ada di lereng gunung tiba-tiba bilang hari ini akan kiamat. Dan semua orang yang belum sempat bertaubat, terpaksa bakal masuk neraka.
Peramal cuaca itu mengatakan lagi pada mereka bahwa ada surga di kaki gunung, dekat Musola Syeikh Marapi, tepatnya di bawah pohon cangkring. Lalu, mereka buru-buru datang ke tempat tersebut. Dan menemukan sebuah plang kayu berukuran dua setengah meter terpampang di hadapan mereka. Juga, terpasang di atas rerumputan serta ilalang bertuliskan: “Saya mau menjadi surga!”
Bersama sang peramal cuaca itu, Joko, Barman menjalin kerja sama. Keduanya memang sudah dianggap sinting oleh masyarakat. Bedanya, Barman itu orang gila baru. Setelah belum lama, istrinya yang kemarin keterima jadi caleg, meninggal karena gas elpiji di dapurnya meledak. Sedang Joko, sejak Gunung Marapi masih diam pun, entah datang dari mana dia sudah menjadi gila. Meski begitu, kebanyakan dari para tetua masih ada yang mempercayai kata-kata mereka. Jadilah, sebagian besar dari masyarakat berhasil dibuat kelimpungan. Walau kebanyakan pula ada yang terpaksa pergi karena disuruh orang tua atau mertua mereka.
“Ini bodoh!” katanya. “Mana ada orang yang mau jadi surga?”
“Bukan bodoh lagi,” sahut yang lain. “Ini sudah bisa dibilang sebuah penghinaan agama. Sebuah penistaan!”
“Betul! Andai saja tetua tidak mempercayai mereka, sudah pasti kita bakar mereka berdua!”
“Lalu kita buang ke kawah Gunung Marapi!”
“Ayo! Jangan biarkan dua orang gila itu membuat kita jadi kafir. Lupa sama Tuhan. Musyrik!”
Mereka yang awalnya datang secara ramah tamah. Ganti marah-marah. Mereka lalu mencabut plang kayu itu, membakarnya, dan menginjak-injaknya. Belum puas, mereka masuk ke dalam rumah Barman. Rencananya, mereka mau meledakkan rumah Barman pakai gas elpiji yang tiga kilogram.
Namun di dalamnya mereka tidak menemukan Barman. Begitupula Joko. Alih-alih terus mencari keberadaan dua orang gila itu, mereka malah pangling sama harta-harta peninggalan istri Barman yang dulu pernah jadi ketua desa, lalu kabur, dan jadi caleg di daerah lain. Hartanya ada banyak. Ada mobil, perhiasan, emas, bahkan brankas dana bantuan sosial dulu ketika masih pandemi.
Mereka saling melirik, tersenyum-senyum, lalu menyeringai.
***
Sejak akhir abad ke-18 hingga sekarang, Gunung Marapi telah meletus lebih dari 50 kali. Letusan terbesar terjadi sekitar 141 tahun yang lalu, persisnya pada tahun 1883. Letusan itu menyebabkan aliran lahar panas yang menghancurkan beberapa nagari di kaki gunung termasuk Nagari Pariangan. Korbannya kira-kira ada seribu orang.
Letusan kemarin memang tidak begitu besar. Namun, dampaknya ternyata sama saja. Ketika itu, bulan Desember, jadwalnya musim hujan. Runtuhan batuan vulkanik yang terendapkan di lereng-lereng, kabarnya tersapu, dan menyumbat hulu sungai. Banjir lahar dingin lalu mengubrak-abrik Kabupaten Agam. Dilaporkan puluhan rumah rusak, ratusan orang meninggal, dan sisanya dinyatakan hilang total.
Kendati begitu, tim SAR menginformasikan ada rumah di lereng gunung yang dinyatakan selamat. Di antara puing-puing bangunan dan manusia yang menyatu dengan tanah, rumah itu tetap berdiri amat gagah. Menurut para korban, rumah itu dulunya milik orang gila yang ditinggal mati istrinya. Saat hujan sedang deras-derasnya dan banjir menerjang di mana-mana, mereka mendengar sesuatu dari rumah itu. Sesuatu yang tidak asing. Sesuatu yang sering terdengar dari Musola Syeikh Marapi ketika orang gila itu diam-diam menyelinap dan berhasil lolos dari pengawasan marbot. Suaranya sama persis seperti dia. Apa yang dibacakan juga sama, surat Al-Hujurat ayat sebelas.***
RIWAYAT PENULIS

Gagah Pranaja Sirat, menempuh pendidikan SMA jenjang pertama di sekolah Boash Ashokal Hajar. Telah berkecimpung lama dalam dunia sastra dan banyak memenangkan perlombaan menulis. Beberapa bukunya yang sudah terbit Novel Kepala Kakap (Palaray Media, 2023) dan Himpunan Puisi Ilmu Pengetahuan Setan (Mili Publisher, 2023). Hubungi dia lebih lanjut lewat Instagramnya: @gahpraja.