Selembar Puisi dan Satu Ruangan yang Berangsur Hancur
Aku berpuisi di atas meja jati yang baru kubeli
Sementara pemutar audio terpojok sedari pagi
Lagu demi lagu mengalun begitu malas
Sedang di kepalaku, kau meliar bebas
Tampak jendela dan pot anggrek tak begitu membantu
Semua hanya rindu dan semakin mendayu
Meski telah kutata rapi di dalam hati
Memang, beberapa sekadar di laci
Dan aku ingin sekali menangis
Setelah hari dan baju-bajumu yang tipis
Kau melangkah pergi
Lalu ruangan ini seolah sisa-sisa api
Tanpa noda merah di pipi
Atau lembut puisi di bibir
Tapi aku tak menangis
Hanya berpuisi di atas meja jati yang baru kuhabisi
Purwokerto, 17 Desember 2024
Kau Kuamini Sementara Aku Terbakar Lagi
Selanjutnya kau kembali merengkuh cinta
Sementara aku terlunta, sekujur jiwa terluka
Serupa patung di tengah ripuh negara
Meski belulangku seramah seni atau setabah baja
Aku tetaplah semen yang dikoyak panas neraka
Atau tanah merah milik para pendosa
Lalu seperti apa caranya; merintis kembali cinta
Membuatnya terang sebenderang api membara
Sedang jiwaku serupa patung penuh kecewa
Perasaan kau sungguh kuvalidasi
Tapi bagaimana dengan penjelasan ini?
Dalam ripuh hati dan gemuruh-gemuruh puisi
Segala tentang kau merentang penuhi hari
Menjelma kebisingan di kepala dan di atas sisa meja jati
Kesamaan Antara Rinduku dan Jl. TB Simatupang
Sabtu pertama tahun 2025
Aku mengosongkan kepala
Tapi T.B Simatupang abadi dengan ramainya
Aku di sana dan tersiksa
Mencoba mencari kau
Tapi sudah jauh terlampau
Jika pun kau di sini
Tentu tangan kecil itu tak lagi merangkulku
Sebab aku bukan lagi sesiapapun
Tapi apakah aku terlintas, sayang?
Apakah seramai T.B Simatupang
Atau sekosong isi kepalaku
Melugukan Cinta
Saat jatuh cinta lagi,
Bolehkah aku mengartikan cinta dengan cara yang lugu.
Seperti ini saja; aku bayar dia, dia terima aku,
kita berciuman, telanjang sampai pagi, lalu lantang kita pergi, tanpa membawa puisi.
Sebab bercinta yang dulu, aku jadi seorang sastrawan yang terbuka hatinya;
agar ia bebas kapanpun masuk dan pergi
Sebab bercinta yang dulu, aku mengadopsi Gusti Allah yang memberikan belantara untuk burung bernaung.
Juga sebab bercinta yang dulu, aku mengadopsi Irfan Hakim yang memberikan kandang untuk mengurung burung.
Dan aku Lelah, dan bolehkah menjadi lugu saja?!
Meski Begitu Kau Tetap Kurindu
Usai kau menutup buku dengan mantap
Langit runtuh ke dasar paling gelap
Aku sendiri diantara reruntuhannya; pengap
Mencari alasan-alasan agar kau menetap
Tapi hanya bunyi-bunyi kosong yang kudekap
Aku tetap mendekap kita di ruang hangat
Dengan api-api yang menyala tanpa penat
Yang melelehkan lilin yang padat
Kawan-kawan lain kerap mengkritik
Tapi kepada cinta, aku takkan berkutik
Tidak dengan koma, hanya dengan titik.
Di dalam puisiku kau masih terpanggil “sayang”
Konsep abadi yang akan kulestarikan
Seperti pemusik malaikat penjaga sonata
Aku tetap mencintaimu
Aku mendoakanmu, dan selesai…
Bekasi, 09 Januari 2025