Memori Pondok Rubuh
sejagad penduduk desa,
berputar-putar di tanah lapang
membawa sajadah dan mukena
bertanya-tanya pada rumput yang gersang
“di mana bangunan berkayu itu?
ketika dulu kami,
berzina di antara langit dan bumi,
dan merebah diri pada ubin di malam hari?”
katanya, rumput tidak tahu
penduduk desa pusing sebelas keliling
mereka tidur di tanah lapang itu,
tujuh hari tujuh malam, menunggu
sampai burung gagak memakan bangkainya, dilahap angin
dibuai bumi
lalu tersisa tulang
dan darah
para rumput berkata: “kasihan para manusia itu,
menunggu kayu-kayu rubuh dibangun,
berdoa pula membual akan hidup
pada Tuhan yang menunggu mereka, sedari dulu
sebelum mereka menangis,
tersedu-sedu, berkata rindu
Syair Orang-Orang Sujud
terik menyengat punggung jidat
pada sajadah kapuk bersimpuh
melayani dengan takzim
doa-doa nabawi dan syuhada
kerap dicercahkan luruh mendarat
ketika air menaik
ketika angin menarik
tidak, aku hanya perlu bersujud
walau dunia berbuah pahit
meneteskan syair-syair kegelapan
dengan tali rajam terikat
api membara-bara
tergamang dosa dan hina
dan ketika azab Allah datang
meski dunia akan hancur
lebur
tak lagi subur
tidak, aku hanya perlu bersujud
Saya Menjadi Hujan
–saya ingin jadi hujan
yang mengantar rinai-rinai
pelan menuju desau gurun (setangkai bunga hijau layu, akarnya menghitam)
di mana hujan akan berubah
menjelma ular
“hujan kami adalah air yang turun melalui pelipis kering, dan menenggak ludah merupakan awan yang baik”
o, abba, kaulah busung doa
pada payung yang tak mau mengatup
lihat, langit itu
tak ada burung-burung di sana
mereka menyatu, abba
mereka berdoa!
dengan telisik angin topan
hujan di penghujung tahun
menembus kegelapan perang,
dan merapal deklarasi kemerdekaan
–mereka menjadi ababil yang berteriak: “Allahu akbar!”
Tanda-Tanda Kiamat Semakin Jelas, Tampak Jelas pada Daun
aku mendengar kiamat yang diserukan berita laknat
katanya, “merdeka sama saja hancur
berkeping-keping harta kita yang dikumpulkan
selama di dunia, selama ia menderita
Palestina, ia tidak boleh merdeka.”
bertanyalah aku pada sang pembuat berita: “jikalau
rumahmu ditimpa sungai yang hitamnya
sekeruh tulisanmu di media, apakah kau
bersedia menjadi syafaatku di akhirat?”
ia memegang mikrofonnya bergetar, berguncanglah para mata
sebab ia tahu kalau manusia-manusia adalah tanda-tanda
kiamat yang jelas, tampak pada mulut yang kelu
aku lantas mengambil secarik pena, menuliskannya di
lembaran kertas kosong belum dipenuhi perhatian
rasa nyawa mereka di pangkal tenggorokan dan
menyaksikan daging terurai yang dilahap
serigala berbaju biru
kutuliskan judul besar di atasnya, lalu kutaruh di persimpangan jalan
orang-orang berkomat-kamit membaca seksama: “tanda-tanda kiamat
semakin jelas, tampak jelas di daun.”
mereka terbirit-birit mencari rerumputan, pohon, lumut, maupun
alga selokan, yang daunnya tak kujelaskan secara detail. mereka kesal
padahal, kutuliskan sudah jelas karena
memang sudah jelas? tanda-tanda kiamat itu
berada di daun telinga mereka
serta kutadahkan tangan, dimana orang-orang masih
mencari perihal daun: “Allah, Kau Maha Penyayang
maka izinkan surga turun kepada daun
yang hijau di langit mataku,
juga batangnya yang hitam, akarnya putih
kini berpamrih. izinkan pula bersatu doaku,
bersama awan, merapal harapan
bagi kami di negeri orang mati
Saya Menjadi Burung
entah apa yang dipikirkan burung-burung
di Gaza sana, menembus awan pekat yang menguar
letusan badai, lalu sayapnya berbunyi pak-pak-pak
mendayung angin yang bercampur debu jenazah
kasihan, burung-burung malang yang terperangkap
di kandang gantung bergerigi taring serigala
memakan semangka
saya berteriak dari bawah: “hei, apa yang kau lihat diatas!”
burung itu meluncur,
sayangnya, tertabrak pesawat
sayapnya luruh, temannya menangis
katanya sambil menelan bulir
mata yang bercampur mesiu: “aku hanya melihat lautan yang
tak sebiru langit ini, ia hitam
kadang juga oranye, namun memudar
menjadi reruntuhan sebuah negara,” ujarnya mengantar
jasad burung, jasad temannya yang dilalap
kumat, “Israel laknatullah!” umpatnya sebelum pergi
kadang saya ingin menjadi burung
ya, burung yang memberi mereka angin segar
kadang saya ingin menjadi sayapnya pula
untuk membawa mereka
menuju surga
atau bisa juga mereka yang menjadi burung,
mengantar saya di tengah-tengah
terik matahari gerang
nanti.
RIWAYAT PENYAIR

Gagah Pranaja Sirat, lahir dan menetap di Bogor, 12 Desember 2007. Gagah tengah menempuh pendidikan SMA jenjang kedua di sekolah Boash Ashokal Hajar. Hobinya adalah membaca dan menulis. Telah berkecimpung lama dalam dunia sastra dan banyak memenangkan perlombaan menulis, sehingga ia telah cukup banyak menghasilkan karya. Beberapa bukunya yang sudah terbit Novel Kepala Kakap (Palaray Media, 2023) dan Himpunan Puisi Ilmu Pengetahuan Setan (Mili Publisher, 2023). Hubungi ia lebih lanjut melalui instagramnya: @gahpraja.