Dua tahun lalu, saya mendengar guru saya mengenalkan sebuah novel yang bagi saya judulnya cukup unik, Rapijali. Rasanya, saya belum pernah mendengar kosa kata itu sebelumnya terutama dalam sebuah novel. Novel itu terlihat cukup tebal, ditambah lagi, saya mengetahui bahwa novel itu adalah novel trilogi dengan ketebalan setiap jilidnya yang melebihi kitab suci. Saya cukup heran, dengan tiga jilid setebal itu, guru saya mengatakan bahwa ceritanya sangat seru dan penuh pelajaran. Tapi, apa ndak bosen? Pikir saya saat itu. Barulah tahun 2023 lalu, saya berkesempatan untuk membacanya. Tentu saja saya meminjam novel milik guru saya. Salah satu privilege yang saya syukuri, perpustakaan guru saya bisa dipinjam kapan pun termasuk oleh relawan komunitas.
Rapijali, menceritakan perjalanan hidup Ping, tokoh utama dalam novel ini (awalnya saya pikir begitu), seorang gadis berbakat dalam musik yang tinggal di Batukaras, Pangandaran, bersama kakeknya yang dulunya seorang musisi hebat. Setelah kehilangan sang kakek, Ping harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama ayah angkat yang ternyata sebenarnya adalah ayah kandungnya, seorang politisi berpengaruh. Di Jakarta, Ping beradaptasi dengan kehidupan baru, bertemu dengan teman-teman di sekolah barunya, dan bergabung dengan band Rapijali. Sampai di sini, saya baru paham bahwa Rapijali adalah akronim dari nama-nama tokoh utama dalam novel itu. Rakai, Ping, Jemima, Andre, Lodeh, dan Inggil. Saya akhirnya menyadari bahwa keseruan novel ini bukan hanya terletak pada alur cerita, tetapi penulis sangat memperhatikan detail masing-masing tokoh. Ibaratnya, tidak ada tokoh yang tidak berguna di dalam cerita. Tidak ada tokoh yang berperan hanya sebagai figuran. Semuanya memiliki peran dan saling berkaitan.
Selain kisah utama tentang Ping, novel ini juga banyak berbicara tentang masa lalu. Baik itu masa lalu Ping, ayahnya, maupun karakter lainnya. Sejak jilid pertama dan kedua, saya rasa, ceritanya sangat kompleks dan para tokoh harus bergelut dengan batin mereka sendiri dalam menghadapi trauma masa lalu. Dari setiap trauma itu, penulis seolah ingin mengatakan bahwa trauma yang dipelihara akan berdampak banyak dalam kehidupan mereka di masa depan. Kadang kita menganggap bahwa mengatasi trauma adalah dengan cara menghindari pemicunya. Setiap tokoh dalam novel ini pun melakukan hal yang serupa: menghindar dan memaksa melupakan. Tetapi yang terjadi justru semakin buruk. Ping, misalnya, ia memiliki masa lalu yang cukup berat dan kompleks, baik dari keluarga, karir, maupun pasangan. Ping selalu menghindar dari pemicu-pemicu itu. Menghindari ayah kandungnya, menghindari Rakai (mantan kekasihnya), menghindari mantan managernya, dan banyak hal lain yang ia hindari. Tetapi, gejala-gejala masalah psikologis lain justru semakin muncul dan tak berkesudahan. Bahkan diceritakan Ping kolaps ketika sedang manggung diakibatkan dari tanggungan beban mental yang ia rasakan tetapi tidak ia sadari. Setelah perjalanan panjang dengan bantuan psikolog, barulah Ping mulai menemukan keberanian untuk berdamai dengan segala traumanya. Bagi saya, ini adalah cerita yang sangat meaningful terutama jilid ketiga yang paling tebal dari jilid lain. Sebab di jilid ketiga itulah penulis benar-benar menjawab segala konflik dan persoalan.
Dari sini saya menyadari bahwa salah satu pesan terbesar dari Rapijali adalah bahwa berdamai dengan trauma masa lalu adalah satu-satunya cara untuk benar-benar sembuh. Ping harus berdamai dengan kenyataan bahwa hidupnya telah berubah, ayahnya harus berdamai dengan kesalahannya di masa muda, dan teman-temannya juga memiliki perjalanan mereka sendiri dalam menghadapi luka dan ketakutan yang mereka bawa. Tidak ada yang bisa benar-benar bebas dari masa lalu, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita ingin menghadapi dan mengolahnya.
Saya mengerti sekarang mengapa guru saya begitu merekomendasikan novel ini. Rapijali bukan sekadar cerita fiksi, tetapi sebuah refleksi tentang perjalanan hidup. Tiga jilid yang awalnya saya kira akan membosankan, ternyata justru membuat saya tidak ingin berhenti membaca. Novel ini mengajarkan bahwa meskipun hidup penuh dengan ketidakpastian, kehilangan, dan tantangan, selalu ada cara untuk menemukan kembali diri kita. Dan terkadang, kunci dari semua itu hanyalah satu: berdamai dengan masa lalu. Jadi, apakah saya menyesal akhirnya membaca Rapijali setelah bertahun-tahun menundanya? Tidak sama sekali. Justru saya merasa beruntung bisa mengenal novel ini di waktu yang tepat, ketika saya bisa benar-benar memahami dan meresapi makna yang ingin disampaikan. Jika ada satu hal yang saya pelajari dari novel ini, itu adalah bahwa hidup selalu akan terus berjalan, dan kita tidak bisa menghindari perubahan. Namun, dengan keberanian untuk menghadapi kenyataan dan menerima masa lalu, kita bisa menemukan jalan untuk terus tumbuh. Dan pada akhirnya, seperti yang diajarkan oleh Ping dan teman-temannya, musik—atau apapun yang kita cintai—akan selalu menjadi pengingat bahwa kita tidak sendirian dalam perjalanan ini.
RIWAYAT PENULIS
Suci Wulandari, lahir di Banyumas, 23 Mei 2000, mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini, UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Suci tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir, menjadi tutor program Paket C PKBM Rumah Kreatif Wadas Kelir, tim desain, dan tim riset Rumah Kreatif Wadas Kelir. Suci juga tergabung dalam komunitas Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban, sebagai pengelola website dan toko buku LK Nura, aktif membantu kegiatan-kegiatan di Lembaga Kajian Nusantara Raya. Selain itu, Suci juga menyukai lukisan, puisi, dan musik. Beberapa karyanya bisa dikunjungi di: IG @nomadeenart, website sumurkeringkuuu.blogspot.com, dan telah terbit beberapa esai/ artikel di laman Badan Bahasa dan Prosiding Internasional serta Jurnal Terakreditasi. Motto hidup Suci adalah teruslah hidup dan beradaptasi dengan keadaan.