Resto Pujaan Hati
Besok malam adalah malam minggu. Pagi ini seperti Jumat sebelum-sebelumnya, aku, Raras istriku, dan Diajeng, anak perempuanku satu-satunya, merundingkan akan ke mana malam minggu kami pergi makan malam, sembari melahap karedok yang dihidangkan dengan indah oleh istriku. Potongan dadu kecil dari kacang panjang, helaian-helaian tipis kubis serta mentimun segar tersusun rapi berselimut saus kacang beraroma kencur segar yang entah kenapa begitu nikmat disantap meski masih pagi begini. Istriku memang pandai menghidangkan makanan. Dia bahkan memisahkan kerupuk dari toples ke mangkuk kecil supaya kami tidak usah susah payah memasukan tangan kedalam toples yang mungkin akan membuat tangan kami terkena minyak atau membuat kerupuk kami melempem dan basah karena langsung diletakkan dalam hidangan. Meski di rumah tapi setiap kali kami makan di meja makan dengan Raras, kami merasa kami berada di restoran mewah.
“Bapak, Diajeng juga kan punya pilihan sendiri. Kenapa si bapak terus yang menentukan?”. Diajeng makin beranjak dewasa. Sekarang dia sudah mulai pandai berprotes dan berargumen. Aku tersedak mendengar anakku sudah pandai bicara.
“Haha, sejak masuk SMA kamu sudah mulai pandai protes ya Diajeng. Memangnya pilihanmu mau ke tempat makan yang seperti apa?”
Aku mencoba menanyakan apa yang sedang ingin disampaikan oleh anakku sembari meraih segelas air putih yang baru saja dituangkan oleh Raras untukku. Sebelumnya memang aku mengusulkan agar kita makan malam di Warung Sroto Madnur untuk menikmati Sroto hangat. Ya. Sroto, bukan soto. Berbeda dengan Soto Semarangan, Soto Lamongan, Soto Madura atau soto-soto lainnya. Hidangan ini khas asli Banyumasan. Berisi ketupat, bihun, toge, ayam suwir, kadang ada yang menambah balungan ayam, potongan seledri dan daun bawang, kacang goreng dan remasan kerupuk yang disiram dengan kuah soto bersantan dan bawang goreng serta ditambah sambal kacang yang kental, pedas, asin, manis, gurih. Tekstur kental sambal kacang untuk sroto itu orang Banyumasan menyebutnya dengan buket mbleketaket. Aku memilih Warung Sroto Madnur karena sudah lama aku tidak menyantap makanan enak itu, apalagi para pelayan dan Pak Madnur sendiri sangat ramah melayani kami dan para pelanggan. Tak kusangka anakku tidak setuju.
“Bapak tau restoran steak yang baru di buka minggu lalu di samping hotel mewah dekat GOR? Kemarin, aku diberi tahu oleh Sastri, temanku, kalau restoran itu bagus sekali. Memang sedikit mahal si, tapi kan bapak juga sudah biasa memilih tempat makan yang harganya bermacam-macam. Aku ingin makan disitu, pak. Aku ingin makan steak sekaligus nanti kita bisa foto di tempat yang sedikit mewah”
Aku meletakkan sendok dan garpu ke piring yang semula terhidang karedok dan kini telah habis kusantap lalu menarik sapu tangan yang sudah sedari awal di siapkan oleh istriku di samping masing-masing piring kami. Meski di zaman sekarang ada tisu yang praktis tapi istriku sangat amat telaten menyiapkan perlengkapan makan kami dan rutin menggantinya setiap hari. Di lemari dapur tersusun rapi lipatan-lipatan celemek, handuk lap, sapu tangan dan berbagai perlengkapan lain yang kubeli atas permintaan istriku demi tertatanya semua prosesi makan keluarga kami. Begitu juga untuk hal-hal lainnya seperti berberes rumah, menata ruang dan merawat tanaman hias, istriku begitu rajin. Padahal aku sudah memintanya untuk tidak usah terlalu keras mengurus rumah. Aku tidak mau dia kelelahan dan sakit. Aku mengusulkan supaya dia mencari orang untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tapi dia selalu menolak. Katanya mengerjaka pekerjaan rumah tangga adalah hal yang menyenangkan. Raras memang begitu, meskipun ia adalah lulusan S2 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tapi dia menuruti saranku untuk tidak usah bekerja dan tetap dirumah padahal banyak sekali tawaran dari beberapa kampus untuk mengajar, karena istriku bukan hanya cantik dan rajin tapi dia sangat berbakat. Saat mengenyam pendidikan S1, ia mendapuk berbagai macam prestasi dalam kompetisi penulisan karya ilmiah internasional. Ia menulis dan mempresentasikan hasil penelitiannya dengan apik menggunakan bahasa Inggris. Aku juga tidak menyangka bisa memperistri wanita semenakjubkan Raras.
“Hmm.. Bapak si memang sempat mengagendakan akan makan di restoran yang sedikit mewah sesekali, tapi rencananya itu akan bapak laksanakan saat hari-hari penting saja seperti ulang tahun ibu dan kamu atau hari-hari penting lainnya. Tapi kalau memang Diajeng mau boleh lah kalau kita coba ke sana besok,”
“Wah betulan ini bapak,” Wajah sumringah dari anakku Diajeng mendadak merekah. Ia sepertinya senang sekali mendengar jawabanku.
“Tapi memangnya restoran seperti itu bisa langsung medapatkan meja kalau tidak membuat reservasi dulu?”
“Kata Sastri, reservasi hanya untuk ruangan yang VIP di lantai dua, kalau di lantai satu siapapun bisa langsung duduk dan memesan menu,”
“Ooo begitu, ya sudah nanti kita kesana tidak apa”
“Asyik, nanti Diajeng bisa menunjukkan foto makan di sana kepada teman-teman nih. Oiya ibu, besok ibu siapkan kemeja bapak yang paling bagus, dan baju gaun minimalis punya ibu yang warna putih tulang itu ya bu, nanti Diajeng siapkan sendiri baju Diajeng,”
Raras yang sedang beranjak mengambil kantong makan bekal milikku dan Diajeng sedikit terkejut. Dia tersenyum sembari kembali berjalan ke arah meja makan tempat kami berdiskusi.
“Diajeng, kamu sangat antusias ya? Sepertinya ibu bahkan belum melihat kamu sesumringah ini. Biasanya perempuan itu salah tingkah kalau mau kencan sama pacarnya, lah ini mau makan sama bapak dan ibu sendiri kok pakai menyiapkan baju bagus segala nak?”
Aku tertawa geli. Betul juga apa kata Raras. Aku jadi membayangkan bagaimana nanti anak perempuanku satu-satunya ini akan mengalami kasmaran. Apakah aku masih akan menarik lagi untuk ia ajak bersenda gurau? Ah, anakku sungguh sudah besar.
“Iya lucu sekali kamu Diajeng. Tapi tidak apalah, kalau memang mau kamu begitu apa salahnya kalau kita malam minggu berpakaian rapi”
Aku beranjak dari kursi diikuti dengan Diajeng. Aku bersiap berangkat untuk mengajar ke kampus sekaligus mengantar anakku sekolah setelah bersepakat akan makan malam di resto steak besok.
Hari berlalu dengan cepat, sabtu ini terasa lebih santai karena aku mendapatkan jadwal mengajar hanya di pagi hari pukul delapan pagi sampai sepuluh siang. Pukul satu siang aku sudah bisa membantu istriku memanen cabai, tomat, mentimun, terong dan beberapa jenis sayuran lainnya yang istriku tanam dengan telaten di taman samping rumah. Aku masih heran kenapa istriku sangat piawai mengatur semua hal di rumah. Ia menyulap taman kami menjadi sangat asri. Sebagian sisi berisi tanaman hias hijau, sebagian sisi lainnya berisi bunga-bungaan seperti mawar berukuran kecil atau dia menyebutnya baby rose, bunga kertas, bunga kamelia, dan entah bunga apalagi namanya aku tak begitu tahu dan sebagian sisi lainnya berisi tanaman yang bisa kami manfaatkan untuk memasak seperti sereh, jahe, kunyit, lengkuas, cabai, caisim, bayam, terong lalap, kemangi, daun jeruk dan tanaman lainnya. Aku dan istriku memang sudah sedari masa pacaran mendambakan rumah dengan taman yang luas. Hal itu karena istriku suka berkebun dan aku suka duduk santai sembari merokok di tempat yang asri, syukurnya saat kami diberi rezeki membuat rumah, kami mendapatkan lahan yang bisa kami atur untuk sekaligus menjadi taman di rumah kami. Semua hal yang aku usahakan untuk Raras membuat dia sangat menikmati perannya. Katanya, kegiatan berkebun, memasak, menata rumah, menyiapkan keperluan suami dan anak adalah impianya sedari remaja.
“Mas, aku sudah menyetrika tiga kemeja untuk Mas Bijak pakai petang nanti, aku sepertinya ingin mengenakan baju atasan bunga-bunga merah muda dan rok putih yang mas beli waktu itu, tapi kemarin Diajeng bilang supaya aku mengenakan baju terusan yang sangat formal, menurut mas aku menggunakan apa baiknya ya?”
“Owalah, kamu juga turut repot-repot hanya menyiapkan baju saja ya Ras, kalau aku pakai apa saja, bebas Ras. Nah kalau kamu sebenarnya pakai apa saja cocok, karena kamu sudah memang cantik. Tapi menurutku mungkin Diajeng akan sedih kalau apa yang dia mau tidak dituruti, kali ini coba ikuti dulu saja apa maunya Ras. Sekali-kali agar dia merasa pendapatnya dihargai,”
“Iya juga ya mas, yasudah aku siapkan baju terusan itu dulu, maaf ya Mas Bijak yang semestinya istirahat malah jadi panas-panasan memanen cabai,”
“Raras kamu membuat aku tidak enak saja, aku jadi merasa menjadi raja di rumah dan kamu banyak bekerja. Sudahlah aku ini kan suamimu. Kamu lanjutkan saja menyiapkan baju dan tengok Diajeng di kamarnya, siapa tau dia membutuhkan saran darimu untuk memilih baju”
“Baik, terima kasih Mas Bijak, aku mau ke atas dulu,”
Setelah beberapa jam repot menyiapkan baju, sepatu, tas dan sebagainya akhirnya petang sehabis isya ini kami keluar makan malam. Kami bertiga sudah sangat rapi seperti akan makan bersama presiden. Aku megemudi mobil dengan santai sembari melihat-lihat suasana ramai di jalan. Mendekati area GOR gerobak-gerobak kaki lima berjejer, aromanya juga bermacam-macam, aku sengaja membuka sedikit jendela kaca mobil supaya istriku bisa memilih akan membeli kudapan apa untuk di bawa pulang nanti seusai dari restoran. Jajanan masa kini memang semakin beragam, banyak gerobak yang bertuliskan nama berawalan ‘ci’. Cilok khas Owabong, cilor, cimol, cireng, cipuk, banyak juga jajanan-jajanan baru lainnya yang bukan khas Indonesia seperti burger, kebab, hotdog, corndog dan masih banyak lainnya. Tapi di antara banyaknya jajanan aku tergoda dengan salah satu pedagang dengan dua kotak wadah yang dipanggul menggunakan kayu bertuliskan Es Badeg dan Cimplung.
“Eh bu, lama sekali bapak tidak minum es badeg dan makan cimplung. Nostalgia sekali kalau makan kudapan itu di masa sekarang ya bu. Kita beli itu dulu apa ya bu?”
Aku mengusulkan membeli minuman dan makanan khas daerah Banyumasan itu karena kupikir jika kami membelinya setelah dari resto steak mungkin pedagang itu sudah pergi. Es badeg dan cimplung menjadi kudapan yang semasa kecil seringkali aku nikmati bersama keluarga. Dulu makanan tidak semudah sekarang didapatkan di mana-mana. Untuk bisa menikmati es badeg yang segar, penjaja minuman ini harus mendapatkan air nira asli dari bunga kelapa atau manggar dan menyimpannya dalam bambu yang disebut pongkor. Rasa dari minuman itu segar dan manis serta beraroma khas. Sedangkan cimplung dibuat dari singkong yang dimasukkan atau dicemplungkan ke dalam air nira sampai berubah warnanya menjadi kecoklatan. Konon nama cimplung berasal dari suara ‘plung-plung’ saat memasukkan singkong kedalam air nira.
“Waduh bapak, bagaimana kalau kita langsung saja ke resto? Ini malam minggu Diajeng sedikit khawatir kalau tidak segera ke sana restoran baru itu sudah ramai,”
“Haha. Lagi-lagi bapak disanggah oleh Diajeng, bu. Ya sudah kita langsung saja ke Resto ya,”
Tibalah kami di restoran yang bernama Oliver Steak yang sedari kemarin dibicarakan oleh putriku. Resto itu ternyata sudah ramai, kami menanyakan kepada petugas keamanan apakah masih bisa masuk dan mendapatkan meja. Syukurnya tersisa satu meja di sisi pojok restoran mewah bernuansa Eropa itu. Kami segera masuk dan menempati meja itu. Meskipun ini adalah restoran mewah ternyata banyak sekali pelanggan malam ini. Para pelayan berjalan kesana kemari melayani pelanggan. Kami memilih menu dari buku menu yang sudah tersedia sejak sebelum kami menempati meja itu. Aku mencoba beberapa kali melambaikan tangan ke arah pelayan tetapi ramainya suasana malam itu begitu banyak orang-orang yang kurasa adalah orang chinese yang memiliki banyak uang yang menjadi juragan-juragan toko atau bisnis-bisnis lainnya seperti umumnya orang-orang Tionghoa di Indonesia membuat tak satupun pelayan menyadari kami sudah siap memesan menu.
Sudah pukul sembilan dan terhitung tiga sampai empat kali aku mengangkat tangan masih tidak kunjung ada yang menghampiri, kuputuskan untuk mendekat ke arah meja resepsionis untuk memesan langsung. Sayang seribu sayang semua menu utama yang kami pesan sudah habis, tersisa hanya steak original yang sepertinya jenis hidangan itu adalah menu yang ada di restoran steak manapun bahkan mereka hanya memiliki dua porsi untuk hidangan tersebut tanpa kentang goreng. Mereka mengaku jumlah pelanggan malam ini memang jumlah yang paling ramai sejak awal mereka buka. Aku meminta waktu kepada pelayan untuk berdiskusi dengan Raras dan Diajeng apakah jadi akan makan malam di resto mereka atau tidak. Menurutku ini sudah terlewat batas, aku dan Raras sudah mencoba memaklumi dan mendengarkan apa yang Diajeng inginkan. Barangkali kali ini aku akan mencoba menyanggahnya jika ia masih ingin makan di sini.
“Bu, Diajeng, sepertinya malam ini kita kurang beruntung, menu yang tadi kita pesan semua sudah habis, hanya tersisa steak biasa dan hanya untuk dua porsi, kita akan tetap makan di sini atau memilih tempat makan lainnya? Jika makan di sini maka salah satu diantara kita tidak bisa turut makan dan harus makan lagi di tempat lain tapi kalau kita cari tempat lain sudah pasti semua akan makan”
Kulihat wajah Diajeng sedikit tampak sedih dan kecewa. Tapi ia terlihat tidak enak juga denganku dan Raras.
“Pak, sebenarnya Diajeng ingin sekali menunjukkan kepada teman-teman kalau Diajeng bisa makan di restoran dengan tampilan yang mewah dan makanan yang mahal,”
Lagi-lagi aku terkejut, aku sedikit tersulut, sedari kecil Diajeng belum pernah banyak protes, beranjak remaja ia justru mulai pandai memprotesku. Aku menyerahkan urusan memberi Diajeng pengertian kepada Raras, aku khawatir aku berlebihan sehingga menyinggung putriku. Tapi mendengar yang dikatakan Raras kepada Diajeng membuat hatiku yang semula sempat akan terbakar seketika menjadi sejuk.
“Diajeng kalau boleh ibu sampaikan, ibu sudah menyiapkan tiga baju kemeja untuk bapak kenakan malam ini supaya bapak bisa memilih baju mana yang paling bagus di mata Diajeng. Sejujurnya ibu juga awalnya ingin mengenakan baju bunga-bunga yang tidak terlalu formal, tapi kata bapak, ibu harus menghargai pendapat Diajeng, ibu juga sudah menyiapkan sendal dan sepatu untuk kita semua. Selain itu sebelumnya bapak sudah menanyakan kepada Diajeng apakah tidak apa jika tidak melalui reservasi dulu, kata Diajeng tidak masalah. Tadi saat bapak ingin mampir membeli kudapan, bapak sudah menuruti kata Diajeng untuk segera ke sini. Tapi kenyataannya ternyata kita kurang beruntung, kan, Nak,”
Aku memandangi wajah putriku yang menunduk, dan sesekali memandangi pula wajah istriku yang cantik dan begitu lembut menasihati Diajeng.
“Kita sudah repot menyiapkan semua, tapi kita bahkan tidak dilihat sama sekali. Anak ibu bahkan sudah cantik sekali saja para pelayan itu tidak melirik. Beda ceritanya kalau kita ke Warung Sroto Madnur mengikuti yang bapak katakan, Diajeng pakai kaos saja dilayani seperti putri raja, apalagi kalau Diajeng pakai baju dan berdandan secantik ini, pasti pelayan dan Pak Madnur malah hanya ingin melayani kita saja,”
Bujuk istriku sembari tertawa kecil itu ternyata membuat putri kecil kami luluh. Ia meminta maaf kepadaku karena membuat kami banyak mengalah. Itu justru membuatku kasihan kepadanya. Tapi memang pembelajaran semacam ini juga perlu diketahui oleh Diajeng supaya ia bisa lebih pandai mengatur keinginannya karena nyatanya kadang apa yang kita inginkan tidak selamanya bisa kita dapatkan. Akhirnya kami pindah menuju Warung Sroto Madnur. Saat di perjalanan Diajeng menanyakan sesuatu kepadaku.
“Di antara resto, warung, atau tempat makan yang setiap malam minggu kita kunjungi, menurut bapak, tempat makan mana yang paling favorit?”
Dengan lantang dan percaya diri aku menjawab.
“Tidak ada,”
“Kenapa tidak ada pak?”
“Menurut Bapak tempat makan terbaik adalah tempat makan yang biasa kita tempati di rumah. Setiap kali kita makan, Diajeng sadar kan betapa telatennya ibu? Pelayanan yang diberikan ibu kepada kita sudah lebih dari restoran mewah manapun. Bahkan dengan pelayanan yang sedemikian rupa, ibu tidak pernah sekalipun meminta apapun kepada bapak dan Diajeng. Itulah kenapa bapak memacari dan menikahi ibu. Bapak tidak perlu menjadi apa-apa untuk bisa mendapatkan kebaikan dan kasih sayang ditambah kecantikan, kesabaran, dan kepandaian yang ibu miliki,”
Raras melongok ke arahku, ia tersenyum-senyum dan memerah. Katanya, “Halah bapak menggombal,”
RIWAYAT PENYAIR

TANIA RAHAYU, mahasiswi semester 3 Komunikasi dan Penyiaran Islam kelas B meraih Juara I Lomba Cipta dan Baca Puisi Tingkat Nasional, yang diselenggarakan oleh UIN Sultan Thoha Saifuddin (UIN STS) Jambi. Tania Rahayu adalah anggota Sekolah Studi Kepenulisan Sastra Peradaban di dalam Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.