(Etika dan Estetika dalam Sajak-Sajak Suci Wulandari)
Oleh Abdul Wachid B.S.
(Penyair, Profesor)
- Suara Baru dalam Kepenyairan Perempuan Muda
Dalam lanskap puisi kontemporer yang kian riuh dengan gaya, tema, dan strategi estetik yang beragam, karya-karya Suci Wulandari tampil sebagai suara yang pelan, jernih, dan menyimpan daya spiritual yang dalam. Ia tidak meledakkan kata-kata demi menciptakan efek dramatis, melainkan menenun kesedihan, cinta, dan pengakuan batin sebagai pengalaman puitik yang lembut namun menghunjam.
Suci Wulandari (lahir 23 Mei 2000) adalah penyair muda asal Purwokerto yang tengah menapaki kiprah kreatifnya dari komunitas kampus menuju ruang publik yang lebih luas. Ia aktif menulis puisi, membaca karya sastra spiritual, dan terlibat dalam kegiatan literasi berbasis komunitas. Rumah Kreatif Wadas Kelir dan Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) tempat ia berproses kreatif. Gaya kepenyairannya menekankan pengalaman eksistensial perempuan muda yang akrab dengan ruang domestik, kesedihan, perenungan, serta pencarian makna yang bersifat ruhaniah. Sarjana Pendidikan Islam Anak Usia Dini ini sedang menempuh Magister di bidang yang sama di almamaternya, UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.
- Puisi Sebagai Doa: Etika Menulis Luka
Salah satu puisinya yang menandai kekuatan puitik sekaligus etikanya adalah “Aku Sedia”, yang memuat perpaduan antara ungkapan kehilangan dan keberanian menyerahkan diri.
AKU SEDIA
nona,
izinkan aku menyajikan harap
akan kutuang ke selembar kertas
dengan tinta darah yang merona
sebagai sumpah nyata seorang hamba
yang santun menyanyi di depan pusara
nona,
aku bawakan segenggam abu
dari rindu yang terbakar hangus
oleh bara penyesalan yang tak kunjung padam
nona,
lama nian nona terlelap
begitu nyaman di dalam sana
benarkah kata orang
terbaring tanpa nyawa
akan membawa tenang?
kalau benar begitu,
aku menyusul saja
menebus liang lebih awal
asal di sebelahmu,
aku sedia
Purwokerto, 9 Januari 2022
Puisi ini menempatkan duka bukan sekadar sebagai perasaan, tetapi sebagai sikap spiritual. Simbol seperti “tinta darah” dan “abu rindu” bukan sekadar metafora visual, melainkan lambang ketulusan dan penyerahan. Suci tidak menulis puisi untuk mengeluh, tetapi untuk mempersembahkan perasaan kepada yang telah tiada—dan kepada Yang Maha Ada.
Etika spiritual yang ia bangun berangkat dari kejujuran batin dan kesediaan menyampaikan duka dalam wujud yang utuh, bukan dalam wujud pura-pura kuat.
- Kesedihan sebagai Ruang Renung
Dalam puisi-puisi seperti “Tuhan Maha Sejuk” dan “Di Balik Temaramnya Doa”, tampak jelas bahwa Suci memposisikan penderitaan sebagai jalan renung. Ia menulis:
ia mendongak berurai air mata
mengakui maha lemahnya ia sebagai manusia
ia merangkak penuh kesakitan
meminta belas kasih dari Tuhan
agar dipeluk-Nya tubuh yang renta
dan jiwa yang nyaris berkarat
Dalam bait ini, kita melihat kejujuran dalam mengakui kelemahan manusiawi, tanpa kehilangan arah menuju Tuhan. Doa dalam puisinya bukan jargon religius, tetapi gerak batin yang hening.
Demikian pula dalam “Berdukalah Sesukamu, Tuan”, Suci memberi tempat bagi kehilangan untuk berlangsung:
maka, berdukalah sesukamu, tuan
sampai kering air matamu
sampai habis penyesalanmu
sampai lenyap penderitaanmu
(…)
Alih-alih memaksa pembaca untuk “move on”, Suci justru memberi izin bagi rasa duka untuk menetap dan selesai dengan caranya sendiri. Inilah bentuk empati puitik yang berlandaskan etika ketenangan batin.
- Estetika Kesederhanaan dan Ketulusan
Estetika puisi Suci berpijak pada keluwesan struktur dan kekuatan rasa. Ia tidak berambisi membangun permainan bentuk yang mencolok, tetapi memilih alur puisi yang natural, repetitif secara meditatif, dan mudah diakses secara emosi.
Gaya bahasa dialogis, seperti pada sapaan “nona”, “tuan”, bahkan “kucing-kucing rumah”, membangun suasana yang personal dan intim. Dalam “Obrolan Kucing-Kucing Rumah”, suara-suara kecil menjadi simbol kehilangan yang lebih dalam, menunjukkan empatinya pada yang tak bersuara.
Suci membangun citraan yang asosiatif dan logis, tidak ruwet, namun tetap puitik. Ia tidak sekadar menjalin kata, tetapi mengolah makna.
- Penutup: Puisi sebagai Jalan Cahaya
Secara keseluruhan, sajak-sajak Suci Wulandari mencerminkan suara perempuan muda yang jujur pada dirinya, pada dunia, dan pada Tuhannya. Ia menulis bukan untuk tampil menonjol, tetapi untuk menyampaikan sesuatu yang penting: bahwa luka dan kehilangan bisa menjadi jalan menuju cahaya—asal ditulis dengan ketulusan.
Dalam konteks kajian sastra Nusantara yang menghargai dimensi spiritual dan kebijaksanaan lokal, puisi-puisi Suci Wulandari patut diapresiasi. Ia adalah model kepenyairan yang tidak terjebak dalam gaya, tetapi justru menemukan bentuk dalam keheningan.
Sajak-sajaknya bukan hanya ruang estetika, tetapi juga ruang etika. Dan dari sana, kita belajar: menulis duka bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami; menyulam makna bukan untuk dikagumi, tetapi untuk disyukuri.*