Terbuang Hingga ke Dasar Jurang
Bumantara terlihat mendung, tampak seperti wajah yang murung. Sudah bisa ditebak, sebentar lagi air akan jatuh ke peluk bumi. Benar saja, air hujan turun sangat deras hingga membasahi teras. Dalam hitungan menit, jalanan sudah terkepung air. Sungai pun meluap, tak ketinggalan selokan juga meluap. Air menyebar hingga bertamu ke rumah warga. Andai air bisa berbicara, pasti ia sudah mengatakan “permisi saya mau mau masuk” kira-kira seperti itulah yang akan air katakan. Air yang merupakan benda mati, tanpa aba-aba ia datang memasuki pintu rumah, menyusuri lorong-lorong kecil dan membanjiri sekitar.
Depan rumah sudah kelihatan kecombang air. Beruntung rumah Syifa sedikit lebih tinggi, sehingga air tidak sampai masuk ke dalam. Air mengalir memasuki rumah yang bangunannya lebih rendah. Dari kaca jendela, Syifa melihat keadaan luar sangat ekstrem. Tak perlu pergi ke dunia salju untuk merasakan dinginnya udara, saat hujan turun dengan begitu derasnya juga sudah membuat badan terasa menggigil. Bagaimana ini? Pikir Syifa dalam hati.
Sejenak lamunannya buyar, tatkala mendengar ada bunyi nada dering dari ponselnya.
“Sif, rumahku hujan deras banget. Di rumahmu hujan ga?” tanya Tika, suaranya terdengar jelas melalui gawai.
“Hujan deras, Tik. Ini juga depan rumah sudah banjir” jawab Syifa, memberi penjelasan sambil mata menengok ke arah jendela.
“Lha, terus gimana? Jadi ke Brebes gak?” tanya Tika seolah meminta kepastian.
“Aku juga bingung, Tik. Menurutmu gimana?” Syifa kembali melontarkan pertanyaan yang sebelumnya sudah diucapkan oleh Tika. Namun kali ini, ia terkesan meminta pendapat. Wajahnya diliputi kebingungan, terlihat dari raut muka yang sedikit panik.
“Lha, kamu pengennya bagaimana? Demi kamu aku siap membantu,” jawab Tika dengan semangat. Seolah memberikan power untuk Syifa.
“Ini sih hujannya udah mulai reda, Tik. Cuma aku khawatir kalau nanti tiba-tiba deras lagi gimana? Jalan juga sudah banjir, kira-kira bahaya nggak ya kalau diterjang?” ungkap Syifa dengan perasaan tidak enak dan juga masih diliputi kebingungan.
“Insya Allah gapapa, Syif. Pelan-pelan saja naiknya. Mumpung masih jam segini, jadi masih punya banyak waktu. Lagian kamu sama aku juga sudah terlanjur ambil izin, kan? Kalau misal nggak jadi hari ini, kapan lagi bisa ambil izin coba? Nanti ngatur waktunya susah.” jawab Tika dengan diiringi penjelasan yang membuat Syifa semakin berpikir keras untuk menentukan jawaban.
“Iya juga sih, Tik. Aku juga sudah terlanjur janji sama mas Damar. Tapi jujur aku gak enak sama kamu, Tik. Kasihan kamunya, kalau aku sih gapapa. Aku cuma kepikiran kamu saja, masak iya demi nganter aku sampai rela hujan-hujanan?” ucap Syifa dengan wajah sendu, dipenuhi rasa khawatir.
“Kamu tuh kayak sama siapa, kita kan berteman sudah lama, buang jauh-jauh rasa ga enakmu itu. Tenang saja, ga usah khawatir. Aman kok.” Tutur Tika, sembari meyakinkan Syifa.
“Gimana ya? Jujur aku bingung banget, Tik.” ungkap Syifa seolah merasa semakin kebingungan dengan kondisi saat ini.
“Sudah, ga usah bingung. Bismillah gapapa. Kamu siap-siap aja. Mumpung hujannya udah mulai reda nih. Aku samperin kesitu sekarang ya.” ucap Tika penuh semangat.
“Yasudah kalau begitu, kamu hati-hati ya. Jangan ngebut lho,” jawab Syifa memberikan nasihat kepada Tika.
Syifa bergegas menuju kamar mencari baju yang pas untuk dipakai dalam rangka bertemu dengan Damar. Sembari mempersiapkan diri menunggu kedatangan Tika. Tidak lama lagi, mereka akan melakukan perjalanan menuju desa Brebes. Lebih tepatnya di daerah Paguyangan, kabupaten Brebes. Tampaknya, banjir besar dan hujan deras tidak akan memberhentikan langkah kakinya untuk bertekad menyusuri jalan yang berliku.
Demi memperjuangkan rasa cintanya pada sosok laki-laki yang bertubuh kekar dan berbadan tinggi itu. Tika yang berada di depan sebagai pengemudi dan Syifa memposisikan diri berada di belakang untuk membonceng. Sedari awal Syifa memang sudah berniat untuk membonceng Tika, tersebab luka yang melekat di tubuhnya, membuat ia tidak bisa mengendarai motor dengan jarak yang cukup jauh. Lantaran belum terlalu pulih. Syifa baru saja terkena insiden jatuh dari motor seminggu yang lalu. Akibat menghindari kucing yang berkelahi, Syifa terjatuh dan tertindih motor hingga tubuhnya menghantam aspal. Luka juga belum kering, masih terasa perih. Tetapi sudah harus beraktivitas kembali. Beruntung ada Tika yang siap sedia menemani.
Di perjalanan, mereka memutuskan untuk melewati daerah Pemalang. Setelah sekian menit memanggang pantat di atas jok motor, kini sampailah mereka berdua di alun-alun Pemalang. Syifa bertanya kepada salah satu orang yang berada di sekitar alun-alun. Untuk menanyakan, arah jalan menuju Brebes. Ia pun diberi arahan oleh orang tersebut. Segera mereka berdua mengikuti arahan itu. Setelah ditelusuri, tak tahunya malah nyasar. Bolak balik sampai tiga (3) kali masih berada di tempat yang sama.
“Ini mah terkena oyot mimang, Tik,” ucap Syifa, mencoba mengingat-ingat cerita dari neneknya.
“Oyot mimang itu apa sih tik?” tanya Tika dengan wajah penasaran, memandang ke arah Syifa.
“Oyot mimang itu ya bahasa lainnya nyasar, nyasarnya ya di tempat itu-itu saja. Bolak-balik ke jalan yang tadi sudah dilewati, kembali lagi ke jalan itu lagi. Muter-muter disitu. Begitulah, Tik, seperti yang dialami kita ini,” jawab Syifa, sembari memberikan penjelasan terkait apa yang ia katakan.
“Hmm, begitu ya. Membuang-buang waktu saja ya, Syif, mana sudah memakan waktu 4 jam di perjalanan,” ucap Tika, sembari menengok arloji yang melingkar di tangan kirinya.
“Mampir makan dulu aja yuk, Tik. Aku tadi pagi belum sempat sarapan,” ajak Syifa sembari mencerminkan tatapan lesu, dan tubuh yang lemas.
“Oalah kamu gak bilang dari tadi. Nanti kalau kamu masuk angin gimana? Ya sudah yuk makan dulu, mau makan apa?” tanya Tika, dengan memperlihatkan raut muka yang penuh kekhawatiran pada teman kesayangannya itu.
“Di warteg aja gimana, Tik? Atau di mana enaknya?” ucap Syifa, mencoba memberikan penawaran kepada Tika.
“Ya di warteg gapapa,” jawab Tika, mengiyakan.
Lantas mereka berdua melajukan motor menuju warteg untuk mengisi amunisi tubuh. Sembari menunggu makanan datang, Syifa membuka ponselnya. Sedari tadi tak sempat memegang ponsel karena sibuk mengamati jalan. Dibukalah gawai itu, lalu Syifa menggerakkan jari jemarinya untuk menyentuh nomor Damar. Memberikan kabar terkait posisinya yang saat ini masih berada di Pemalang. Ia juga meminta tolong kepada Damar, supaya memberikan share lokasi rumahnya.
Menit yang berlalu, tak jua ada balasan dari Damar. Namun Syifa tak pernah lelah untuk menunggu. Tak lama berkutat dengan keyboard Handphone, lantas Syifa pun merasakan ada getaran di ponselnya. Menandakan jika ada pesan masuk, pesan itu tak lain ialah dari Damar. Pesan inilah yang ditunggu-tunggu, kini akhirnya muncul juga. Namun sangat disayangkan sekali, permintaan terkait sharelokasi rumah tak sesuai dengan harapan. Damar mengatakan bahwa Handphonenya error, sehingga tidak bisa digunakan untuk melayangkan jejak google maps. Meski diliputi rasa kecewa, Syifa mencoba untuk memakluminya.
Tak berhenti sampai disitu, ia lantas memutar otaknya untuk mencari alamat Damar. Memandangi langit sebentar, sembari melayangkan pikir sejenak. Ide demi ide saling bermunculan. Tak menunggu lama lagi, Syifa pun meletakkan jari jemarinya diatas keyboard. Lalu memencet huruf demi huruf di google untuk mencari alamat tempat tinggal Damar. Ia memang tidak mengetahui secara lengkap alamat rumah Damar. Namun dirinya teringat akan ucapan sosok laki-laki berkulit kuning langsat, yang mana ucapan itu masih terngiang-ngiang di kepala.
Satu kata yang merupakan nama daerah dari tempat tinggal Damar, yaitu Paguyangan, yang memasuki wilayah desa Brebes. Merasa sudah menemukan apa yang dicari, lalu ia pun meletakkan gawainya. Jejak penemuan alamat sudah ada di tangan, tinggal mengikuti arahan yang dijelaskan oleh google maps tersebut, lantas selebihnya bisa bertanya kepada orang lain. Berlalu, memandangi sahabatnya yakni Tika. Mereka berdua saling memandang, rasa bingung pun menyelimuti mereka berdua. Karena diantara mereka, tidak ada yang bisa membaca google maps. Tidak kehabisan akal, Syifa pun bertanya kepada pemilik warung.
Setelahnya, lalu di beri arahan dan disarankan lewat Tegal saja. Jalan satu-satunya menuju ke arah Brebes. Mereka pun melanjutkan perjalanan, melewati Tegal. Jalannya berkelok, bawahnya penuh jurang. Setelah drama melewati proses yang cukup panjang dan memakan waktu di jalan, akhirnya sampailah mereka di pasar Candiareng kabupaten Brebes. Syifa, kembali menyentuh ponselnya untuk memberikan kabar terbaru sesuai dengan posisinya saat ini. Ia meminta tolong kepada Damar untuk menjemput dirinya di area pasar Candiareng. Suara nyaring yang terdengar jelas dari ponselnya, membuat wajah Syifa mencerminkan rasa kekecewaan.
Tersebab, Damar mengatakan bahwa dirinya sedang sibuk sehingga tidak bisa menjemput. Syifa terdiam sejenak, tampak beberapa menit merasakan hening. Tidak ada lagi pembahasan yang keluar dari mulut kedua manusia yang sedang bertolakbelakang itu. Hening sesaat, kemudian tak lama terdengar kembali suara laki-laki yang kedengarannya seperti sedang berada di hutan.
Kesimpulan itu diperoleh lantaran terdengar suara jangkrik, yang sesekali menyeletuk seolah ingin ikut dalam perbincangan lewat telepone. Tidak lagi menolak, kini Damar menyanggupi bahwa dirinya akan menjemput Syifa. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Sembari menunggu Damar menjemput. Syifa dan Tika pun memutuskan untuk melakukan laporan terlebih dahulu kepada yang maha kuasa. Ya laporan itu tak lain adalah sholat. Mereka memutuskan untuk sholat dzuhur terlebih dahulu, di mushola dekat pasar Candiareng.
Detik yang berjalan, hingga merambah ke menit dan melaju hingga jam memutar, nyatanya tak jua muncul kedatangan Damar. Lagi-lagi menunggu, seperti makanan sehari-hari saja. Penantian selama kurang lebih sejam itu, akhirnya melahirkan sebuah ketenangan. Bunyi suara motor terdengar jelas. Akan tetapi bukan seperti motor milik Damar. Syifa paham betul, suara motornya seperti apa.
Motor Vario, ialah motor yang sering digunakan Damar ketika menjemput Syifa. Suaranya sangat khas, Syifa tidak pernah lupa dengan suara motor itu. Benar saja, itu bukan motor milik Damar. Akan tetapi terlihat tubuh gagah seorang laki-laki yang selama ini ia cintai, terpampang jelas duduk diatas jok motor Revo. Rupanya ia, mengendarai motor milik saudaranya. Untuk mempersingkat waktu, mereka bertiga pun bergegas menuju rumah Damar. Melewati hutan, kebun dan sawah. Jalannya ekstrem, kebanyakan nanjak. Tika tampak ketakutan sekali, Syifa pun tak lupa untuk memberikan dukungan kepada Tika lewat doa-doa agar diberi keselamatan pada saat melakukan perjalanan menuju rumah Damar. Sekian menit merasakan senam jantung. Jantung terasa berdebar sangat kencang, lebih kencang dari biasanya. Hal itu dipicu oleh ketakutan yang dirasakan ketika di perjalanan.
Akhirnya, drama senam jantung itu sudah terlewati juga. Kini, sudah tiba di rumah yang dinanti-nanti yakni rumah Damar. Disambut baik oleh keluarganya. Inilah pertama kalinya Syifa berkunjung ke rumah mas Damar. Sesuai permintaan Damar waktu itu. Di saat hubungannya agak renggang. Karena di suatu hubungan, pasti ada saja permasalahannya. Bukan mencari solusi, Damar malah memilih untuk mengakhiri.
Damar sempat memutuskan untuk berpisah. Syifa yang masih diliputi perasaan cinta yang membelenggu. Sempat shock dengan keputusannya yang secepat itu. Ia sadar bahwa dirinya banyak kekurangan, mungkin itu yang membuat Damar ingin mencari yang lebih baik darinya. Akan tetapi apakah Damar lupa? Bahwa ia juga punya kekurangan. Meski begitu, Syifa berusaha untuk menerimanya. Damar yang dulu mati-matian mengejar cintanya. Hingga tiba saat Syifa menaruh rasa iba, Damar malah memilih untuk menjauhinya.
Syifa yang berkali-kali mencoba menahan dirinya supaya tidak pergi. Akan tetapi Damar malah berkali-kali mengacuhkan dengan alasan sudah tidak cinta lagi. Hingga sebuah peristiwa menyayat hati, yang terjadi di suatu malam.
Saat Damar mengirimkan pesan lewat whatsapp yang mengatakan bahwa dirinya akan menikah dengan orang lain. Disitulah hati Syifa hancur terurai. Bagai di pukul besi baja tepat di kepala, ya itulah yang dirasakan Syifa. Pemilik nama Asyifa Meisya Wulandari ini sempat shock, saat membaca pesan yang di kirimkan oleh Damar (kekasih hatinya). Ia tak menyangka, bahwa sosok Damar laki-laki yang dicintai sebegitu dahsyatnya, tiba-tiba berubah seketika. Tak hanya itu, perubahan Damar yang spontan juga terkesan sangat membingungkan. Bagaimana bisa, seorang Damar tiba-tiba memutuskan hubungan begitu saja, dan mengatakan bahwa dirinya akan segera menikah dengan orang lain.
Syifa yang awalnya sempat tidak terima, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Syifa mencoba untuk mengikhlaskan meski dilanda rasa nelangsa. Disaat ia sudah mulai memahami bahwa Damar bukan miliknya lagi. Selang beberapa hari, Damar kembali mengirim pesan yang berisi permintaan kepada Syifa untuk datang ke rumahnya. Tanpa berfikir panjang, Syifa langsung mengiyakan permintaan itu. Pada awalnya sudah berusaha untuk mengikhlaskan, namun kini perasaan itu ditarik kembali.
Hal itulah yang membuat Syifa bersedia untuk datang ke rumah Damar. Sementara Damar sendiri, tidak bisa mengantar jemput Syifa, dengan alasan karena harus bolak balik 4x dari Brebes ke Semarang untuk menjemput dan kemudian mengantar Syifa pulang kembali. Tentu hal itu sangatlah menguras energi. Syifa memahami alasan tersebut, karena baginya, apapun yang dikatakan Damar waktu itu bagaikan mutiara yang menyelimuti. Apapun itu, Syifa merasa bahwa perkataan Damar adalah segalanya. Ia pun mengalah untuk memilih datang bersama dengan temannya yakni Tika.
Hatinya sangat senang sekali menerima kabar bahagia itu. Pikirnya, berarti Damar sudah bisa menerima dirinya kembali. Pesan itulah yang membuat hati Syifa terngiang-ngiang. Bahagia tidak karuan rasanya. Seperti dibawa terbang ke angkasa, menjelajahi aneka macam planet dan berkeliling bersama sang pujaan hati. Bagaimana tidak? Hatinya yang kacau balau, kini kembali sumringah setelah menerima pesan itu. Bahkan ia membiarkan mulutnya yang berbusa, untuk mengatakan kebohongan yang ditujukan kepada sosok wanita yang sudah melahirkannya.
Dari lubuk hati Syifa yang paling dalam, ia merasa bersalah kepada ibunya. Antara perasaan tidak tega, dan rasa bersalah yang kian menyelimuti, namun terpaksa harus dilakukan demi mendapatkan izin untuk bisa pergi menemui sosok laki-laki dambatan hati. Syifa tahu betul, ibunya tidak akan memberikan izin bilamana mengetahui jika dirinya akan pergi jauh, ditambah lagi dengan tujuan yaitu mendatangi rumah laki-laki. Jelas sangat bertentangan sekali. Rasa bersalah yang tiada tara, akan tetapi apa boleh buat, ia tersiksa dengan perasaan yang seperti ini. Semua memang harus dituntaskan, agar tidak menjadi beban pikiran.
Sepulang dari Brebes, tubuhnya menggigil. Suhu badan tinggi, seakan menyaingi kompor. Kepala pusing, badan lemas dan lunglai. Di saat-saat merasakan tubuh yang tidak karuan, ia menyempatkan untuk membuka ponselnya berulang kali hanya untuk melihat apakah ada pesan masuk dari Damar? Ternyata tidak ada sama sekali. Bahkan ketika Syifa, memberi tahu keadaannya saat ini, Damar tetap tidak peduli. Berulang kali pesan itu dilayangkan ke nomor Damar, akan tetapi tidak ada jawaban jua. Hari berganti hari, terlihat mentari pagi hadir menyelimuti. Terang benderang, namun tidak seterang hati Syifa yang masih diliputi perasaan kelam.
Syifa masih menikmati lamunan yang seringkali datang menghampiri. Hingga dirinya dibuat terkejut, setelah membuka notifikasi yang memperlihatkan dengan jelas, adanya pesan masuk dari Damar. Sempat dibubuhi perasaan bahagia, walau akhirnya harus kembali di hantam realita. Tubuh bergetar semakin dahsyat, disaat membaca isi pesan yang menyatakan bahwa orangtuanya tidak merestui. Dia meminta untuk mengakhiri hubungan ini. Tangisnya semakin pecah, sakit pun bertambah parah.
Dadanya sesak, nafas terpenggal-penggal. Di tengah-tengah rasa sakit yang datang menghampiri, nestapa yang menggerogoti, Syifa dihantui kata “andai” yang selalu datang menyelimuti. “Andai saja waktu itu, aku tidak jadi datang ke rumahmu. Pasti aku tidak akan sesakit ini” ucap Syifa dalam hati, beriringan dengan air yang membanjiri kelopak mata. Ia tersadar, sebenarnya semesta sudah berniat untuk menahan dirinya agar tidak pergi. Banjir besar dan hujan deras kala itu, sebagai saksi dari alam yang tidak merestui. Syifa yang masih dibutakan oleh cinta, tidak sadar dengan kode alam yang ada di depan mata. Tetap memperjuangkan cinta, yang jelas-jelas tidak menganggapnya ada.
Berhari-hari menikmati rasa sakit yang mendarah daging, hingga membuat dirinya harus merasakan suntikan jarum yang mengenai tubuhnya. Obat dan kasurlah yang menemaninya selama ini, menghabiskan waktu di saat rasa sakit itu enggan berpamitan. Hingga waktu terus berjalan, Syifa tak pernah berhenti memikirkan. Ia pun berniat berkunjung ke rumah Damar untuk kedua kalinya. Badan yang dulu rasanya tidak karuan, kini sudah mulai enak dirasakan. Lantas syifa pun memutuskan untuk datang kembali ke Brebes tanpa sepengetahuan Damar. Kali ini, ia tidak akan ditemani siapapun. Sebab Tika tidak mengizinkan Syifa untuk pergi, apalagi dengan niatan datang kembali ke rumah Damar yang menjadi penyebab sakitnya hingga sampai seperti ini.
Pikiran yang selalu tertuju pada Damar, nampaknya mampu membuat Syifa tak bisa tinggal diam. Ia pun pergi naik bus, seorang diri dari Semarang menuju Brebes. Tidak ada satupun orang yang mengetahui kepergiannya. Sesampainya di terminal Brebes, disambung dengan ojek untuk menuju ke rumah Damar. Ketika langkah kaki Syifa menapakkan tanah di depan rumah Damar, ekspresi Damar terlihat kaget sekali. Syifa yang bertamu dengan membekali niat baik, yakni untuk meminta penjelasan kepada orangtuanya.
Saling bercerita panjang lebar, dan menangkap penjelasan dari perkataan orangtua Damar bahwasanya mereka tidak mempermasalahkan apapun. Mereka menyerahkan semua keputusan di tangan Damar. Akan tetapi bagaimana dengan Damar? Apakah ia masih ingin meneruskan hubungan ini sampai ke pelaminan? Syifa melontarkan pertanyaan tersebut pada Damar. Namun tak jua ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Hingga akhirnya, Syifa pun memutuskan untuk pulang, karena takut jika nanti tidak kebagian bus untuk balik ke Semarang.
Di saat kata demi kata di ucapkan untuk berpamitan, Damar mulai membuka mulut dan mengajaknya bicara. Ia menawarkan diri untuk mengantar menuju terminal bus. Awalnya Syifa menolak karena merasa tidak enak, tetapi Damar terus membujuk dirinya hingga akhirnya Syifa menerima tawaran itu. Di perjalanan, Damar mengatakan dengan lantang bahwa dirinya sudah tidak lagi mencintai. Sudah mati rasa dan tidak minat lagi. Ternyata Damar bersikeras untuk mengantarkan pulang, hanya untuk mengatakan hal ini. Mata Syifa yang berkaca-kaca, ia tak tahu lagi harus bagaimana. Hatinya bagai tertusuk pisau tajam, perih tak terkira.
Segala penjelasan, bahkan bimbingan dan arahan telah ia tuturkan kepada Damar. Bahwasanya tidak ada hubungan yang baik-baik saja. Perbaiki kembali apa yang salah, ubah apa yang perlu diubah. Syifa juga berjanji untuk terus memperbaiki diri, dan kembali merajut cinta bersama lagi. Namun nyatanya, diantara beberapa opsi untuk memperbaiki. Damar lebih memilih untuk pergi.
Dalam batin syifa bergejolak, bahkan tidak sedikitpun ia menghianati Damar, juga tidak pernah menduakan Damar. Tetapi kenapa harus seperti ini? Satu nama yang tersimpan di hati, namun nama itu justru kekeh meminta untuk pergi.
“Inikah balasanmu untukku?” batin Syifa berucap demikian. Hancur lebur hatinya, menahan rasa sesak di dada. Hanya karena alasan mati rasa, lantas apakah harus mematikan hati nurani juga kepada wanita yang dengan tulus mencintai.
Wanita yang cintanya lebih besar dari laki-laki. Wanita yang menerima segala kekurangan. Parahnya lagi, sosok laki-laki yang sudah diusahakan setengah mati, ternyata tega mempermainkan wanita. Menyuruh untuk datang jauh-jauh kerumahnya. Hanya untuk mencari alasan agar bisa berpisah dengannya. Nampaknya Damar tahu betul, jika Syifa tidak akan sanggup melakukan hal itu.
Namun ternyata salah, Syifa yang sedang dihajar asmara yang menggebu, membuatnya tidak berfikir lama untuk menyanggupi permintaan Damar. Hingga Damar harus membuat alibi, entah segala cara ia lakukan, mencari cara untuk memutuskan hubungan. Ternyata begini rasanya jadi manusia yang dulu dikejar setengah mati, kini setelah mendapatkan hati, berbalik dibuang seolah tidak ada harganya sama sekali. Seperti di tendang, hingga jatuh ke dasar jurang.
Tidak berhenti menangisi semua ini. Rasa bersalah yang begitu besar, seakan menyelimuti kehidupan Syifa. Ia merasa sudah mempermalukan almarhum ayahnya, karena ulah anak perempuan yang terkesan mengemis cinta. Namun dirinya bersyukur, sejak saat itu, ia belajar arti sebuah keikhlasan. Belajar merelakan, melapangkan hati, untuk menerima apapun yang terjadi. Percaya bahwa takdir Allah itu selalu indah, walaupun terkadang perlu airmata untuk menerimanya. Segala sesuatu yang tidak Allah takdirkan, akan menemukan jalannya untuk hilang. Dan segala sesuatu yang Allah takdirkan, akan menemukan jalannya untuk datang. Tak perlu risau perihal jodoh, Allah lebih mengetahui mana yang terbaik untuk hambanya. Karena sebaik-baik penilaian manusia, tidak akan setara dengan penilaian Allah yang maha mengetahui segalanya. Orang yang awalnya bersikap baik, belum tentu selamanya baik. Sebab Allah maha membolak balikkan hati manusia. Jangan percaya hanya dengan perihal kata, tetapi percayalah kepada Allah semata. Manusia bisa meninggalkan kita kapan saja, tetapi tidak dengan Allah yang selalu ada untuk kita.
Riwayat Penulis

Hazuma Najihah, lahir di Pekalongan. Alumnus UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, mengambil konsentrasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Penulis buku solo; Perjalanan Srikandi Merakit Mimpi dan Sepucuk Rindu di Ujung Lembayung. Serta beberapa buku antologi bersama. Berbagai karyanya seperti artikel, cerpen, puisi, cernak, opini, dan esai, sudah termuat di beberapa surat kabar baik media online maupun cetak. Penulis, bisa dihubungi melalui email hazumanajihah87@gmail.com atau bisa disapa lewat akun Instagram hazuma_najihah.