Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Cerpen

Cerpen Tania Rahayu

Admin by Admin
4 Juli 2025
0
Cerpen Tania Rahayu
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

Sinar Ibu

Kepada yth. Guruku, Saudaraku, Prof. Widiyanto.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan dengan penuh kasih, saya kirimkan lagi sejumlah kemeja baru, roti, dan buah-buahan serta sedikit uang untuk Prof. Widiyanto. Bulan depan anak saya, Sinar, akan melaksanakan perpisahan SMA di sekolahnya. Jika berkenan, saya mohon bantuan Prof. untuk kembali mendampingi anak saya dalam acara tersebut karena saya terpaksa harus menyelesaikan beberapa pekerjaan saya. Sinar harus ada yang mendampingi karena dia mendapatkan nilai terbaik di tingkat kota. Maka barang tentu dia akan mendapatkan penghargaan yang harus diterima bersama walinya.

Prof. bisa memberitahu saya bisa atau tidaknya Prof. mendampingi anak saya melalui WhatsApp.

Terima Kasih

Ayudia

Sore ini langit terlihat cerah. Ini adalah kesempatan emas untuk bisa bersantai di kebun belakang rumah sembari menulis beberapa puisi dan menikmati teh hangat setelah akhirnya aku selesai menyiapkan paket untuk Prof. Widiyanto. Tapi tak kusangka, Sinar sudah pulang, aku belum sempat menyembunyikan paket itu. Dia segera menyadari apa yang telah aku siapkan. Sinar menghampiriku dengan wajah yang ditekuk. Tangannya menggenggam secarik kertas kaku yang aku tahu itu adalah kertas catatan untuk paket yang akan kukirimkan kepada Prof. Widiyanto.

“Bu?”

“Loh Sinar. Kok kamu sudah pulang?”

“Ini maksudnya apa ya, Bu? Prof. Widiyanto lagi? Ibu ngga bisa nyempetin sehari aja buat acara penting Sinar nanti?”

“Maafkan ibu ya nak. Ibu harus menyelesaikan pekerjaan di luar kota bulan depan,”

Sinar hanya terdiam, menatapku dengan kecewa. Air mata mulai membasahi pipinya. Perlahan ia mundur dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.

Sudah entah untuk ke berapa kalinya aku harus menyaksikan gurat kekecewaan itu di wajah anakku. Anakku yang kupuja dalam diam, yang kupeluk dengan seluruh luka yang kusembunyikan. Andai saja ia tahu bahwa di balik setiap keputusanku, terselip ketakutan akan dunia yang bisa sewaktu-waktu mencabik ketenangan hidupnya. Dunia yang akan berubah dingin dan kejam saat mengetahui siapa aku sesungguhnya. Bahwa ia adalah anak dari Ayudia Sukma, perempuan yang pernah hamil di luar ikatan, dan memilih melanjutkan hidup tanpa seorang suami. Seorang ibu yang dulunya mahasiswa, namun kini disudutkan karena dianggap menodai dirinya sendiri.

Aku tahu, beberapa teman Sinar adalah anak dari rekan-rekan setingkatku dulu yang sering menggunjing soal skandal yang menimpaku. Bagaimana jika suara-suara bising yang menusuk hatiku di masa dahulu dari orang-orang itu akan menusuk hati anakku juga. Aku terpaksa menyembunyikan identitasku sebagai ibu kandung Sinar dan meminta bantuan Prof Widiyanto. Guru yang telah membantuku bangkit dan sadar di masa-masa terpurukku menghadapi peliknya skandal yang kualami.

Sinar adalah satu-satunya anugerah indah dalam hidupku. Tidak ada mimpi-mimpi indah yang terwujud setelah mendapatkan cap sosial sebagai perempuan yang tidak ada harga dirinya selain terwujudnya mimpi memiliki putri cantik, pandai, rajin, dan berbakti kepada ibunya. Aku sengaja membesarkannya di kota jauh dari kotaku dulu. Mengganti namaku yang semula Raharja Rahayu menjadi Ayudia Sukma, merintis ekonomi dan membangun rumahku sendiri. Aku ingin memulai kehidupanku hanya dengan putriku saja.

Meskipun akhirnya takdir berkata lain, beberapa teman Sinar adalah anak dari rekan-rekan setingkatku dulu di kampus yang juga sering menggunjingku. Ada yang menikah dengan laki-laki dari kota ini, ada yang menjadi PNS sehingga pindah ke kota ini dan alasan-alasan lain membuat kami kembali berdekatan sekalipun mereka tidak mengetahui keberadaanku.

Aku menjaga identitasku seolah-olah nyawaku tergantung padanya. Aku begitu cemas membayangkan Sinar harus menelan kalimat-kalimat keji yang tak seharusnya hinggap di telinganya. Tapi acapkali hati kecilku bertanya: mengapa hanya perempuan yang harus memikul label tak berharga? Mengapa layak tidak layak, suci tidak suci, selalu menjadi penghakiman yang diarahkan kepada tubuh dan sejarah perempuan? Mengapa kata “bekas” begitu ringan disematkan kepada kami, seolah lelaki—sekalipun bejat—berhak bebas dari segala beban nama?

Terkadang aku ingin berhenti menyamar. Aku ingin menanggalkan bayang-bayang dan berdiri sebagai diriku sendiri, sebab aku bukan lagi perempuan yang sama. Aku telah berusaha memperbaiki diri, bertumbuh, membangun kembali serpihan martabatku. Namun tetap saja, bisik-bisik sumbang berhembus tak kenal ampun: dasar murahan, dasar tak tahu malu, dasar muka tembok.

Akhirnya aku memilih diam dan tumbuh perlahan. Menyimpan masa lalu dalam lipatan doa, bukan karena aku menyangkal, tapi karena aku ingin melindungi. Mungkin, memang benar aku pernah salah. Jika gunjingan masih terus dikirimkan kepadaku, mungkin itu bagian dari cara Tuhan membersihkan luka. Prof. Widiyanto pernah berkata: biarlah cacian itu menjadi jelaga yang membersihkan. Biarlah ia menjadi harga untuk sebuah permohonan ampun yang tak bersuara.

Menjelang kelulusanku, saat badai skandal itu mengamuk dan mencabik-cabik harga diriku, Prof. Widiyanto adalah satu-satunya cahaya yang tidak padam. Seorang guru sekaligus profesor muda yang tak hanya cerdas, tapi juga bijaksana dan lapang hati. Di tengah riuh bisik dan sorot mata yang memicingkan kebencian, beliau tetap menatapku dengan mata yang manusiawi. Beliaulah yang menuntunku perlahan keluar dari reruntuhan hidup.

Beliau tak hanya memberiku nasihat, tapi juga membukakan pintu pada ruang tempat aku bisa bernapas—komunitas sastra yang beliau rintis. Di sana aku menemukan secercah martabat yang sempat terempas. Aku menulis lagi, membaca puisi lagi, dan lebih dari itu: aku mulai mempercayai diriku sendiri lagi.

Para anggota komunitas menyambutku bukan sebagai aib, melainkan sebagai sesama jiwa yang sedang belajar menjadi utuh. Mereka tidak sibuk mengorek masa laluku. Mereka bersandar pada keyakinan yang sama: bahwa manusia tidak hidup untuk jadi sempurna, tapi untuk terus bergerak menuju kebaikan. “Jika engkau mencela seseorang yang sedang bertobat, lalu apa bedanya engkau dengan keburukan itu sendiri?” Begitu kata Prof. Widiyanto, kalimat yang menjadi azimat dalam perjalanan batinku.

Namun, ketika aku akhirnya memberanikan diri berkata kepada beliau bahwa aku tengah mengandung, segalanya menjadi sunyi. Dengan sangat hati-hati, beliau memintaku untuk tidak lagi datang ke kantor komunitas. Bukan karena ia menolakku, tapi karena beliau tak ingin bisik-bisik dari luar menggerogoti tembok tempat aman itu. Ia ingin tempat itu tetap bersih dan terlindungi. Dan aku memahami.

Aku tak merasa dibuang. Justru dari sana aku tahu, betapa beliau begitu menjagaku—sebagaimana seseorang menjaga api kecil dalam gua gelap, agar tak padam diterpa angin dari luar. Aku keluar dari komunitas itu dengan duka yang dipeluk lapang dada. Sembari membawa kehidupan baru dalam rahimku—Sinar—yang kelak menjadi pelita sejati dalam kehidupanku yang remuk dan lambat-lambat kurajut kembali.

Pada awalnya, aku hidup dalam ketakutan yang menggigilkan. Lelaki yang menyebabkan semua ini memilih melarikan diri di balik tameng kehormatan dan jabatan. Orang tuaku telah lama tiada, dan kakak-kakakku telah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku tidak ingin kabar ini menjadi aib yang mereka pikul; aku tak ingin melukai mereka dengan kisah yang sudah lebih dulu menghancurkanku.

Sempat terpikir dalam benakku untuk mengakhiri saja hidupku. Tak ada orang yang mungkin membelaku, tak ada orang yang mungkin mau mengurusku, tak ada orang yang sudi berdekatan dengan perempuan murahan sepertiku. Tapi aku masih bertahan. Meski sudah tidak bisa lagi datang ke kantor komunitas, Prof Widiyanto masih terus mengawasiku dari kejauhan, membantuku menjawab kebingungan dan ketakutaknku menyelesaikan skripsi. Begitu juga dengan Shita, sahabatku yang masih mau menerimaku, memberi masukan dan dukungan, bahkan dia sering menawarkan dirinya untuk menemaniku mengecek kandunganku ke dokter.

Waktu berlalu, akhirnya aku bisa menyelesaikan studiku. Aku mulai meninggalkan kota tempatku berkuliah itu dan mulai berpisah dengan Shita, juga dengan teman-teman baik dari komunitas sastra seperti Wulandari, Jean, Kusuma, dan Bondan. Meski penuh rasa gugup, aku memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan sinar di kota baru dan urung untuk menikah. Terlalu banyak hal yang kutakutkan jika aku memilih menikah. Calon keluarga pasanganku pasti akan banyak bertanya soal asal-usul Sinar, soal kehidupanku, soal kelayakanku untuk menjadi menantu.

Semua itu sangat rumit. Akan lebih baik jika aku fokus untuk mendidik dan membahagiakan Sinar. Figur Ayah yang sangat Sinar perlukan untuk tumbuh kembangnya berasal dari kebaikan Prof. Widiyanto dan Mba Asri, istrinya. Pernikahan mereka hingga kini belum dikaruniai seorang pun anak. Sehingga mereka senang jika kumintai bantuan untuk menemani Sinar. Dua minggu sekali, Prof Widiyanto dan istri mengunjungi rumah kami jauh dari kota seberang dan mengajak Sinar berbelanja buku atau bertamasya. Sekalipun keduanya selalu dengan suka rela memberi berbagai macam pemberian untuk anakku, aku tak pernah absen untuk turut memberi mereka amplop saat pulang.

Aku bersyukur masih dianugerahi orang-orang yang amat baik yang turut membesarkan Sinar. Anakku juga terlihat tetap bahagia meski tak pernah tahu bagaimana sosok ayah kandungnya. Aku selalu memberitahu anakku bahwa ayahnya sudah meninggal saat ia barau saja dilahirkan. Hanya saja Sinar seringkali merasa gundah jika momen-momen bahagia seperti penerimaan rapor, rapat wali murid, perlombaan, dan momen membanggakan darinya tidak dihadiri olehku.

Petangpun tiba. Aku menengok anakku sedang termenung di meja belajar di kamarnya. Ia tak pernah protes atau terlalu keras membantahku.  Ia lebih sering hanya bisa terdiam di kamarnya saat hal-hal yang kuputuskan tidak sesuai dengan kehendaknya. Aku sungguh terluka melihat anakku selalu bersedih menginginkan kehadiranku. Atas segala pertimbangan aku berpikir untuk secara perlahan menceritakan semuanya kepada Sinar. Ah tidak, ini bukan waktu yang tepat. Biar saja dulu Sinar seperti ini, aku akan menceritakannya nanti. Hati kecilku selalu membuatku mengurungkan niat untuk menceritakan semua yang kualami kepada Sinar.

Sebagai ganti dari absenku menghadiri acara perpisahan Sinar pekan depan, aku memilih untuk mengajaknya untuk makan malam di sebuah kafe buku yang baru saja di buka. Dia pasti akan suka karena di sana selain menyediakan tempat makan, pemiliknya juga menyediakan rak-rak buku yang boleh dipinjam saat berkunjung ke sana.

            “Sinar” Aku masuk ke kamarnya dan mencoba mendekatinya yang duduk termenung di hadapan meja belajarnya. Aku membelai-belai rambut putriku yang malang itu dan seketika Sinar memelukku.

            “Ibu, Sinar sedih ibu tidak turut dalam perpisahan SMA Sinar nanti,”

            “Maafkan ibu ya nak, ibu betul-betul harus menyelesaikan pekerjaan ibu untuk kerja sama usaha properti ibu dengan perusahaan lain di luar kota, ini kesempatan bagus untuk menaikkan reputasi usaha properti ibu karena klien kali ini adalah perusahaan yang cukup besar nak,”

            Aku melepaskan pelukan Sinar dan mulai mengangkat dan membelai wajah cantiknya.

            “Gimana kalo kita makan malam di luar? Belum lama ini ibu nemu Café buku yang bagus dan enak-enak menunya. Sinar pasti suka,”

            “Boleh,” Sinar menjawab singkat dengan wajah yang datar.

Saat kami akhirnya baru saja menyelesaikan hidangan utama di kafe buku itu, langkah seseorang mendekat ke meja kami. Seorang pria dengan senyum lembut dan mata yang teduh menyapa Sinar. “Selamat malam, Sinar,” katanya sopan, lalu menoleh padaku. “Perkenalkan, saya Pandu, guru Bahasa Indonesia di sekolah,”

Sinar tampak terkejut sekaligus senang, lalu memperkenalkan aku sebagai ibunya. Aku berdiri dan menyambut uluran tangan Pak Pandu, berusaha menyembunyikan sedikit kegugupan yang menelusup dalam dada. Selama ini, aku memang sengaja tidak menampakkan diri ke lingkungan sekolah. Ini kali pertama aku benar-benar menjadi wajah dari nama yang hanya tertulis di formulir.

Pak Pandu lalu duduk sebentar atas ajakan sopan Sinar. Kami mulai mengobrol ringan, tentang buku-buku yang memenuhi rak, tentang minat baca siswa, dan sedikit tentang dunia mengajar. Aku sempat merasa was-was, bagaimana jika pria ini, setelah mengenalku, berubah menjadi dingin atau curiga? Namun kekhawatiranku pupus oleh ketulusannya. Tak ada pertanyaan yang menyudutkan, tak ada tatapan yang menghakimi. Pak Pandu bersikap wajar, bahkan terlalu hangat untuk seseorang yang baru saja mengenalku. Malam itu terasa seperti udara segar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tak merasa seperti seseorang yang perlu disembunyikan. Sejak saat itu aku menjadi begitu dekat dengan Pandu.

Tapi kedamaian yang sempat kami rasakan tak bertahan lama. Entah dari mana, tersebar kabar di lingkungan sekolah tentang masa laluku. Ada yang menyebarkan informasi bahwa Sinar adalah anak haram. Tak butuh waktu lama, Sinar mulai mendapat perundungan dari teman-temannya. Di lorong-lorong sekolah, ada yang berbisik, ada yang menertawakan, bahkan ada yang menuliskan kata-kata keji di loker sekolahnya. Sinar syok. Ia tak bisa berkata-kata saat pulang ke rumah. Matanya kosong, tubuhnya lemah, dan malam itu ia hanya diam, menatap langit-langit kamar seperti kehilangan cahaya. Tak kusangka, keesokan harinya aku mendapat telepon dari sekolah. Sinar ditemukan nyaris tenggelam di kolam menyelam milik sekolah. Ia mencoba mengakhiri hidupnya. Tapi Pak Pandu-lah yang melihat tubuhnya lebih dulu, dan langsung menceburkan diri menyelamatkannya.

Aku berlari secepat yang kubisa. Di depan ruang kesehatan sekolah, aku melihat tubuh anakku terbaring dengan wajah pucat. Melihat anakku dalam keadaan seperti itu, rasanya seperti dunia ini akan berakhir. Aku memeluknya erat, tak peduli pada siapa pun di ruangan itu. “Maafkan Ibu, Nak… maafkan Ibu.” Di situlah, untuk pertama kalinya, aku ceritakan semuanya, tentang siapa aku, tentang masa lalu yang kupendam sendiri, tentang kenapa aku selalu bersembunyi. Air mata Sinar jatuh tanpa suara. Ia menggenggam tanganku, namun tak berkata apa-apa. Tapi aku tahu, ia mendengar. Di ambang pintu, Pandu berdiri. Ia tak bermaksud menguping, tapi setiap kata yang keluar dari mulutku menusuk dadanya dengan rasa iba dan kekaguman.

Pandu mendekat pelan. “Sinar,” katanya lembut.

“Kamu dan Ibumu adalah dua perempuan yang sangat berharga. Tidak ada satu pun dari kalian yang pantas dihukum oleh masa lalu. Kalian berdua telah memilih untuk hidup dengan tegak, bahkan ketika dunia berusaha menundukkan kalian.” Sinar menatapnya, matanya merah, tapi ada cahaya kecil yang kembali muncul di sana. Pandu melanjutkan,

“Kalau kamu menyerah, kamu kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keberanian perempuan tidak lahir dari kesempurnaan, tapi dari kejujuran dan keteguhan.”

Beberapa minggu setelah kejadian itu, hari perpisahan tiba. Aula sekolah dipenuhi para siswa, guru, dan orang tua. Saat nama anakku dipanggil untuk menerima penghargaan siswa terbaik, Sinar berjalan pelan menuju podium. Ia mengambil mikrofon, menggenggamnya erat, dan mulai berbicara.

“Hari ini, saya ingin menyampaikan sesuatu bukan sebagai murid yang mendapat nilai terbaik, tapi sebagai anak dari seorang perempuan yang sangat saya banggakan. Ibu saya bukanlah perempuan yang sempurna, tapi ia adalah perempuan dengan keberanian untuk terus hidup. Saya harap semua perempuan hari ini bisa melihat diri mereka sebagaimana saya melihat Ibu saya—teguh, kuat, dan layak dihormati. Kita semua punya masa lalu, tapi itu tidak pernah menghapus masa depan kita.” Suara tepuk tangan menggema. Di antara kerumunan, aku dan Pandu berdiri berdampingan. Mataku berkaca-kaca, namun dada terasa lapang. Hari itu, bukan hanya Sinar yang berdiri di atas panggung—tapi juga pengampunan, keberanian, dan cinta yang akhirnya disambut tanpa syarat. Kehangatan itu tumbuh perlahan, seperti benih yang tumbuh diam-diam di antara halaman-halaman buku yang pernah kami bicarakan.

RIWAYAT PENULIS

TANIA RAHAYU, mahasiswi semester 6 Komunikasi dan Penyiaran Islam kelas B meraih Juara I Lomba Cipta dan Baca Puisi Tingkat Nasional, yang diselenggarakan oleh  UIN Sultan Thoha Saifuddin (UIN STS) Jambi, dan meraih Gold Medal dalam SEIBA International Festival di UIN Imam Bonjol Padang, tahun 2024. Tania Rahayu adalah anggota Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban di dalam Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In