Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Esai

Mengulik Sisi Lain dari Dunia Pendidikan 

Admin by Admin
22 Agustus 2025
0
Puisi-puisi Fajrul Alam
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

Dunia pendidikan, dianggap sebagai kumpulan orang terdidik. Karena dalam dunia pendidikan, diajarkan yang namanya moral dan etika. Keduanya beriringan, saling dipupuk rata. Tak menampik, banyak pula yang beranggapan bahwa dunia pendidikan selalu membawa sisi positif tersendiri. Pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang bernilai baik. 

Namun bagaimana jadinya, bila pelopor pendidikan itu sendiri, justru bersikap seperti orang yang tidak terdidik? Bagaimana tidak? Seorang pendidik yang notabenya mengajarkan adab, akhlak, moral, dan etika. Namun justru, dirinya sendirilah yang mencerminkan sikap tak bermoral. Seorang Pendidik yang familiar dengan sebutan guru, acapkali mengajarkan peserta didiknya untuk bersikap baik, saling menghormati, menghargai sesama dan berbagai ajaran lainnya.  Namun pada kenyataannya, guru tersebut malah bersikap sebaliknya.  

Dalam lingkup Pendidikan itu sendiri, sesama guru ada yang bentrok. Sikap antara guru yang satu dengan lainnya, tidaklah mencerminkan penerapan dari adab dan moral yang diajarkan. Guru yang seharusnya memberikan teladan untuk anak didiknya, kini malah menerapkan perilaku yang menyimpang dari ajarannya. Guru saling berseteru, hingga berujung menjatuhkan.  Puncaknya sampai memutarbalikkan fakta, hanya demi menutupi kesalahan sendiri.

Tak hanya itu, di lingkungan pendidikan juga kerapkali terjadi kontra, karena oknum guru yang genjar mencari muka. Tak peduli benar atau tidaknya perilaku yang dilakukan, baginya mencari muka adalah solusi yang tepat untuk keberlangsungan kariernya.

Bagaimanapun itu, apapun caranya, benar atau salah, semua akan dilakukan dengan satu alasan yakni untuk memperjuangkan karier. Mati-matian memperjuangkan karier, hingga rela sikut sana sikut sini demi mewujudkan mimpi. Tak menampik, hal itu seringkali terjadi.  Bahkan, fenomena mencari-cari kesalahan juga kerap dilakukan. Alih-alih bersikap biasa, ini malah terkesan menjatuhkan.  

Tak heran, seseorang yang memutuskan untuk bekerja di dunia pendidikan harus memiliki mental yang tebal, minimal setebal baja. Di tengah lika-liku kehidupan yang bergelombang, ditambah lagi dengan perilaku dari rekan kerja yang seringkali menguji ketahanan emosi. Jika tidak kuat, maka akan terpental begitu saja. Fenomena demikian tidak hanya terjadi di dunia Pendidikan saja. Akan tetapi yang menjadi heran, mengapa di dunia Pendidikan yang notabenya identik dengan bekal ilmu dan karakter, malah pada kenyataanya yang terjadi adalah seperti bentuk perwujudan dari manusia yang tidak berkarakter? Sungguh miris. 

Suatu tempat/wadah pendidikan yang dinamakan sekolah, yang konon katanya, sebagai bentuk manifestasi dari manusia terdidik, namun yang terjadi malah melanggar dari norma kehidupan. Tenaga Pendidik yang kesehariannya menjadi panutan untuk anak didiknya, eh tak tahunya malah mencontohkan hal buruk dalam kesehariannya. Bagi seseorang, memutuskan untuk bekerja di dunia Pendidikan, tentunya dengan harapan akan merasakan ketentraman dalam melaksanakan tanggung jawab pekerjaan. Namun, hal itu ternyata hanyalah mimpi belaka. Berulang kali harus menelan ludah, setiap membayangkan kedamaian dalam bekerja. Karena yang dirasakan hanyalah menyimpan keresahan setiap hari. Seakan-akan hidup di dalam tawanan, selalu merasa tertekan.  

Padahal sudah mencoba untuk bersikap netral terhadap siapapun yang ada dalam lingkungan kerja. Meski begitu tetap saja, menjadi korban dari persaingan yang tiada henti. Parahnya lagi, dalam dunia pendidikan yang seringkali menggembor-gemborkan Bhinneka Tunggal Ika yang mana artinya berbeda-beda, akan tetapi tetap satu. Namun, pada kenyataannya malah melenceng dari apa yang diajarkan. Bhinneka Tunggal Ika yang mengajarkan kita untuk bersikap menghargai terhadap sesama, namun gurunya sendiri tak tahunya malah tidak menghargai rekan kerjanya.  

Beragam perilaku buruk dari rekan kerja yang menghantam diri. Pun jua fenomena circle-circlean yang kerap merajalela. Menentukan penggolongan pertemanan, dengan berdasarkan atas harta, tahta, jabatan, dan tingkat kecerdasan. Sebagaimana dalam lingkup pendidikan, guru yang berasal dari kalangan orang biasa, tidak memiliki jabatan, bahkan tingkatan kecerdasannya pun standar, maka guru seperti inilah, yang rawan tersingkirkan. Tenaga pendidik, dalam ruang lingkup pendidikan itu sendiri, mempunyai circle yang tidak bisa diganggu gugat. Antara guru yang satu dengan lainnya, memiliki circle pertemanan yang sudah dipilihnya sendiri. 

Dalam hal ini, enggan bergaul dengan guru lain yang bukan circlenya. Kalaupun bergaul, hanya sekedarnya saja, sebatas tegur sapa atau mentoknya jika dipepetkan dengan kebutuhan yang mengharuskan untuk berkolaborasi, maka dengan sangat terpaksa pun harus mengakrabkan diri. Namun, ini hanya berlaku sementara. Biasanya, guru yang kental dengan sikap pilih-pilih teman, maka setelah urusannya selesai, ia akan menjauhi rekan kerja yang lain, dan kembali kepada circlenya. Tak mau bergaul dengan rekan guru yang lain, karena baginya hanya anggota circlenya lah yang paling dianggap.  

Dunia pendidikan itu keras, tak selunak yang dibayangkan. Saling berebut posisi, menghalalkan segala cara demi menuruti kepentingan pribadi. Menyisihkan, tidak menganggap ada, memilah dan memilih pertemanan dengan berdasarkan circle yang ditentukan, bahkan hingga sampai ke titik tidak mau mendengar dan menerima segala argumentasi dari guru yang bukan circlenya.  

Asumsi akan didengar dan diterima, jika itu berasal dari mulut kawan dekatnya alias yang masuk ke dalam circlenya. Berbanding terbalik, jika yang mengungkapkan adalah guru lain yang tidak masuk ke dalam ranah pergaulannya, maka pendapatnya akan diabaikan begitu saja. Pendidikan dilabeli sebagai ajang untuk bersaing, namun bersaing secara tidak sehat. Segala tindak tanduk yang tidak semestinya, namun diharuskan untuk tunduk, meski konsekuensinya adalah luka batin yang terpendam. Bertingkah kejam, hingga rekan kerja sendiri dimakan bak kelaparan dan kehausan. Haus tahta dan jabatan.  

Perlakuan oknum guru yang mengatasnamakan kemasalahatan, dibalik kepentingan pribadi yang selalu di usahakan. Tentu sebagai orang yang mencoba untuk bersikap biasa, netral, tidak terlalu ambisi, dan sewajarnya saja, akan kalah dengan orang yang sudah ahli dalam mendengkul sikap dan perilaku yang haus ambisi. Ada saja perlakuan yang bikin batin nelangsa. Seperti halnya, pada saat atasan memberikan amanat kepada salah seorang guru yang dipercayai. Sebagai contoh : menjadi bendahara, ketua, sekretaris dan lain sebagainya. Belum lagi, jika diperintah untuk mengikuti rapat di luar, maka tak menutup kemungkinan ada oknum guru yang menaruh kedengkian dan merambah menjadi kebencian yang mendalam.  

Padahal, yang memberikan tugas adalah atasan/Kepala Sekolah. Sebelum memberikan tugas dan tanggung jawab penuh kepada bawahannya, tentu beliau sudah memahami kapasitas guru-guru yang ada dalam satu lingkup sekolah. Meski begitu tetap saja, ada oknum guru yang meresponnya dengan perasaan iri dan dengki. Tak bisakah dibicarakan baik-baik dengan kepala dingin? layaknya seorang Pendidik yang terbiasa menyelesaikan persoalan anak didiknya, namun pada saat menghadapi persoalan sendiri seakan-akan jalan pikirannya buntu. Dalam hal ini, tidak semua guru berperilaku demikian. Itulah mengapa sedari tadi Penulis menyebut kata oknum, karena memang tidak semuanya, melainkan ada guru tertentu yang bersikap demikian. 


RIWAYAT PENULIS


Hazuma Najihah, lahir di Pekalongan. Alumnus UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, mengambil konsentrasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Penulis buku solo: Perjalanan Srikandi Merakit Mimpi dan Sepucuk Rindu di Ujung Lembayung. Serta beberapa buku antologi bersama. Beberapa karyanya seperti artikel, cerpen, puisi, opini, dan esai, sudah termuat di berbagai surat kabar baik media online maupun cetak. Kesibukannya saat ini yakni menjadi tenaga pendidik di SD Negeri dan SD Swasta daerah Pekalongan. Penulis, bisa dihubungi melalui email hazumanajihah87@gmail.com atau bisa disapa lewat akun Instagram @hazuma_najihah. 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In