Di Sepanjang Jalan Bitung—Cikupa
di sepanjang jalan Bitung—Cikupa,
orang-orang berangkat dengan wajah setengah hidup,
menyimpan mimpi di saku jaket,
dan pulang dengan mata yang lelah
memandang rumah seperti halte—
tempat singgah, bukan tinggal.
senja tak lagi sempat mampir,
terjebak macet bersama doa-doa para pekerja kasar
yang tersendat di antara klakson dan kenangan tanggal muda.
asap knalpot mengejar langit,
menghitamkan bayangan rumah yang tak sempat disapa.
orang-orang pulang tanpa benar-benar pulang,
tersesat dalam angka dan jam kerja
yang tumbuh seperti gulma di kalender.
azan berkumandang,
tapi kalah nyaring
dari rem mendadak dan mesin yang letih.
suara Tuhan menjadi bisik
di telinga yang terlalu sibuk
menghitung bensin dan sisa-sisa gaji.
di sepanjang jalan Bitung—Cikupa,
sebuah jalan singkat yang menjadi panjang,
tapi lebih panjang lagi,
kesepian dan keterasingan yang dibawanya.
di sepanjang jalan Bitung—Cikupa,
zikir tinggal tersisa huruf-hurufnya,
dengung ditinggal debu oleh
tubuh yang tak tahu
sedang menuju rumah
atau menjauh dari-Nya.
Sabtu
rintik air mengigil di atap-atap langit
orang-orang berjaket
menyembunyikan segala apa
menyimpan segala apa
menutup segala apa
seorang anak kecil duduk
di seberang tempat pengisian bensin
ditatapnya orang-orang berjaket
matanya meruncing bagai rolet
wajah-wajah semakin membulat
angin mengusap sela-sela leher
seorang anak kecil yang duduk
di seberang tempat pengisian bensin
kesepiannya mengabur
terbawa mobil yang melintas
terikat motor yang melesat
atau pergi perlahan ditarik sepeda
rintik air jatuh di atap-atap
di gigir-gigir gedung
di jalan-jalan
orang-orang berjaket berjalan bergesa
meninggalkan apa-apa
menutupi apa-apa
Purwokerto Utara, 9/3/24
Di Sepanjang Jalan Tugu Purwokerto
di sepanjang jalan Tugu Purwokerto
kendaraan mendesah pelan,
asap knalpot berbaur gugur daun yang menua.
di bawah pohon tua, lelaki itu terlelap,
bersama becaknya yang tak lagi ditanya arah.
langit senja menumpahkan cahaya muram,
menyusup celah ranting, menyentuh pipinya yang renta.
ia tidak menunggu, tidak pula berharap—
sebab waktu baginya adalah jalan pulang yang tak pernah tiba.
anak-anak pulang sekolah dengan sisa tawa,
para pekerja mengejar rumah dalam langkah tergesa.
tapi ia diam, seperti batu di tengah arus,
mendengar suara kota dari balik mimpi yang panjang.
logika menyebutnya keterasingan,
rohani menyebutnya takdir dalam diam.
sedang seorang pejalan menyebutnya
laki-laki yang masih setia pada jalan yang tak lagi ditapaki zaman.
dan pohon itu,
diam-diam masih menjatuhkan daunnya satu per satu,
seolah ikut bertanya:
berapa senja lagi yang bisa ia peluk?
Tugu Purwokerto, Mei 2025
Agustus 2024
sejak saat daun itu jatuh ke tanah
kunang-kunang membisikkan doa-doa penenang bagi anak-anak tua
pohon-pohon menggesekkan rerantingnya kepada angin
daun-daun kering merangas, daun-daun muda bertumbuhan
orang-orang tidur dengan tenang dan gelisah
sejak saat daun itu jatuh ke tanah
tak ada penghalang bagi selatan dan utara
angin meniup menembus kelebatan kabut
rinai mengantarnya menuju malam yang semakin pekat
lampu-lampu jalan mengantarnya pada rona rembulan yang tak nampak
sejak saat daun itu jatuh ke tanah
bambu-bambu berjejer memanjang dalam satu celah tanah yang terbuka
kutanam tadebuya merah muda di antara sela-sela rumpun itu
tangan-tangan mulai menengadah
allahummagh firlaha
Aku Tak Ingin Anakku Menulis Puisi
aku tak ingin anakku menulis puisi
yang aku inginkan, ia menulis cerita-cerita kesedihannya
dan membaginya pada deru ombak di samudera,
pada rimbun hutan-hutan, atau pada terjal puncak-puncak gunung
aku tak ingin anakku menulis puisi
aku lebih suka, ia menuliskan kisah-kisah kegembiraanya
dan memberikannya pada pedagang-pedagang kecil di pasar,
anak-anak di depan toko roti,
atau pada orang-orang dewasa yang sayu sepulang kerja
aku tak ingin anakku menulis puisi
syair-syair, lirik-lirik, jargon-jargon, dan kutipan tokoh
yang terdengar naif menyebalkan
aku lebih senang, ia mengemasinya melewati perjalanan panjang
bersama langit yang dilewati doa dan cinta
sampai akhirnya anakku menyadari:
ada yang kembali hidup di dalamnya
Kranji, 15 Maret 2025
Riwayat Penyair

Bayu Suta Wardianto, lahir di desa bernama Tegalwangi, Tegal, Jawa Tengah, 18 Maret 1998. “Suta” adalah anak kedua dari tiga bersaudara, hasil dari pernikahan Drs. Aming Siswanto dan Suharti. Ia menempuh pendidikan formalnya selama 16 tahun di Banten. Setelah mendapat ijazah dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, ia kemudian berlabuh di Purwokerto untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Proses kreatif bersastranya dimulai sejak bangku kuliah ketika mengenal Arip Senjaya, Herwan Fr, dan Firman Venayaksa. Namanya tercatat di buku antologi bersama Gol A Gong dalam Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku puisi pertamanya berjudul “Tuhan, Aku Tersesat” menjadi top 10 se-Nasional dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto. Buku kedua yang ia tulis berupa kumpulan cerita pendek yang berjudul “Perempuan yang Terjerat Kursi Taman.” Kumpulan Puisi “Pada Suatu Musim yang Baru” merupakan buku puisi kedua yang ia tulis.
Tulisan-tulisannya termuat diberbagai media cetak maupun online. Beragam esai dan artikelnya antara lain dimuat di Badan Bahasa Kemendikbud, Koran Radar Banyumas, Media Maarif NU Jawa Tengah, Bidik Utama, Suara Dewantara, Buletin Orange, dll. Puisi-puisi dan cerpennya pernah dimuat di Beranda.co,
Ngewiyak.co, SKSP-literary, dll. Sejumlah artikel ilmihanya dimuat di jurnal nasional dan internasional.
Selain menjadi pejalan dan pelajar, penulis bekerja serabutan sebagai pekerja teks serta pengecer kata-kata di Rumah Kreatif Wadas Kelir dan menjadi
bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.
Penulis bisa dihubungi melalui email: bayusutawr@gmail.com, media sosial Instagramya: @suta_sartika, dan blogspot miliknya, www.tulisansuta.blogspot.com.